Dia tetap saja suam-suam dalam ingatanku, setiap kali aku berusaha mengompresnya dengan air dingin. Tapi begitulah kenangan; seperti kobaran api, walau nyalanya sudah jauh di belakang tapi panasnya terasa dekat.
Semua kolase cinta yang menyusun sejarah manusia dimulai dari mata yang tak kenal tahan terlanjur bertumbukan. Saat itu, gabungan antara siang yang pengap dan ruang lobi Fakultas Filsafat Murni yang sesak, membuat relativitas bekerja dengan baik.
Para mahasiswa berlalu lalang dengan bunyi sepatu yang berisik. Seperti biasanya, bagi mahasiswa filsafat lobi Fakultas Filsafat Murni hanya menjadi tempat untuk meributkan dua urusan, “Bagaimanakah kebahagiaan? dan di kantin mana kita akan makan?” Tapi pada diriku, terjadi hal-hal khusus; adem dan waktu yang melingkupi diriku seperti ribuan jam rusak. Dan dia, sejak pertama kali melalui pintu lobi dengan roknya yang berkibar, aromanya yang harum memenuhi tembok-tembok tubuhku, (Itu mungkin saja bukan aroma, tapi sebuah pesona yang meluas ke arahku. Tubuhku dibuat membatu.)
Dia memang tidak memiliki tubuh yang terlalu tinggi—jika kau merasa kecantikan fisik berbanding lurus dengan tubuh yang tinggi—tetapi walau tidak memenuhi syarat, sesuatu yang cantik akan selalu disebut sebagai kecantikan.
Ada satu bagian rahasia yang terlindungi dari balik hijabnya. Tiga kali dia membiarkan aku mengintip rahasianya dan tiga kali aku meriang.
Dia meletupkan balon-balon percakapan para mahasiswa yang ribut dengan matanya yang berkedip anggun. Dia melihatku. Dan aku yang berdiri tolol di dekat papan informasi, tertangkap mata melihatnya. Mata kami bertumbukan. Dia menghindari pandanganku dan tatapanku terus mengejarnya. Ketika dia menghilang di ujung koridor lobi dan berbelok entah ke mana, Dewa Eros sudah menarik panahnya. Dan cinta yang tak kenal kasihan menancap di hatiku.
Peristiwa relativitas yang terjadi di lobi itu adalah satu bagian awal peristiwa meriang yang pertama. Dua hari aku tidak bisa bangun dari kasur, merasakan demam yang aneh.
Ketika aku kembali ke lobi fakultas, dia masih berjalan dengan pesona yang sama. Seseorang berteriak, “Embu,” dan aku yang terbiasa berdiri tolol di dekat papan informasi, melihat dia menoleh ke arah teriakan itu. Dari situlah, aku tahu jika dia bernama Embu. Dan nama itu menjadi Embun Nur, ketika keberuntungan membawa aku dan Embun Nur mengurusi satu organisasi yang sama. Embun Nur, begitulah dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswi yang berasal dari SMA 786 Kabupaten Enrekang.
Aku sempat bersyukur bahwa keberuntungan akhirnya mengunjungi hatiku yang sudah lama kering. Tapi keberuntungan dan cinta menghendaki cara kerja yang berbeda. Keberuntungan berpetualang di luar dan cinta bergentayangan di dalam hati. Sering kali keduanya tak ingin berbagi. Meski mengurusi organisasi yang sama, butuh berbulan-bulan bagiku untuk bisa bercakap-cakap dengan Embun Nur.
Kampusku berada di pinggiran kota. Kampus kecil yang menerima para mahasiswa yang sial karena gagal mendaftar di kampus favorit pilihan orangtua. Ada ribuan orang lulus setiap tahun. Ada rata-rata 300 orang yang nyangkut di Fakultas Filsafat Murni dan 50 hingga 70 orang mahasiswa tersesat di Jurusan Filsafat Akal Budi. Aku yang sejak SMA termotivasi dengan Logika Induksi dari novel-novel Sherlock Holmes, mendaftar lewat jalur undangan. Niatnya, aku mau jadi penulis novel genre misteri seperti Sir Arthur Conan Doyle. Hasilnya aku lulus dan Bapak cukup bangga, meski bapak paham filsafat tidak menjual.
Pada hari pembekalan mahasiswa baru, aku hanya ingin kabur. Di internet beberapa artikel diagnosis bilang, kalau aku adalah bagian dari kaum introver. Memang aku merasa kerumunan di kampus membuatku seperti cabai hijau yang terperangkap di antara ribuan gorengan. Namun semenjak mengetahui ada Embun Nur di Fakultas Filsafat Murni, ada satu alasan yang membuatku betah.
Tapi alih-alih mendekati Embun Nur, aku justru menjalin hubungan (tanpa status) bersama seorang perempuan dari Fakultas Kedokteran yang angkatannya dua tahun lebih tua dariku. Kami selalu berpapasan di perpustakaan kampus, satu hingga dua belas kesempatan bertemu yang berulang. Aku pikir kami bisa menjalin hubungan yang mustahil itu, karena kami sama-sama merasa seperti cabai hijau yang terperangkap di antara ribuan gorengan. Dia gadis mungil, super pintar, yang gemar menggandeng buku The Second Sex di dadanya. Mahasiswa kedokteran yang aneh pikirku. Dan yang lebih aneh lagi, dia suka mengisap vape.
“Kau tahu, apa yang menyebalkan dari hidup ini?” Kata dia. Saat itu, dia mengenakan kemeja biru.
“Kukira, begitu jie memang isinya hidup?” Jawabku
“Tapi ada yang spesifik,”
“Apa?”
“Hidup jadi menyebalkan karena laki-laki.”
“Jadi, aku juga?”
“Ya, begitulah,” Katanya dengan wajah memelas. “Selama kau adalah laki-laki, kau cuman selalu ingin melihat perempuan dari sisi phallus-mu,” Tegasnya. Dia menekan huruf S pada kata ‘phallus’ dengan panjang hingga terdengar seperti desis ular.
“Selangkangan, maksudmu?”
“Ya, bisa dibilang begitu,” Jawabnya dengan yakin. “Jujur saja? Kau juga berpikir seperti itu, kan?”
Aku hanya bisa terdiam.
“Dengan berbagai cara, kau pasti ingin sekali bersanggama denganku,” Katanya sambil mengangkat senyum yang tipis. Senyuman yang bagiku sangat aneh. “Kau ingin tegaskan identitasmu dengan phallus-mu itu. Sialan memang laki-laki. Tapi tenang saja, sudah ma’ bersumpah tidak akan pernah menyentuh laki-laki,” Lanjutnya.
Aku hanya bisa mengangguk menahan rasa aneh yang timbul di dalam kerongkonganku setelah mendengar dia menjelaskan perihal phallus.
Pada suatu hari, setelah kami tak bosan-bosannya nongkrong di kafe dan berdebat soal feminisme, kami berpelukan di koridor bioskop setelah menonton film Martin Scorsese. Pelukan yang berlanjut cukup lama di indekosnya, berpelukan hingga keringat menyelimuti badan kami. Aku senang memagut bibirnya yang mengeluarkan rasa buah mangga macan.
Keesokan harinya, dia memutuskan untuk tidak bertemu lagi denganku. Alasannya sangat ideologis. Dan aku setuju dengan itu.
Selepas bertemu dengan gadis penyuka vape dan maniak Simone de Beauvoir, aku lalu berkenalan lagi dengan beberapa gadis. Namun di hatiku hanya ada sarang laba-laba. Dadaku ringkih setiap kali melihat mata Embun berada di mata gadis lain. Karena itu, hubunganku dengan satu-dua gadis selalu berakhir sebelum serius.
Ketika aku terbuai dengan beberapa gadis, emosiku melonjak menjadi badai pasir. Usaha melupakan Embun Nur semakin mustahil. Usaha itu berbunyi seperti aforisme Heraklitos, “Sekali kau menceburkan diri ke dalam sungai, kau tidak akan pernah tercebur di sungai yang sama sebanyak dua kali.” Hampir setiap hari aku mendengarkan Somebody to love-nya Queen dan menitipkan emosiku sejenak saat lord Freddy menekan lirik, “Lord what you’re doing to me, I have spent all my years in believing you, but i just can’t get no relief.”
Namun saat tahun 2015 hampir tutup buku, aku sudah melewati denyut kehidupan kampus yang sesak hingga keberuntungan itu akhirnya mau berbagi. Peristiwa-peristiwa ganjil memang terjadi sepanjang bulan-bulan terakhir: Ada teror bom bunuh diri di Eropa; Beijing yang menghentikan kebijakan satu anak lebih baik; dan ada iklan membeli rumah dapat bonus istri. Beberapa filsuf bergaya mistik memang mengatakan, “Keberuntungan akan tumbuh subur di antara peristiwa-peristiwa ganjil.” Mungkin pada saat itulah aku juga dapat bagian. Aku akhirnya terus-terusan bertemu dengan Embun Nur untuk mengurusi Badan Eksekutif Mahasiswa yang sibuk mempersiapkan acara penerimaan mahasiswa baru. Dan dua minggu kemudian, aku meriang selama 12 jam karena kami akhirnya berpacaran.
Ya, aku mungkin menampilkan diriku dan Embun Nur secara gampangan, seolah-olah hidup bukanlah kumpulan masalah runyam. Aku juga tidak habis pikir dari mana semua kemudahan itu berasal. Aku sama sekali tidak pernah menaruh curiga. Tapi sekali lagi, aku perlu menegaskan bahwa aku bukan lelaki tampan. Aku adalah bagian dari para lelaki yang tenggelam jika berada di antara laki-laki lain.
Aku tidak memiliki jejak nge-gym di tubuhku. Tidak ada otot-otot yang bisa aku banggakan untuk berpose foto telanjang dada di Instagram. Aku juga bukan lelaki perokok yang suka ngomong, ‘anjiir‘ setiap kali nongkrong dengan teman-teman. Sedangkan nilai akademikku selalu C dan membuatku harus menemui para dosen di rumah mereka yang menyeramkan. Sama sekali tidak keren. Tidak ada apa pun yang terlihat mengagumkan dari diriku untuk aku tampilkan kepada Embun Nur. Tapi ketika aku menyatakan cinta dengan mulut yang panas dalam, Embun Nur menerima cintaku. (Mau disebut apa lagi, selain keberuntungan).
Setiap hari aku dan Embun mencuri sedikit waktu dari kantong perkuliahan untuk berkencan di kantin prasmanan, atau di perpustakaan kampus. Jika tidak ada jam kuliah kami memanfaatkan waktu luang untuk nongkrong di kafe terdekat, atau menonton film di bioskop.
Embun tidak punya waktu di malam hari, dia harus pulang sebelum matahari tenggelam. Embun berasal dari Kabupaten Enrekang dan dia tinggal di Makassar bersama keluarga pamannya yang menurut Embun, sangat konservatif.
Suatu waktu di atas motor Suzuki Smash Putih, sehabis pulang dari kencan di Waduk, Embun berkata, “Minta maafka’ kalau harus mi, ki,’ pulang sebelum magrib.” Suaranya yang lembut menembus helmku.
“Nda usah merasa begitu,” Kataku.
“Apa?” Embun tidak mendengarnya.
“Nda usah merasa begitu,” Teriakku. “Syukur ma ini bisa ketemu dirimu setiap hari,” Teriakku sekali lagi melawan suara kendaraan yang lalu lalang.
“Terima kasih,” Kata Embun yang menambahkan peluk melingkar ke badanku.
Karena tidak dapat keluar malam, Aku dan Embun tidak pernah menikmati fase-fase Malam Minggu seperti kebanyakan anak muda lain. Kami berkompromi. Kami melakukan kencan di waktu sempat secara repetitif dan detail. Hingga pada suatu pagi, aku mengecup bibir Embun.
Satu bulan setelah kami berpacaran, Embun berulang tahun. Embun tidak pernah berharap, (dan tidak pernah menyatakan), agar aku menjadi laki-laki yang romantis—tipe laki-laki yang bisa memberikan kejutan di hari ulang tahun pacarnya. Tapi karena setiap perempuan berhak terkejut di hari ulang tahunnya, aku harus menjadi pacar yang romantis, pikirku.
Hari itu hari kuliah. Mungkin hari Selasa sekitar jam 7 pagi. Aku mengajak Embun Nur bolos dari mata kuliah, yang meski berbeda selalu membuat kami sepakat menyebutnya sebagai mata kuliah paling membosankan. Aku mengajak Embun ke pantai naik motor Suzuki Smash Putih. Selepas membayar parkir dan tiket masuk, suasana pantai masih sepi dan hanya ada satu perahu nelayan di pinggir laut yang berayun-ayun di sentuh ombak malas.
Setelah berjalan-jalan di pinggir pantai, kami duduk di bawah pepohonan jati.
Agak kikuk, tapi aku harus mengucapkan selamat ulang tahun. Aku memotong bicara Embun yang membahas satu pulau yang terlihat jauh di ujung laut.
“Hm…?” Embun kaget.
“Iye, selamat ulang tahun,” Kataku dengan agak lebih yakin.
Embun terdiam, tapi mimik wajahnya mengatakan sesuatu.
Dengan wajah penuh sesal aku berkata, “Maafkan, nda ada kusiapkan apa-apa untuk kita.”
“Tidak apa-apa. Mu ingat saja hari ulang tahunku sudah na bikin syukur ma’.”
Aku tertawa.
“Segitunya, kah, diriku ini?”
“Yee baru sadar,” Kata Embun sambil tersenyum.
Saat itu, aku lalu mengeluarkan dompet. Isinya tidak banyak, tapi aku memang sengaja menyimpan uang.
“Mauka’ beli cincin di jarita’?” Pintaku.
Embun melihat cincinnya. Embun pernah bilang, jika cincin itu bukan emas dan harganya murah. Tapi Embun sangat menyukai cincin pemberian mendiang ayahnya.
“Berani berapa?” Kata Embun, mengangkat wajahnya yang menggoda.
“100rb.”
“Bisa lebih?”
“150?”
“Sayang sekali.”
“175?”
“Teet… Ditolak,” Kata Embun sambil memencet keningku. “Ayok, tawaran terakhir.”
“Baik, 300 ribu.” Kataku dengan tegas.
Embun tertawa, “Kemahalan. 100 ribu saja, pale.” Kata Embun sambil menarik cincin dari jari tengahnya.
“Deal!” Kataku dengan senang, sambil menyambut cincin itu dari tangan Embun.
Aku bersimpuh di hadapan Embun dan menggenggam tangannya.
“Berjanjilah padaku, dalam keadaan apa pun kita akan tetap bersama,” Kataku dengan wajah yang basah.
Embun mengangguk, wajahnya terlihat setengah bahagia-setengah takut.
Aku memasang kembali cincin itu ke jari manisnya dan mengecup punggung tangannya yang hangat.
Embun balas mencium keningku.
Aku melingkari kepala Embun dengan kedua lenganku. Jilbab Embun terasa hangat.
Mata kami bertumbukan, mengulang kembali teori relativitas yang pernah terjadi di lobi Fakultas.
Aku memenuhi bibir Embun yang mungil dengan bibirku yang tebal.
Embun memejamkan mata.
Aku kecup Embun lebih dalam. Aku menggenggam dadanya. Ada debar yang menggoda.
Saat itu, Embun mengenakan gamis putih, bermotif bunga-bunga mekar. Rambut dari balik jilbabnya yang merah muda menguarkan aroma jeruk.
Saat itu, sambil membersihkan punggung baju Embun dari pasir pantai, aku mengakui bahwa selama aku menunggu kesempatan itu, aku selalu mendengarkan musik Queen.
“Musik Queen itu, formula mood booster paling ampuh.” Kataku.
“Lebih keren Ekso.”
Ekso, Embun menyebut EXO seperti itu. Salah satu boyband yang lagi naik daun di tahun itu. Saat itu arus K-Pop tidak dapat terbendung dan memenuhi setiap lini telinga pendengarnya. Termasuk Embun yang saking nge-fansnya kepada EXO, dia menjadikan wajah-wajah personil EXO sebagai wallpaper ponsel dan memenuhi dinding kamarnya.
“Kuputar satu lagu, ya,” Pintanya. “Kau bisa dengar musik mereka yang manis dan bikin semangat.”
Embun menyebut dan memutar lagu Monster, Mama dan Call Me Baby dari ponselnya. Sambil mendengarkan lagu-lagu itu, Embun memberiku kuliah kilat tentang perjuangan para idol untuk memenuhi tugas yang berat sebagai bintang K-Pop.
“Berat sekali, nah,” Kata Embun dengan wajah yang sedih. “Ko tahu, sampai-sampai ada beberapa idol Korea yang bunuh diri,” Lanjutnya.
“Pahamka’, apa yang kita’ jelaskan. Memang ada toh, hal-hal yang narasakan bintang K-pop sebagai alienasi. Sama jie seperti buruh pabrik yang tidak pernah memperoleh makna dari apa yang mereka produksi. Hingga akhirnya jati diri mereka terdistorsi menjadi mesin.”
Embun mengetuk kepalaku.
“Terlalu berat penjelasanmu, pak,” Katanya sambil mengetuk kepalaku untuk kedua kalinya.
“Maaf, maaf,” Kataku. “Intinya mereka terlalu dipaksa terus tampil seperti mesin, jadi mereka tidak punya waktu untuk beristirahat,” Lanjutku berupaya menjelaskan asumsiku.
“Ia. Pernahka nonton film dokumenter tentang idol Korea. Dan betul apa yang kita’ bilang. Latihan terusji nakerja,” Kata Embun sambil melihat ke arah matahari yang semakin meninggi. Aku lalu mengulum bibir Embun lagi. Rasa stroberi dari lipstik Embun semakin pudar, tapi kenangan peristiwa itu tidak akan pernah lenyap, “Satu dari sekian peristiwa yang paling membahagiakan dari hidup adalah ketika musik K-Pop menjadi latar dari momen intim dengan seseorang,” Aku masih ingat betul, Embun pernah berkata seperti itu.
Aku berasal dari Kabupaten Bantaeng. Rumahku berada di dalam kompleks perumahan polisi. Bapak bilang, sebelum pindah ke Bantaeng, bertahun-tahun yang lalu dia tinggal di Kota Makassar lalu bertemu ibu, menikah dan membesarkan aku di sana hingga usia empat tahun. Bapak adalah seorang polisi, polisi aneh yang menggemari musik Radiohead dan novel-novel detektif. Dan ibuku sibuk menjual nasi kuning di depan rumah. Aku anak pertama dan memiliki adik perempuan yang masih SMA. Namun semenjak terpaksa harus kuliah di Makassar, Bapak menyewa indekos eksklusif milik kenalannya di dekat asrama tentara. Aku hanya bisa betah selama dua minggu. Aku memutuskan untuk pindah, karena gerbang indekosku selalu tertutup pada jam 10 malam. Pada saat itu tanpa sepengetahuan Bapak, aku pindah ke indekos murah di dekat terminal.
Di indekosku itulah, berminggu-minggu kemudian setelah hari ulang tahun Embun, aku mengajak Embun menonton film, A Walk On The Moon di laptop. Saat itu, kami sudah libur semester. Di sabtu siang dan di luar sedang hujan deras. Mungkin itu pertengahan bulan Januari tahun 2016, kami menonton film yang rilis pada tahun 1999. Film itu dibintangi oleh Diane Lane dan Viggo Mortensen. Di dalam film itu, para keluarga yang berasal dari daerah perkotaan berlibur di area hutan pinus untuk menyambut pendaratan pertama umat manusia di Bulan. Aku sudah menonton film itu beberapa kali. Aku menyukai suasana film itu karena menampilkan hasrat orang-orang kota terhadap lingkungan pedesaan sebagai hasrat untuk mencari liburan dan berselingkuh. Tapi tidak untuk Embun. Pada awalnya Embun ogah untuk menyelesaikan film itu, tapi setelah menonton satu adegan, dia tertarik untuk meneruskan film itu hingga akhir.
“Kadang-kadang berharapka’ seperti Pearl.”
Embun bicara seperti itu, selepas menonton film. Pada saat mendengarkan Embun mengatakan itu, aku tidak menanggapinya dengan serius.
“Keren toh, filmnya,” Kataku dengan bangga.
Embun hanya mengangguk.
Sekarang jika saja aku bisa mengulang momen itu, aku ingin memahami Embun seperti berupaya memahami film A Walk On The Moon; mengapa Pearl memutuskan untuk berselingkuh? Di dalam film itu, Pearl diam-diam meninggalkan suami dan kedua anaknya. Pearl pergi bersama pedagang baju blus untuk menonton konser Hippie dan bercinta di pinggir sungai. Film itu menggambarkan Pearl yang terjebak sebagai istri sejak usia muda. Pearl, sepanjang hidupnya hanya mengurusi keluarganya dan tidak pernah merasakan ‘kebebasan’ dan kata itu lepas dari pengawasanku ketika mendengarkan Embun yang ingin menjadi orang lain. Saat itu hujan di luar semakin deras, aku sibuk mencumbu Embun di depan rak buku.
“Mauka’ kasi tahu sesuatu,” Embun berkata seperti itu. “Bisaka’ jadi orang lain?”
“Serius?” Kataku.
“Mauja kasi tahu kalau begitu saja sifatku.”
“Baik,”
“Jadi bisaka’ jadi orang lain, yang sama sekali tidak bisa kita’ kenali?”
Embun menangis mengatakan itu dan aku sama sekali tidak paham situasi yang membungkus kami.
Aku memeluk Embun dan mengusap jilbabnya. Aku berusaha membuatnya tenang dan berusaha meyakinkannya jika aku tidak akan pernah meninggalkan Embun. Kenyataannya, saat itu dadaku dipenuhi pasir. Bagi Embun, apa artinya menjadi orang lain. Dan mengapa?
Embun adalah anak pertama dari dua bersaudara. Embun memiliki satu adik perempuan dan satu lagi adik tiri. Adik Embun yang pertama bernama Cahaya. Waktu itu, dia masih kelas dua SMA. Saat pertama kali berjumpa dengan Cahaya aku tertarik melihat tubuhnya yang jauh lebih tinggi dari Embun. Tapi bukan hanya itu, Cahaya tipe gadis yang blak-blakan dan selalu memukul punggung seseorang ketika tertawa. Adik Embun yang terakhir bernama Juni, saat itu Juni masih kelas 6 SD. Juni adalah adik yang lahir dari hasil pernikahan Ibu Embun dan Bapak tiri Embun, sewaktu Embun masih kelas 5 SD. Meski pun bukan adik langsung, Embun sangat menyayangi Juni.
“Juni itu pendiam sekali, tapi selalu dapat rangking 1. Guru-gurunya suka sekali sama dia. Tapi Mamak mau nakasi masuk Juni ke Pesantren,” Kata Embun kepadaku, “Kutolakki’. Karena orang pintar toh, seharusnya masuk SMP unggulan, kasihan sekali kalau masuk pesantren ki,” Lanjutnya.
Saat itu aku setuju dengan Embun. Mungkin, karena kami sama-sama tidak menyukai pelajaran agama dan juga guru agama, kami punya pola pikir yang sama. SMP, (unggulan), adalah tempat yang tepat untuk murid yang selalu rangking 1. Tapi Embun tidak terlalu yakin bisa mengubah pikiran Ibunya. Tanpa beasiswa, Juni juga akan berakhir masuk ke Pesantren. Bapak dan Ibu Embun yang hidup dari berkebun sayur-mayur tidak punya banyak pilihan.
Suatu hari, keluarga Embun berkunjung ke Makassar untuk urusan pernikahan keluarga. Embun mengajak aku dan dua adik perempuannya berkunjung ke Mal Makassar City Center di dekat Pantai Losari. Embun lalu berinisiatif mengajak adik-adiknya menonton film Finding Dory di bioskop. Namun Cahaya menolak, karena dia berpikir bahwa film animasi hanya untuk anak-anak. Film itu hanya untuk Juni. Cahaya berpikir kalau Embun hanya menyayangi Juni. Cahaya mengancam pulang sendirian, jika dia tidak dibiarkan memesan tiket untuk film yang lain. Embun menghela napas, dia mengikuti kemauan adiknya.
“Minta maaf, kurepotkanki’ lagi,” Kata Embun kepadaku selepas aku setuju untuk menemani Cahaya.
Cahaya memintaku memesan tiket film The Conjuring 2. Saat itu film horor selalu diminati banyak orang, (mungkin sampai sekarang). Cahaya suka menonton film horor, karena dia merasa film horor sama saja dengan film lainnya. Sama sekali tidak membuatnya takut.
Studio bioskop sudah sesak saat kami memesan tiket. Tapi kami beruntung karena masih mendapatkan dua kursi di bagian belakang. Aku ingat ketika lampu studio mulai redup, Cahaya menggenggam tanganku. Gemetar dari tangannya yang merambat ke tanganku menjelaskan bahwa dia ketakutan. Ketika durasi film itu mencapai pertengahan, sekelompok orang di kursi bagian depan mengalami kesurupan. lampu studio dinyalakan dan film harus dihentikan. Cahaya yang sangat penasaran melihat akhir nasib keluarga Warren, mengumpat ke orang-orang yang kesurupan itu sebagai ‘orang kampungan.’ Sepanjang hari itu, Cahaya tidak ingin berbicara dengan siapa pun.
Sedangkan Juni sepertinya tidak menyukaiku. Pada suatu malam, Embun menghubungiku lewat telepon. Dia ingin aku menjemput Juni di terminal dan mengajaknya membeli novel teenlit di toko buku Gramodus. Juni tidak pernah berbicara ketika berboncengan denganku dan tetap tidak berbicara hingga ia membayar dua novel dari Tere Liye di kasir. Setiap kali mataku bertemu dengan matanya, Juni menatapku dengan mata kasihan. Aku jadi salah tingkah. Untuk beberapa alasan, tatapan Juni membuatku merasa bersalah. Ketika aku mendapati mata Juni sedang menatapku, dia seolah-olah ingin mengatakan sesuatu—perihal kata-kata yang tidak bisa dia ucapkan lewat mulut. (Jauh setelah hari itu, aku paham; kata-kata seperti apa yang ingin diucapkan Juni lewat tatapannya).
Saat itu, cukup lama aku dan Juni menyandar di pembatas lantai 3 dan melihat anak-anak bermain di Time to Fun. Embun datang dan Juni berlari ke arahnya. Saat aku ingin mengantar mereka berdua, Embun menolak. Embun bilang, “Terima kasih. Tapi saya sama Juni pulang sama Om. Nda apa-apa jiki’ saya tinggal?” Dan aku balas, “Tidak apa-apa.” Embun lalu menggandeng tangan Juni menuruni tangga lift. Sekilas Juni melihat ke arahku, masih dengan tatapan kasihan yang sama. Itu terakhir kalinya aku melihat Juni.
Dari lantai 3, aku masih bisa mengawasi mereka hingga melewati pintu keluar mal. Aku tidak pernah melihat sosok paman Embun. Embun juga tidak pernah memperkenalkan pamannya kepadaku, Embun sama sekali tidak pernah ingin menyinggung sosok itu. Ketika kebetulan percakapan kami berkembang dan hampir menyinggung soal pamannya, Embun segera menilik topik baru. Setelah berulang kali mengalami kondisi yang sama, aku tahu jika ada yang aneh dengan Embun. Aku seharusnya tidak perlu peduli soal keluarga paman Embun. Aku hanya tertarik soal Embun yang terasa seperti menyembunyikan sesuatu.
Namun, pada akhirnya aku bertemu dengan paman Embun.
Pada hari kamis, Embun sudah tiga hari tidak ke kampus. Dia bilang kepadaku jika alergi kulitnya semakin parah. Tanpa meminta izin Embun, (karena dia pasti melarang), sehabis dari kampus aku pergi menjenguk Embun di rumah Paman Embun.
Rumah Paman Embun mudah dikenali. Rumah itu bercat putih dan bergaya minimalis. Hanya satu rumah yang bergaya seperti itu di kompleks perumahan dosen. Aku sudah beberapa kali menjemput dan mengantar Embun di rumah itu. Tapi aku hanya selalu tiba dan pergi di depan gerbang kayu yang selalu tertutup.
Saat itu aku memarkirkan motor Suzuki Smash Putih di ujung rumah dan berjalan sedikit ke gerbangnya. Aku berhenti sejenak melihat genangan air di depan gerbang. Dari celah-celah gerbang aku mengintip ada sosok orang yang sibuk mencuci mobil berwarna hitam. Aku mengucapkan salam, awalnya cukup pelan dan sopan, lalu aku berteriak karena sosok itu sepertinya tidak mendengarku. Teriakanku yang terakhir membuat orang itu bergerak ke arahku dan menggeser pintu gerbang. Orang itu adalah Paman Embun.
Dia berwajah bayi dan mengenakan kaca mata. Sisi-sisi tubuhnya mantap. Meski terlihat jauh lebih dewasa dariku, paman Embun terlihat lebih segar. Karena saat itu, dia hanya mengenakan bokser hitam, otot-otot kakinya tampak sebagai kaki yang terlatih. Dia juga mengenakan kaus hitam polos yang fit ke tubuhnya, kedua bahunya tampak lebar dan bagian perutnya tidak menampilkan perut para suami. Singkatnya, meski mencuci mobil Pajero hitam, dia terlihat segar, rapi dan bersih.
Paman Embun menatapku sebentar, lalu memunggungiku. Dia berjalan kembali ke pantat mobil Pajero itu, berjongkok dan meraih selang di lantai.
“Cari siapa, dek?” Dia mengatakan itu sambil menyirami mobilnya.
“Mau ketemu Embun, Om.” Kataku mencoba mengucapkan kalimat itu sesopan mungkin.
“Kau teman kuliahnya?” Paman Embun batuk kecil, suaranya terasa berat.
“Ia, Om,” Kataku. “Sudah tiga hari ini Embun nda ke kampus, bermaksudka untuk jenguk dia.”
“Tapi Embun tidak ada di sini.”
“Tidak ada?” Kataku kembali menegaskan kata-kata Paman Embun.
“Adaki di rumah tantenya.”
“Di mana itu Om?”
“Di jalan Hertasning.”
“Kukira dia sakit.”
Paman Embun mematikan keran airnya.
“Duduk duluan mi di sana,” Kata Paman Embun menunjuk kursi depan rumah. “Saya selesaikan dulu ini.”
Di teras rumah, aku duduk di kursi rotan. Halaman rumah Paman Embun cukup hijau, ada satu pohon mangga harum manis yang tumbuh di dekat jendela sebuah ruangan yang mungkin kamar tidur. Dahannya yang lebat menciptakan sejuk yang alamiah. Aku menunggu Paman Embun di sana sambil menghubungi Embun lewat ponsel. Tapi ponsel Embun tidak aktif.
“Kau temannya Embun? Yang pernah jalan sama Juni?” Paman Embun duduk di sampingku sambil meletakkan sebungkus rokok Surya Pro. Menggenggam satu rokok dan menyalakan api korek ke ujungnya.
“Ia, Om,” Jawabku.
Paman Embun menawarkan rokok kepadaku, tapi aku tidak merokok. Kenyataannya, ketika aku mengetahui bahwa Paman Embun merokok dan tetap memiliki badan yang bugar membuatku kagum.
“Embun memang tidak enak badan. Sudah saya larang pergi-pergi. Tapi, tadi pagi dia pergi sama tantenya di rumah keluarga yang mau menikah.”
“Kukira dia masih di sini, Om.”
“Dia kayaknya baru pulang besok pagi,” Katanya sambil menghela asap rokok. Satu puntung sampah rokok lalu dia buang ke asbak. “Kau pacaran sama Embun?”
Pertanyaan mendadak, aku tidak tahu harus mengatakan apa.
“Dulu waktu saya seusia dirimu, saya tidak pernah pacaran. Bukannya tidak mau. Tapi pada saat itu, budaya pacaran memang bukan menjadi budaya kita.” Paman Embun berdeham. Aku tidak tahu kapan budaya pacaran menjadi budaya orang sini. “Saya tidak bermaksud mengurusi hubungan kalian, tapi karena Embun tinggal di rumah ini, dia harus mengikuti aturan-aturan rumah. Embun tidak bisa pacaran di rumah ini, tapi di luar rumah, kami tidak punya hak.”
Aku hanya bisa mengangguk.
“Saya tidak larang Embun pacaran, saya mau pastikan Embun pacaran sama orang yang tepat.”
Aku tidak punya kata-kata selain menanggapinya dengan, “Ia, Om”
“Kau tinggal di mana?”
“Di dekat terminal, Om.”
“Kau bukan orang asli sini?”
“Lahir dan besar sampai usia empat tahun, sebelum pindah ke Bantaeng, Om.”
“Kenapa pindah ke sana?”
“Ikut Bapak.”
“Bapakmu kerja apa?”
“Polisi.”
Pada saat itu, aku mulai tidak nyaman dengan percakapan yang membahas diriku sendiri. Aku memang orang yang selalu tidak suka membahas diri sendiri. Aku lalu mencoba mencari topik lain, tapi Paman Embun mendahuluiku.
“Menyenangkan, kah, pacaran sama Embun?”
Sialnya, pilihan topik itu membuatku tertegun. Tapi Paman Embun terlihat serius dan menunggu jawabanku.
“Sampai sekarang cukup menyenangkan, Om,” Kataku asal bunyi.
“Cukupnya itu, cukup bagaimana?”
“Embun orang yang baik, Om.”
“Syukurlah,” Kata Paman Embun diikuti helaan napas yang mengembuskan asap rokok ke arahku. Saat itu aku sama sekali tidak paham, rasa syukur semacam apa yang Paman Embun ucapkan. “Omong-omong, kau sudah makan?”
“Sudah, Om,” Jawabku cepat, (padahal saat itu yang aku maksud sebagai sudah makan adalah makan siang. Kenyataannya, sore itu perutku keroncongan.)
“Karena tantenya Embun tidak ada saya mau pesan makan, siapa tahu kau juga mau.”
“Jangan mi, Om.”
“Atau, mau kopi?”
“Jammiki repot-repot, Om.”
Aku sebenarnya suka minum kopi, tapi aku enggan berlama-lama pada situasi itu. Lagi pula, Embun juga tidak ada di sana.
Paman Embun memainkan ponselnya dalam diam. Saat itu aku tahu jika dia sibuk memesan makanan lewat aplikasi Gujek. Sesekali aku memperhatikan Paman Embun sambil menyandarkan kedua lenganku ke lengan kursi. Seingatku pada saat itu, aku menoleh jam di lenganku pukul 17.00.
Aku mencoba mencari kosakata yang tepat untuk mengakhiri pertemuan itu. (Dan kau tahu, salah satu penderitaan terbesar kaum introver adalah menemukan cara yang tepat untuk mengakhiri percakapan). Pada akhirnya satu kata muncul di kepalaku, tapi itu sudah terlambat. Paman Embun mengajakku berbicara lagi.
“Sudah kau telpon, Embun?”
“Sudah, Om. Tapi tidak aktif.”
“Lagi sibuk, kayaknya.”
“Nanti kutelepon lagi, Om.”
“Ia. Telpon mi saja,” Kata Paman Embun singkat. “Kau tidak apa-apa tidak minum?” Lanjutnya.
“Betulan, tidak apa-apa, Om.”
“Tunggu, ya, saya ambilkan air putih.”
“Sungguh Om, tidak perluki’ repot-repot,” Kataku mencoba menghadang Paman Embun.
“Biasanya ada istriku atau Embun yang bikinkan tamu kopi. Saya sendiri bukan penikmat kopi atau teh. Jadi saya tidak tahu cara bikin kopi.”
“Santai, Om.”
Setelah aku mengucapkan itu, Paman Embun kembali sibuk dengan ponselnya. Aku kembali tidak nyaman dengan keheningan, tidak ada angin yang menggoyangkan dedaunan pohon mangga, tidak ada suara kendaraan yang lewat di depan rumah. Keheningan itu seperti rombongan semut hitam yang merayap dari ujung kakiku hingga membungkus utuh tubuhku. Aku harus membetulkan posisi dudukku berkali-kali untuk menghalau mereka.
Aku membayangkan bentuk ekspresi Embun ketika dia tahu bahwa tanpa izinnya aku datang ke rumah pamannya. Aku mencoba mempersiapkan satu-dua jawaban ketika ponselnya kembali aktif dan melihat enam panggilan tak terjawab dariku. Aku berharap, pada saat itu Embun menghubungiku agar aku memiliki alasan untuk kabur dari Paman Embun. Namun, berapa kali pun aku mengecek ponselku, tak ada panggilan masuk.
“Na nikmati ji Embun, hubungannya?”
Tiba-tiba Paman Embun berkata seperti itu, setelah mematikan rokoknya dan meletakkan ponselnya di atas meja. Paman Embun terlihat cukup penasaran, aku bisa merasakan percikan keingintahuan yang besar dari mata Paman Embun. Untung saja ketika aku sudah jadi batu, kurir Gujek muncul di gerbang membawa sebungkus makanan. Paman Embun menghampiri bungkusan itu. Paman Embun berjalan ke pintu belakang dan membiarkan aku kikuk sendirian. Semakin terasa kikuk ketika Paman Embun membuka pintu depan rumah, dari dalam.
“Ayo, masuk. Ko bisa menunggu di ruang tamu.”
Saat itu sebenarnya aku tidak punya niat menunggu. Niat terbesarku adalah pergi dari rumah itu. Lagi pula pikirku, itu sudah waktu yang tepat untuk pamit. Tapi tawaran Paman Embun untuk duduk di ruang tamu dan melihat isi rumah, tempat Embun berlalu lalang setiap hari membuatku tertarik. Dan tarikan itu, terasa makin kuat hingga membuatku betul-betul masuk dan duduk di sofa.
Pandangan pertamaku tentang bagian dalam rumah itu sama seperti bagian luar rumah, sejuk dan nyaman. Lantai yang bersih dan langit-langit tinggi membungkus kesan rumah yang luas. Tapi, ada beberapa barang yang menurutku diletakkan tidak pada tempatnya—vas tanpa bunga yang diletakkan di meja bundar di antara dua sofa panjang, kitab suci yang diletakkan di bawah meja kaca dan mengapa ada sebuah jam dinding dengan kaca yang pecah terletak di lemari kayu. Bingung dengan benda-benda itu, aku duduk di sofa dengan pantat yang sabar. Waktu berjalan sangat lambat. Di ruang tamu itu terasa ada musik jazz dengan intro awal yang sangat panjang. Dari dalam, aku mendengar denting sendok dan piring. Dari dalam aku mendengar bunyi keran air dan suara deham. Tetapi itu saja, selalu ada lebih banyak keheningan di antara suara-suara itu.
Aku mengaktifkan ponselku, dayanya masih cukup banyak. Rasanya ingin sekali aku bermain gim MOBA, tapi itu terasa terlalu aneh untuk bermain gim di rumah orang lain. Aku lalu membuka file musik. Aku mengetuk file berisi album Radiohead Paranoid Android, Lotus Flower, No Surprises, dan Everything in its Right Place. Aku ingin sekali memutar satu-dua lagu dari album-album itu. Lagu-lagu yang cocok untuk menyobek keheningan. Sialnya aku tidak membawa headset, tanpa itu aku tidak bisa menyalakan musik di rumah orang lain tanpa izin. Buntu, aku kembali mematikan layar ponselku.
Aku memeriksa sudut-sudut ruang tamu, apa ada buku yang mungkin bisa aku baca. Aku suka membaca novel, tapi tidak ada. Barangkali komik, juga tidak ada. Hanya ada majalah sepak bola di samping kitab suci dan itu tidak asyik. Rumah macam apa yang tidak melengkapi ruang tamunya dengan paling tidak, buku-buku yang bisa dibaca.
Namun ada sebuah barang yang menarik perhatianku, karena benda itu sangat kontras untuk diletakkan di ruang tamu. Di sudut ruang tamu, sebuah koper hitam yang cukup besar tergeletak di atas meja. Sepertinya itu bukan koper hitam, tapi sebuah imitasi koper hitam yang diperuntukkan sebagai hiasan. Koper itu membuatku berjalan mendekatinya. Aku mendekatkan wajahku, untuk penglihatan yang lebih teliti. Itu memang bukan koper asli, pikirku. Aku lalu tidak sadar menekan tombol yang menarik perhatianku. Koper itu terbuka perlahan-lahan dan seperti peralatan sirkus, isinya sangat mengagumkan. Di dalam koper itu, ada radio putih dan sekitar dua lusin pita kaset.
Secara acak, aku mengangkat satu-dua kaset pita. Itu Nirvana dan Nirvana. Aku mengangkat satu-dua-tiga pita kaset. Itu Radiohead, Radiohead, dan Radiohead lagi. Dengan mengangkat satu hingga lima pita kaset, aku sudah menyimpulkan bahwa sama seperti Bapak, Paman Embun juga penikmat musik subkultur rock alternatif.
Aku tidak terlalu tertarik mengenai orientasi musik Paman Embun yang sangat kontras dengan penampilannya. Dan tidak ada yang salah dengan genre musik yang lain. Menurutku, setiap bapak-bapak klimis yang sempat tersentuh arus musik Amerika di Kota Makassar akan menyukai musik rock alternatif. Aku hanya penasaran tentang rasa musik yang didengarkan lewat radio tape.
Aku melamunkan reka adegan romantis:
Paman Embun membuka koper hitam itu di pagi yang sejuk. Dia mengangkat satu pita kaset. Anggap saja, Paman Embun memilih pita kaset Nirvana dan memasukkannya dengan pantas ke dalam tubuh radio tape. Bayangkan saja jika Paman Embun memutar The Man Who Sold The World dan sebuah melodi gitar bergelombang ringan terdengar selama 18 detik, sebelum suara berat Kurt Cobain terdengar, “We Passed Upon The Stair.” Paman Embun lalu mengentakkan kakinya, tap tap tap yang ringan. Lalu Embun datang dari dalam membawa pisang goreng dan teh hangat dan mereka duduk berdua di sofa. Reka adegan selanjutnya yang muncul di kepalaku membuatku kaget. Aku membayangkan adegan tolol. Aku lekas membuyarkan lamunanku. lagi pula Paman Embun tidak suka teh.
Begitu aku kembali memperhatikan radio tape di dalam koper itu, Paman Embun sudah ada di sampingku. Paman Embun berkeringat, kain kaos di sekitar dadanya basah. Perutnya sedikit membesar. Dia memegang cangkir bergambar delman ditarik kuda terbang yang terukir mengelilingi cangkir.
“Ini air putih. Maaf membuat kau menunggu lama,” Katanya.
“Terima kasih, Om.”
Paman Embun betul-betul berkeringat, dia mungkin selesai dengan makanan penuh cabai. Tapi aku suka dengan orang yang berkeringat sehabis makan. Aku pikir itu adalah etika makan yang bersifat universal. Phytagoras, (atau Protagoras aku lupa siapa), pernah mengatakan, “Orang terhormat, menghabiskan makanannya sebelum kenyang. Orang mulia, berkeringat sehabis makan.”
Saat itu, Paman Embun melirik ke koper hitam, dan aku baru sadar bahwa aku tertangkap basah membuka koper itu tanpa izin.
Aku ingin minta maaf, tapi Paman Embun berkata, “Belum dihubungi, sama Embun?”
“Belum, Om.”
“Mungkin sudah sibuk orang di sana,” Kata Paman Embun sambil menyeka keringat di wajahnya. “Kau suka, kah, dengar musik?”
“Hanya suka saja, Om.”
“Kau suka lagunya siapa?”
“Sama seperti Om, kusuka juga dengar Nirvana sama Radiohead.”
“Hmm…,” Kata Paman Embun, menganggukkan kepala dan menggigit bagian bawah bibirnya, “Itu menarik, di’?
“Om, pasti lebih tahu,” Kataku berupaya memuji Paman Embun.
“Oh saya tidak tahu apa-apa, itu koper punyanya istriku.”
“Ini punya istri, Om,” Kataku menegaskan kembali kata-kata Paman Embun. Dan itu satu kenyataan yang menghapus semua reka adegan romantis tentang Paman Embun yang menikmati pagi dengan musik rock alternatif.
“Jadi, Kau suka musik-musik itu?”
Aku berjalan meletakkan cangkir dari tanganku ke atas meja dengan bunyi denting. Paman Embun memilih satu pita kaset, itu pita kaset Nirvana lagi. Dia membolak-balikkannya dengan kasar.
“Apakah yang menarik dari band ini?”
“Nirvana, Om?”
“Ia, Nirvana.”
“Tidak kutahu banyak, Om. Tapi sepertinya mendengarkan pita kaset dan mendengarkan musik Nirvana lewat ponsel adalah dua hal yang berbeda, Om.”
Paman Embun terlihat berpikir, “Apanya yang beda?”
“Tidak pernah ka’ dengar musik dari pita kaset, Om. Jadi tidak kutahu perbedaannya.”
“Kalau begitu kita dengarkan sama-sama.”
Paman Embun memasukkan pita kaset itu ke dalam radio tape dengan kasar. Dia terlihat kebingungan. Pada saat itu aku juga bingung, jadi aku tidak bisa membantu banyak. Namun pada akhirnya Paman Embun menemukan tombol yang tepat dan suara pukulan senar gitar naik turun terdengar akrab di telingaku. “Underneath The Bridge, tarp has sprung a leak …. some thing in the way …. hmm-hmm.” Dan itu adalah Something in The Way milik Nirvana.
Itu adalah pengalaman pertamaku mendengarkan musik lewat radio tape. Aku kagum. Suara musik yang mengalun ke dalam telingaku terasa seperti susu murni. Suara Kurt Cobain yang keluar dari radio tape lebih marah dan menantang. Aku tidak pernah mendengarkan kesan itu dari musik yang diputar di ponsel. Sedangkan di tengah-tengah kenikmatan itu, Paman Embun tertangkap mata melirikku. Mimik wajahnya terlihat tertekan.
“Kau tahu lagu, ini?”
“Itu lagunya Nirvana, Om. Salah satu lagu yang terkenal,” Kataku. Kurt Cobain pernah menjelaskan, aku tidak ingat membacanya di mana, bahwa lagu Some Thing In The Way merupakan fantasi Kurt Cobain yang membayangkan jika ia hidup di dalam tanah.
“Hmm,” Paman Embun berdeham. “Saya sama sekali tidak bisa paham soal ini musik.”
Aku menatapnya dengan heran, “Om, tidak suka musik?”
“Suka juga jie. Kadang saya dengar juga musik di dalam mobil. Soal genre musik, saya juga tidak masalah. Belakangan ini, saya juga suka dengan lagu-lagu Korea. Tapi istriku aneh sekali, dia bahkan tahu sejarahnya ini musik. Dia suka sekali putar radio tape kalau sedang menyapu. Kata istriku, musik-musik ini bikin tambah semangat,” kata Paman Embun. “Tapi sudah lama mi ini radio tidak pernah terdengar.”
Aku hanya sedikit menganggukkan kepala.
“Kau juga tahu sejarahnya ini musik?” Tanya Paman Embun.
“Sedikit, Om. Ini lagu yang diciptakan Kurt Cobain untuk menceritakan hidupnya,” Jelasku. “Semacam autobiografi vokalisnya, Om.”
“Cocok moko memang sama istriku,” Paman Embun tertawa. “Sebenarnya ada beberapa musik yang tidak pernah bisa saya suka. Nda tahu kenapa, saya nda bisa dengar musik yang terlalu bising. Baru istriku suka sekali dengar musik-musik bising. Sakit sekali rasanya telingaku dengarki. Saya memang nda bisa larang istriku putar ini musik. Tapi kalau saya pulang kerja dan lelah sekali dan ini musik yang terdengar, saya selalu nda sadar melakukan sesuatu setelahnya.”
Aku hanya bisa menganggukkan kepala sambil melihat mata Paman Embun dengan mata yang penuh perhatian. Aku paham situasi itu. Aku paham jika situasi itu bukan lagi tentang Nirvana. Aku paham jika situasi itu tidak perlu membuatku berbicara.
“Kalau saya dengar itu musik, seperti ada yang bajak kepribadianku.” Entah mengapa saat itu Paman Embun tertawa. “Saya tetap jie sebenarnya menjadi diri sendiri, tapi selalu ada bagian dari diriku yang lepas dari kendaliku. Seperti air yang kalau sudah terlanjur menguap, tidak bisami dipegang.”
Paman Embun terdiam. Dia menatap ke arahku dan mempersilakan aku meminum air dari cangkir di meja.
“Nda membingungkan jie kata-kataku?” Tanya Paman Embun. Dia memastikan jika aku masih mengikutinya.
“Nda jie, Om,” Kataku.
“Saya kadang-kadang selalu menyalahkan diriku ketika saya tidak paham sama istriku. Satu-satunya yang tidak bisa saya kendalikan adalah perasaan saya kepada istriku. Seperti selalu bukan saya.”
Aku mengangguk dalam diam.
“Radio itu sudah lama tidak terdengar. Istriku sejak sakit tidak pernah lagi dengar musik. Saya nda paham apakah tubuh yang sakit bikin kita nda mau dengar lagi musik. Kau tahu hubungannya, kah?”
“Yang kutahu Om, musik memang bikin kita bersemangat.”
Saat itu Paman Embun terdiam. Dan aku juga begitu. Aku tidak tahu lagi harus mengatakan apa? Sejak awal seharusnya aku tidak berada di ruang tamu. Aku seharusnya sudah pamit begitu tahu jika Embun tidak ada di rumah. Tapi pada saat itu, aku juga mengerti mengapa Embun tidak pernah ingin bercerita soal Pamannya.
Setelah lagu Something In The Way berhenti, Paman Embun mematikan radio tape itu. “Terima kasih, nah,” Kata Paman Embun yang membuatku salah tingkah. “Coba saja saya tahu bikin kopi, di’, pasti saya bikin kan ko.”
Aku tertawa kecil, “Nda apa-apa, Om. Cukup sekali mi ini air putih.” Setelah mengucapkan itu, aku jadi punya keberanian untuk mengakhiri pertemuan itu. “Minta maaf, Om. Kupamit duluan.”
Paman Embun lalu melirik jam, “Tidak bisa kau tunggu lagi 15 menit? Sampai jam setengah enam. Saya mau jie juga ke Hertasning, ini.” Kata Paman Embun, “Jadi Embun menikmati jie, pacaran sama kau?”
Aku kembali duduk dan mengangguk kecil.
“Hm…” Paman Embun berdeham untuk ke sekian kalinya. “Embun mungkin tidak pernah menjelaskan soal saya. Embun itu anak pertama almarhum sepupu satu kali. Ibunya Embun, teman dekat saya dulu, waktu masih SMA di Enrekang. Semenjak bapaknya meninggal, Embun saya biayai sekolahnya hingga kuliah.”
Aku tertarik dengan fakta itu. Paman Embun berarti bukan paman langsung dari Embun.
“Apa yang buat kau tertarik dengan Embun?” Tanya Paman Embun sekali lagi tentang aku dan Embun
“Ada banyak, Om.”
“Kau tidak bisa sebut satu?” Saat itu aku sedikit curiga dengan Paman Embun. Aku tidak paham mengapa dia begitu ingin tahu.
“Ada banyak sekali, Om. Tidak pahamka,’ haruska’ sebut yang mana,” Jawabku dengan upaya mengamankan diri.
“Hm…” Paman Embun berdeham lagi. “Saya sedikit paham, kalau ada begitu banyak hal yang menarik dari Embun. Sejak saya perhatikan dia dari kecil hingga sekarang, Embun tumbuh besar menjadi gadis manis dan baik hati. Kadang-kadang saya juga merasa jie, kalau waktu berlalu begitu cepat. Itu Embun tiba-tiba sudah jadi gadis yang cantik. Kalau saja saya berada di posisimu, saya pasti memberi yang terbaik untuk Embun.” Paman Embun melirik cangkir di meja. Begitu dia tahu, jika air di cangkir itu sudah habis, Paman Embun ingin mengisi cangkir itu lagi.
“Tidak perlu, Om.” Kataku cepat-cepat menghalau Paman Embun, “Harus betulanma’ pamit Om.”
“Tidak bisa duduk-duduk lebih lama?”
“Terima kasih, Om. Harusma’ balik Om sebelum magrib, masih ada yang harus kupergi setelah magrib.”
Aku berdiri dari sofa. Paman Embun mengikutiku.
“Kalau begitu, berikan yang terbaik untuk Embun, nah.” Kata Paman Embun sambil menepuk pundakku.
“Ku‘ pamit, Om.” Kataku begitu aku melewati gerbang. Aku menyalakan motor Suzuki Smash Putih dan menyalakan klakson. Belum terlalu jauh dari rumah Paman Embun, ponsel di saku celanaku bergetar. Aku meminggirkan motor dan mengintip ponselku. Telepon dari Embun.
“Kenapa?” kata Embun dari seberang ponsel, setelah membalas salamku.
“Bagaimana keadaanta’?” Tanyaku.
“Masih tidak bisa apa-apa. Di rumah terus jaka ini.”
Aku juga tahu jika Embun berbohong. Aku tidak tahu mengapa saat itu dia harus berbohong. Tapi itu sudah jelas, Embun menyembunyikan sesuatu. Dengan lemah lembut aku meminta maaf karena mengganggunya. Lalu aku mematikan ponsel itu.
Pada saat itu, aku tidak pernah menjelaskan jika aku baru saja pulang dari rumah pamannya. Bercakap soal musik, bercakap soal dirinya, bercakap soal istri pamannya yang sakit. Mungkin memang lebih baik pada saat itu aku tidak perlu menceritakan perasaan-perasaan pamannya. Jika pamannya sendiri tidak memberitahu Embun tentangku, aku juga tidak perlu mengatakan apa-apa. Selama Paman Embun tidak mengatakan apa-apa, tidak ada alasan juga bagiku untuk mengucapkannya.
Beberapa minggu kemudian, aku putus dengan Embun.
***
Aku harus menghabiskan waktu selama lima tahun agar bisa lulus dari Fakultas Filsafat Murni. Prestasi yang kuterima masih cukup untuk membuat Bapak datang dari Bantaeng dan menyampaikan pidato aneh di acara wisudaku. Embun lulus dua tahun lebih cepat dariku. Dan sejak saat itu, aku tidak pernah lagi melihat Embun. Di media sosialnya aku masuk dalam daftar blokir.
Selepas keluar kampus, aku tidak langsung bekerja. Aku menjadi wisatawan ransel amatir yang mengelilingi Pulau Sulawesi selama delapan bulan. Lalu tinggal di sebuah desa di Kabupaten Maros selama tiga bulan. Bekerja di sana, membantu seorang petani tua sebatang kara menanam beras merah. Selepas dari Kabupaten Maros, aku memutuskan untuk kerja di sebuah pabrik pupuk kompos.
Pada usia 29 tahun, meski sudah kuremukkan, hatiku masih kuat untuk jatuh cinta dengan seorang perempuan manis yang empat tahun lebih tua dariku. Saat itu, dia baru saja lulus di perusahaan milik negara. Perempuan yang karakternya mirip Chopper di serial manga One Piece adalah tipe perempuan yang brilian. Dia selalu menemukan tingkah baik yang selalu membuat aku kagum. Dia berasal dari langit, semacam malaikat. Setiap kali aku memujinya, dia akan marah. Tetapi wajahnya yang merah manis, selalu minta untuk dipuji.
Satu tahun setelah kami menikah, aku mendapatkan beasiswa pendidikan dari negara. Aku tidak pintar sebenarnya, hanya saja istriku tidak pernah goyah memberiku semangat untuk tetap beranjak dewasa. Keberuntungan random dan keberkahan istri yang berhati malaikat saling mengikat. Aku lalu pamit dari pabrik pupuk kompos dan kuliah program S2 dan S3 di Universitas Otani di Kyoto, Jepang. Di sana aku mengambil studi Filsafat Murni. Istriku yang masih harus bekerja di kantor mengantarku ke bandara dengan pelukan yang hangat. Setiap malam, karena waktu Kyoto dan Makassar hanya berjarak satu jam, kami melepas kangen lewat Video Call.
Di Kyoto Botanical Garden di dekat gerbang Komogawa. Tahun kedua aku di Kyoto, aku bertemu dengan Juni. Sore itu awal bulan Mei. Tujuh hari sebelum aku berusia 32 tahun.
Di sekitar Gerbang Komogawa, pohon-pohon Sakura merekahkan warna merah muda. Aku berjalan dengan kedua lengan yang bersembunyi ke dalam saku jaket. Di sana aku berjalan-jalan ringan, berupaya merangkul semua pikiran berat tentang persiapan ujian akhir. Dengan upaya meditasi, aku hanya ingin memperhatikan bunyi tap tap dari kaki-kakiku. Tapi seorang wanita berjilbab putih berpapasan denganku, wajahnya cukup populer dan adalah hal yang menyenangkan jika bisa bertemu seseorang dari kampung halaman. Namun saat itu, aku hanya ingin sendirian.
“Kakak!” Teriaknya.
Gadis itu berbalik dan memanggil namaku. Aku menghentikan langkahku, menoleh ke arahnya dan mendapati wajah gadis yang asing. Dia memang orang Indonesia yang tampak jauh lebih muda dan lebih pendek dariku. Dia mengenakan jaket tebal, syal putih, rok panjang yang merumbai dan sepatu coklat. Sepertinya dia adalah seorang mahasiswa jenjang S1 yang belajar di Kyoto. Saat itu aku menebak, dia sedang salah orang. Tapi dia berjalan menghampiriku dengan percaya diri. Tatapan dan senyumannya mulai terasa akrab.
“Kakak, saya lupa namata’. Tapi nda salah lagi, kita pernah antarka’ beli buku di Gramodus.” Saat itu, aku kaget mendengar logatnya. Tapi, berapa kali pun aku mengamati wajahnya, aku tidak bisa mengenalinya.
“Kita pernah bertemu di Gramodus?” Kataku, mencoba membetulkan dugaannya yang barangkali keliru.
“Saya Juni, Kak. Adiknya Kakak Embun.”
Hanya butuh tiga detik setelah mendengarkan namanya, semua kenangan di masa lalu kembali bermunculan di kepalaku.
“Juni?!” Kataku sambil menaikkan kedua alisku. Aku lekas mengenali semua sisi wajah Juni yang terakhir kali kulihat sebagai wajah anak SD. “Kenapa bisa ada di sini?” Tanyaku.
“Saya dapat beasiswa, Kak. Sudah tiga bulan saya jadi mahasiswa di Universitas Kyoto.”
“Wah, keren, Juni!” Kataku. “Betul-betul ya, takdir selalu bikin kita terkejut.”
“Iya, Kak. Saya sudah perhatikan kakak dari jauh. Awalnya saya ragu kalau itu Kakak. Tapi saya tidak pernah lupa dengan wajah orang yang pernah saya temui.”
“Ingatanku tidak sehebat dirimu, Juni,” Kataku. “Maaf, ya, kalau aku tidak cepat mengenalimu. Terakhir kali aku melihatmu pas waktu di Gramodus itu.”
Juni tertawa, “Betul, Kak. Waktu itu saya memang masih SD, wajar kalau Kakak lupa. Tapi wajah Kakak tidak berubah banyak, jadi saya bisa kenali kakak dengan cepat.”
“Kamu sebenarnya mau bilang kalau aku awet muda, toh?” Kataku tertawa.
“Begitulah, Kak.”
Aku tertawa, Juni tersenyum manis. Pertemuan itu menimbulkan kehangatan.
“Tapi, kamu jelas-jelas sudah berubah. Sekarang sudah jadi gadis. Gadis yang pintar lagi.”
“Biasa saja, Kakak.”
“Kalau kuliah di Kyoto itu biasa saja, berarti Juni memang super jenius.”
“Hanya soal keberuntungan, Kakak. Keberuntungan tidak bisa ditunda, kan, Kak.”
“Betul,” Kataku mengangguk. “Bagaimana kabar, Embun?”
Saat mendengar pertanyaan itu, Juni menurunkan pandangannya, embusan napasnya terdengar berat. Ketika dia kembali mengangkat wajahnya, tatapan kasihan dari Juni pada belasan tahun yang lalu kembali muncul. Saat itu tiba-tiba latar suasananya sudah bergeser, gelembung udara dingin padat membungkus tubuh kami.
“Kakak tidak pernah dengar soal Kakak Embun?”
“Aku hilang kabar soal Embun. Bertahun-tahun yang lalu.”
“Kakak Embun sudah tidak ada lagi, Kak.”
“Tidak ada?”
“Kakak Embun sudah tidak ingat dirinya, lagi, Kak.”
“Tidak ingat?” Aku masih tidak bisa memahami kata-kata Juni.
“Kakak Embun sakit parah. Saya selalu benci mengatakan ini, Kak. Setiap kali saya mau bilang soal Kakak Embun, kayak semacam saya masuk ke dalam awan yang gelap. Tapi Kakak juga berhak tahu, Kakak Embun gangguan jiwa berat.”
Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Aku merasa jika fungsi kerongkonganku menghilang. Aku coba menanggapi Juni tapi aku tidak bisa.
Bayangan tentang Embun yang mengalami gangguan jiwa berat tidak bisa muncul dalam pikiranku. Terakhir kali aku melihat Embun adalah saat aku berpapasan di lobi Fakultas. Saat itu dia sibuk mengurus persuratan sebelum melaksanakan ujian meja. Saat mata kami bertumbukan dia tidak tersenyum, seolah-olah kami tidak pernah saling kenal. Sejak kami putus, dia memang tidak pernah lagi berbicara denganku. Aku juga tidak bisa melihat dia lagi sebagai pesona debar yang membentuk peristiwa relativitas. Perpisahan pada akhirnya mengembalikan kewajaran.
Tapi aku tidak bisa memahami fakta tentang Embun yang gangguan jiwa. Aku juga tidak begitu yakin alasan-alasan yang memungkinkan dia bisa mengalami semua itu.
“Bagaimana kalau kita jalan ke kedai teh di ujung jalan. Nda buru-buru, jie ki’, Juni?”
“Tidak, jie, Kak,” Kata Juni.
“Saya masih ingat waktu kita di Gramodus,” Kata Juni dengan wajah penuh ketegangan, dia duduk di seberang meja kayu. “Waktu itu saya segan sekali sama Kakak. Saya nda berani bilang apa-apa. Padahal itu saya sudah mengenal Kakak dari cerita-cerita Kakak Embun dan saya mau sekali menyelamatkan kakak Embun. Tapi saya tidak bisa mengatakan apa-apa. Dan saya jadi kasihan sama Kakak.”
“Kasihan?”
Wajah Juni menjadi masam, dia terlihat hati-hati memilih kata-kata.
“Saya kasihan, karena waktu itu Kakak menjadi pacarnya Kakak Embun. Saya berharap Kakak bisa menerima ini dan tidak perlu membuat Kakak mengubah penilaian Kakak ke kakak Embun. Sejak berpisah dari Kakak di Gramodus, saya menyesal karena tidak cepat-cepat mengatakannya ke Kakak. Saya ingin Kakak menikah dengan Kakak Embun. Saya pikir, itu mi jalan keluarnya, pernikahan akan menyelamatkan Kakak Embun.” Mata Juni menciptakan permukaan kaca, “Saya merasa Kakaklah yang bisa menyelamatkan Kakak Embun.” Kaca di mata Juni lalu pecah.
“Kalau ini percakapan berat sekali bagimu Juni, kita tidak perlu lanjutkan,” Kataku.
“Tidak, Kak. Kakak berhak tahu semuanya,” Kata Juni sambil mengangguk, “Saat itu, saya memang masih kelas enam SD. Tapi saya tahu jika seharusnya kakak Embun tidak menjalin hubungan dengan Om Barik.”
“Embun menjalin hubungan dengan Om Barik.” Kata-kata Juni membuatku tertinggal jauh di belakang. Aku tidak bisa mengikuti Juni. Saat itu aku bertanya-tanya, siapa Om Barik?
“Saya tidak tahu kapan hubungan mereka dimulai dan mengapa Kakak Embun berani memulai semua itu. Saya juga tidak tahu mengapa Om Barik yang menampung dan membiayai kami di Makassar berlaku seperti itu ke Kakak Embun.”
Aku hanya bisa mengangguk aku paham jika Om Barik adalah Paman Embun.
“Saat itu, saya terbaring di jok tengah mobilnya Om Barik. Saya baru balik dari kegiatan perkemahan pramuka di Bulukumba. Bersama Om Barik, Kakak Embun menjemput saya. Saya terlalu lelah kayaknya, sampai saya ketiduran. Saya pikir, saya masih berada di dalam mimpi waktu saya lihat Kakak Embun dan Om Barik berciuman. Tapi saya yakin kalau itu bukan mimpi karena saya memang tidak pernah mengingat mimpi saya. Mereka memang berciuman.”
Aku terdiam cukup lama. Juni juga bungkam, kenyataan yang baru saja dia paparkan seperti menghabiskan semua tenaganya. Suasana diam-diam membawa pikiran kami menguap.
Tiba-tiba saja wajah bayi Paman Embun muncul di pikiranku, tiba-tiba saja imitasi koper hitam dan kebencian Paman Embun kepada istrinya memutar musik rusak di dalam pikiranku. Ada bara api di dalam hatiku ketika mengetahui Embun berciuman dengan Pamannya. Tapi aku merasa, nyala api itu sudah terlalu jauh di belakangku. Api itu memang tidak akan membakar apa pun. Tapi panasnya terasa dekat.
Hari itu, di sebuah kafe di dekat pantai Losari. Embun mengajak aku untuk berpisah. Aku memarkir Suzuki Smash Putih dan Embun datang dengan Gujek. Aku memesan Amerikano Ice, dia tidak memesan apa pun. Secara terbuka Embun menjelaskan bahwa dia sudah berpacaran dengan seorang mahasiswa dari fakultas lain saat melaksanakan KKN. Aku sudah tahu kenyataan itu. Aku menyesap Amerikano ice dari bibir gelas dengan tenang sebelum aku mengaku jika aku juga sudah tidur dengan seorang perempuan dari kampus lain. Embun ingin menangis, tapi ia segera meraih tasnya dan keluar dari kafe. Aku duduk diam, melihat Embun menghilang dari pandanganku. Saat itu aku merasa tidak ada lagi yang perlu diselamatkan dari hubungan kami, cepat atau lambat kami memang akan berpisah.
Kupikir semua kekalutan yang berbuah di Jepang, tumbuh dari aku yang tidak bisa memahami kata-kata Embun saat menonton film A Walk On The Moon di indekosku dulu. Aku yang tidak bisa memahami tatapan Juni, lalu membuat Embun berbohong saat aku bertemu dengan Paman Embun. Tapi aku memang tidak bisa apa-apa. Waktu dan peristiwa jauh lebih tua dari manusia.
Tapi waktu dan peristiwa juga menguarkan kenangan manis. Di dalam bayanganku, Embun masih gadis yang menimbulkan sihir relativitas di lobi Fakultas, gadis yang membuatku meriang parah sebanyak tiga kali, gadis yang mengajariku musik K-Pop, gadis yang menemaniku melewati beberapa ruang eksklusif, jenis ruang yang tidak akan bisa terulang, hanya bisa kita tempati saat kita menjadi mahasiswa.
“Kakak juga pasti kaget,” Kata Juni, “Kakak juga pasti tidak pernah membayangkan jika mereka menjalin hubungan. Tapi kakak Embun masih Kakak Embun yang pernah Kakak sayangi. Meski semua orang menuduh penyakit yang Kakak Embun derita adalah tulah dari perbuatannya sendiri. Bagi saya, Kakak Embun selalu menjadi Kakak yang hatinya baik. Orang-orang bilang, ibu dan bapak juga bilang begitu. Penyakit yang diderita Kakak Embun adalah kanker yang menular dari mendiang Tante, istrinya Om Barik. Om Barik bercerai dengan Tante setelah Tante tahu hubungan mereka. Tante meninggal tidak lama kemudian karena kanker payudara. Menurut orang-orang kanker itu lalu mengakar di mentalnya Kakak Embun.”
Aku tidak bisa menanggapi semua kenyataan itu.
“Saya memang adik jie untuk Kakak Embun. Mungkin memang, adik tidak perlu tampil sebagai penyelamat. Kakak Embun selalu bilang, Kakaklah yang seharusnya menjadi penyelamat untuk adik-adiknya.”
Aku hanya mengangguk dengan wajah sedih. Tidak ada yang bisa aku ungkapkan. Aku tidak ingin Juni menjelaskan perihal Embun yang semakin membuatnya bersedih. Aku juga sudah terlalu asing untuk Embun.
Aku hanya bisa mengangguk saja. Juni terdiam, datanglah keheningan yang cukup panjang.
“Bagaimana kabar Cahaya?” Saat itu aku mencoba pindah ke topik yang lain.
Juni tersenyum dan berkata, “Meski pun selaluki terlihat judes dan acuh tak acuh, tidak ada yang lebih terpukul dari Kakak Cahaya. Mereka memang kadang seperti kucing-tikus, tapi mereka saling menyayangi.”
“Sekarang, di mana ki Cahaya?”
“Kakak Cahaya sekarang tinggal bersama Kakak Embun. Dia rawat Kakak Embun dengan telaten. Semenjak anak Kakak Embun meninggal, Kakak Embun hidup dalam kegelapan. Kakak Cahaya bisa dibilang menunaikan arti namanya sendiri. Kakak Cahaya dengan kesabarannya menjadi terang untuk Kakak Embun.”
“Embun punya anak?” Aku tidak sadar menanyakan itu ke Juni.
“Ia, kak,” Kata Juni. “Kakak Embun melahirkan anak dari pria itu. Semenjak Om Barik tahu jika Embun mengandung anaknya, Om Barik menghilang. Kakak Embun melahirkan anak yang cantik, tapi dia hanya bertahan selama satu minggu.”
“Duh, maafkanka’ Juni, malah kubuka lagi lukamu,” Kataku dengan lembut. “Tapi, senang sekalika’ dengar soal Cahaya,” Lanjutku dengan kejujuran yang sungguh-sungguh.
“Ia, kak. Kakak Cahaya jadi pahlawan keluarga.” Juni tersenyum.
“Tidak menyangka ka’ kalau tipe gadis yang terang-terangan mengumpat orang yang kesurupan di bioskop, jadi perawat yang telaten.”
Juni tertawa, latar suasana percakapan itu mulai bergeser.
“Jadi bagaimana dengan Kakak sekarang?”
“Aku sudah menikah, Juni. Tiga tahun yang lalu,” Kataku dengan senyuman, tapi wajah Juni menampakkan garis kecewa.
“Saya senang, kalau Kakak bahagia.”
“Tidak juga, masih selalu ada kerikil-kerikil kecil yang sering menancap ke mata.”
“Paham, Kakak.”
“Aku sangat sedih mendengar kabar Embun, aku sangat berharap dia bisa kembali siuman.”
“Maafkan saya Kak, mungkin ini akan menjadi beban pikiran untuk kakak. Tapi Kakak Embun masih sesekali mengingat Kakak.”
Aku tidak menjawab apa-apa dan Juni seperti melipat lidahnya untuk tidak mengatakan apa-apa lagi.
Aku dan Juni berpisah di depan kedai teh. Sebelumnya, kami sudah bertukar alamat dan alamat Juni tidak jauh dari Kampus Otani. Aku lanjutkan langkahku dan Juni melepaskan selamat tinggal dari arah jalan yang berlawanan. Aku menoleh ke arahnya dan tidak lama kemudian sosoknya sudah tertelan kerumunan di taman. Saat itu di antara rindang daun-daun sakura aku merasa dikepung sunyi, aku seperti berdiri di tengah kobaran api. Walau nyalanya jauh di belakangku. Tapi panasnya terasa dekat.