Kota menjadi kumpulan memori karena merupakan wadah dari fungsi hidup manusia yang merekam siklus dan daur hidup manusia (Carmona, 2003). Citra suatu kota bukanlah kreasi manusia semata yang dibangun dalam waktu singkat tetapi merupakan lingkungan yang dibentuk dalam waktu yang relatif panjang. Kondisi wilayah perkotaan yang kita lihat sekarang adalah hasil akumulasi dari setiap tahap perkembangan yang terjadi sebelumnya dan dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Oleh karena itu, selalu ada hal identik yang dikaitkan atau sebutan lain dari kota itu sendiri. Misalnya Kota Bogor yang juga dikenal sebagai Kota Seribu Angkot, penyematan julukan tersebut karena di Kota Bogor keberadaan angkutan kota terhitung cukup banyak dibanding kota-kota lain yang ada di Indonesia.
Sederhananya, kota merupakan sebuah artefak urban yang kolektif dan pada proses tumbuh kembangnya mengakar dalam budaya masyarakat setempat. Untuk itu tak heran jika tiap ada perubahan yang mendasar dari suatu kota, baik itu dari segi bangunan, alih fungsi lahan, kebijakan, maupun kebiasaan, pasti masyarakat yang mendiami kota tersebut akan merasakan suatu kehilangan dan mesti melakukan penyesuaian.
Contohnya adalah keberadaan Pusat Grosir Bogor (PGB) berdiri di lahan yang dulunya kompleks kuburan Belanda (Momento Mori) yang sudah ada dari abad ke-17 atau Bogor Trade Mall (BTM) yang lahannya pernah menjadi bangunan hotel pertama yang didirikan di daerah Kota Bogor yang bernama Hotel Bellevue pada akhir abad ke-17. Pembangunan hotel tersebut tentu saja mengharuskan warga setempat beradaptasi dengan keberadaan hotel baru tersebut, hotel yang sering dikunjungi oleh berbagai wisatawan tersebut mengilhami para warga setempat untuk membuka peluang-peluang usaha yang berbasis pada perkembangan ekonomi masyarakat setempat.
Hotel Bellevue, Hotel Pertama di Bogor
Hotel Bellevue barangkali adalah inisiator yang mengusung konsep hotel dan menyebut nama penginapannya dengan Hotel. Sebab di pertengahan abad 17 waktu itu sudah banyak tempat penginapan namun dengan nama logement (losmen) yang bisa ditemukan di kampong Pledang dan Kampong Tjikemah, atau sebuah pesanggrahan yang sengaja dibuat oleh pemerintah di setiap daerah yang tujuan utamanya jadi tempat transit saat perjalanan dinas jauh yang memakan waktu cukup lama.
Pada tanggal 5 bulan Januari tahun 1853 koran Java-Bode memberitakan bahwa Hotel Bellevue dibangun sebagai tempat penginapan dengan memanfaatkan pemandangan lembah, sungai Cisadane, dan Gunung Salak.
Untuk bisa membayangkan keindahan hotel yang selalu didatangi kaum elite Belanda dan orang-orang Eropa saat menjejakkan kakinya ke Bogor, baiknya kita kutip sekelebat kenangan indah dalam buku Where the Strange Trails Go Down dari Alexander Powell yang ia tulis di balkon kamar bertipe “kamar gunung” di Hotel Bellevue:
Ketika Anda tiba di Hotel Bellevue, Buitenzorg, pastikan untuk memesan sebuah “kamar gunung”. Pemandangan dari balkonnya hanya bisa disaingi oleh beberapa tempat lain di dunia. Di kejauhan, Gunung Salak berdiri dengan anggunnya dengan puncak yang diselimuti awan dan lereng yang dihijaui pepohonan. Dari kakinya tampak sebentuk pita coklat yang mengalir menembus kerimbunan, itulah Sungai Tjidani (Cisadane). Tepiannya yang ditumbuhi pohon-pohon kelapa, dipenuhi rumah penduduk yang kuno dan beratap jerami. Ratusan orang—laki-laki, perempuan, dan anak-anak—tampak sedang mandi di sana.
Bagaimana, apa sudah terbayangkan betapa sejuk dan syahdunya keindahan Bogor di masa itu?
Namun entah apa penyebabnya, Hotel Bellevue yang menjadi primadona lambat laun mengalami penurunan drastis dari para wisatawan, mungkin karena banyak orang Eropa sibuk sendiri di negaranya, sebab pada dekade awal abad 19 kondisi politik internasional antara kiri dan kanan gontok-gontokkan dan revolusi siap pecah di berbagai negara di Eropa. Selain itu, tinggal menunggu hitungan tahun untuk menghasilkan perang dunia pertama yang juga akan diikuti resesi ekonomi di dunia.
Akibat dari itu semua, Hotel Bellevue dan Hotel du Chemin de Fer, sepasang hotel primadona pada masanya diakuisi dengan lima ton emas oleh Staatsspoorwegen (SS), sebuah Perusahaan Kereta Api Negara.
Naas pada tahun 1932, Hotel Bellevue hotel pertama di tanah Bogor yang sudah berusia seabad harus menutup masa kejayaannya dan hanya akan menjadi kenangan sampai sekarang.
Pernah Menjadi Pasar dan Kini Menjadi Mal
Ditutupnya Hotel Bellevue pada tahun 1932 dan setahun kemudian bangunan tersebut menurut koran Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie, tertanggal 28-04-1933 dialihfungsikan menjadi Gedung Dewan Afdeeling Buitenzorg. Setelah dialihfungsikan, beberapa tahun kemudian bangunan Hotel Bellevue, hotel yang memiliki lanskap pemandangan Sungai Cisadane dan megahnya Gunung Salak dihancurkan dan rata menjadi tanah. Kemudian pada penghujung abad 19 dibangunlah Pasar dan Bioskop Ramayana.
Untuk gambaran, Pasar dan Bioskop Ramayana di sekitaran 90-an adalah seperti pasar tradisional pada umumnya, pasar yang menjual beraneka kebutuhan dapur dari sayur-mayur, buah-buahan, bumbu dapur, daging, ikan, dan kebutuhan harian lainnya. Mungkin yang khasnya dari Pasar Ramayana di sekitaran 90-an adalah kondisi tanah-tanahnya yang becek, terlebih di musim-musim penghujan dan pada masa itu banyak anak-anak yang ketika datang bersama orangtuanya menggunakan sepatu boots karena saking beceknya lokasi Pasar Ramayana di kala itu.
Sayang di akhir 90-an Pasar Ramayana mengalami kebakaran hebat dan akibat dari peristiwa tersebut Pasar Ramayana menamatkan karirnya. Pasar Ramayana hilang ditelan api dan tersisa kenangannya saja, sampai pada tahun 2003 bangunannya menjadi pemandangan mengerikan saat orang-orang melewati muka bangunan tersebut.
Kemudian pada akhir tahun 2003 bangunan Pasar Ramayana yang bekas terbakar tersebut dihancurkan dan dikonstruksi ulang menjadi pembangunan Bogor Trade Mall (BTM) yang seperti kita kenal sekarang. Tapi awal pembangunan BTM jelas tidak selurus jalan tol. Lahan yang bekas terbakar itu ternyata memiliki masalah soal kepemilikan tanah. Selain masalah sengketa tanah, pembangunan BTM pada masa itu berpotensi menggangu arus transportasi di wilayah tersebut. Selain menjadi wilayah padat, lokasi tersebut menjadi pemberhentian terakhir angkot 03 trayek Ciapus-Ramayana. Pada masa itu arah Empang ke BTM adalah satu arah.
Keresahan warga pada saat itu hanya menjadi keresahan saja sebab Pembangunan BTM tetap dilanjutkan. Ajaibnya, ketika pembangunan BTM selesai dikerjakan, pemerintah Kota Bogor mengeluarkan kebijakan bahwa jalan raya Empang yang awalnya hanya satu arah dijadikan dua arah. Perlu diingat, pada masa itu mulai dari lapangan Empang ke Ramayana (sekarang arah ke BTM) adalah satu arah dan cukup berhasil untuk meminimalisir kemacetan.
Tak hanya itu, warga dan para supir trayek 03 Empang-Ramayana yang pada awal pembangunannya sudah resah, berubah menjadi marah. Sebab, trayek 03 Empang-Ramayana diubah dan tidak lagi bisa melewati jalanan BTM. Dengan adanya kebijakan tersebut para supir trayek 03 dibuat memutar sehingga mesti menempuh perjalanan lebih lama dari biasanya.
BTM yang Kita Lihat Sekarang
Bogor Trade Mall dibangun pada Oktober 2003 dan mulai beroperasi pada bulan Oktober 2005. Mal ini memiliki luas area 1,5 hektar dan memiliki sembilan lantai. BTM yang mengusung sistem Trade Mall masuk ke dalam jenis enclosed mall, yaitu jenis pusat perbelanjaan modern tertutup. Jenis enclosed mall adalah jenis yang paling banyak dipakai di mal-mal yang ada di Bogor.
Padahal idealnya sebuah pusat perbelanjaan harus tetap menyatukan hubungan antara kegiatan dalam bangunan dengan alam terbuka walaupun jenis pusat perbelanjaan tersebut adalah enclosed mall. Untuk itu banyak mal-mal di Bogor melupakan esensi dari konsep dasar tersebut, sehingga hubungan antara kegiatan dalam bangunan dengan alam luar hilang.
Sejauh ini mal yang memiliki konsep ideal adalah Aeon Sentul dan Botani Square yang menggunakan konsep intergrated mall yaitu jenis pusat perbelanjaan modern terpadu dan ini dibuktikan dengan adanya ruang dan taman terbuka di dalam dan luar mal yang saling berkaitan.
Dengan menggabungkan konsep enclosed mall dengan lifestyle center ke dalam satu kawasan, pemanfaatan lahan pun akan menjadi maksimal dan dalam waktu yang sama pemanfaatan ruang terbuka hijau akan terealisasi, memenuhi tuntutan akan ruang terbuka hijau dalam kota pada masa kini.
Meski BTM hanya terpaku pada apa yang ada dalam bangunan, tapi BTM diuntungkan dengan melihat kondisi pembangunan Kota Bogor yang terpusat di area Kebun Raya Bogor dan Istana Presiden. Keberadaan BTM yang berdiri di kawasan jalan Sistem Satu Arah (SSA) membuat lokasinya jadi strategis karena berada dalam kawasan pusat bisnis di area kota yang merupakan titik pusat kegiatan perekonomian berupa bisnis dan kegiatan komersial yang tinggi di Kota Bogor.
BTM sebagai elemen pusat perbelanjaan secara tidak langsung berada di tengah-tengah elemen perkotaan, lumayan jauh di utara pengunjung bisa melihat landmark Kota Bogor, yaitu Tugu Kujang dan Lawang Salapan, lalu di belakangnya berdiri gagah Gunung Salak. Keindahan Gunung Salak itu pun bisa dieksplorasi lebih syahdu lagi di pelataran kafetaria yang berada di area bioskop BTM.
Selain itu, Mal BTM pada sekitaran tahun 2013–2015 adalah mal dengan harga tiket bioskop termurah jika dibandingkan dengan Lippo Plaza Ekalokasari dan Botani Square. Di samping itu BTM juga adalah saksi mula-mula open mic Komunitas StandUp Indo Bogor. Dan dalam rangka memperingati Hari Museum Indonesia pada tahun 2019, di lantai tiga BTM menyelenggarakan Museum Goes To Mall dan sebanyak enam pihak museum di Bogor berpartisipasi dengan memamerkan berbagai koleksi yang dimiliki oleh masing-masing museum selama dua hari pada Jumat dan Sabtu di 25-26 Oktober 2019.
sumber:
https://poestahadepok.blogspot.com/2017/06/sejarah-bogor-17-sejarah-hotel-salak.html?m=1