Hotel Salak: Ada Pada Setiap Masa dan Saatnya Jadi Bagian Wisata Kota Sastra

5 min read

Tak ada satupun warga Bogor yang tak mengenal nama ini: ‘Hotel Salak’. Ya, bangunan bersejarah dari zaman kolonial hingga sekarang yang masih terus mengabdikan tubuhnya untuk menjadi tempat orang menginap dan beristirahat.

Hotel Salak bagian tak terpisahkan dari sejarah dan tumbuh kembangnya Buitenzorg alias Bogor. Bahkan, bisa dibilang adalah saksi bisu dari setiap kekuasaan negara dalam linearnya masa: Mulai dari penjajahan Belanda dan Jepang, sampai pada lahirnya bangsa Indonesia.

Tapi, Hotel Salak tak membekas kuat dalam ingatan saya dan untuk mengingat keterkaitan saya pada Hotel bersejarah itu sangatlah susah, hanya ada beberapa kelebat: Iwan Simatupang, dan sekali pertemuan dalam Calender Of Event (CoE) yang diselenggarakan oleh Disparbud Kota Bogor. Ini pun tak saya ingat seperti apa peristiwanya dan sisanya hanya sering melewati Hotel bersejarah itu saja. Saya rasa bukan cuma saya sendiri yang merasakan hal semacam ini. Banyak juga masyarakat Bogor yang hanya tahu dan hanya melewatinya saat berkendara atau joging di seberang jalannya.  

The Old Lady’ yang melegenda pada bacaan pertama memiliki beberapa versi perihal tahun pertama berdirinya hotel ini. Ada yang mengatakan tahun 1853, versi yang lain menyebutkan 1913, dan ada juga yang menyebutkan 1923. Tapi yang pasti Hotel yang sekarang bernama Hotel Salak: The Heritage ini adalah salah satu dari tiga hotel mewah yang dulu ada pada saat Bogor masih bernama Buitenzorg.

Hotel Salak: Asal Muasalnya Hingga Sekarang

Hotel Salak: The Heritage seperti kita ketahui bersama adalah hotel yang sudah ada sejak zaman nenek dari nenek kita masih dalam cengkeraman kolonial Belanda. Hotel bersejarah ini setidaknya sudah empat kali berganti nama.

Sebelum menjadi primadona bagi kaum-kaum elit pada zamannya, pada dekade awal abad dua puluh, tepatnya tahun 1913 bangunan ini hanya menjadi tempat penginapan biasa yang bernama Hotel Pension ‘Simon’. Hotel ini dimiliki oleh G. Th. Simon. (lihat De Preangerbode, 28-08-1913).

Hotel Pension ‘Simon’ pada awal berdirinya sudah kalah saing dengan dua hotel yang berdiri lebih awal dan sudah menjadi langganan menginap para bangsawan dari eropa yang melancong atau pelesiran ke Buitenzorg. Dua hotel tersebut adalah Hotel Bellevue (1835) di belokan Jalan Ir H Juanda yang sekarang bangunannya menjadi Bogor Trade Mall (Mall BTM) dan Hotel du Chemin de Fer (1872) di Jalan Kapten Muslihat yang sekarang bangunannya menjadi Kantor Polresta Bogor Kota.

Karena kondisi Hotel Pension ‘Simon’ yang tak bisa bersaing, akhirnya hotel ini dijual kepada NV. American Hotel dan pada tahun 1921 direncanakan perbaikan hotel menjadi lebih megah juga modern dan akan bernama Hotel Amerika. Tapi sayangnya rencana itu gagal dan rencana mati menjadi wacana.

Tapi dalam wacana pembangunan Hotel Amerika, dua tahun berselang ternyata pada 20 Mei 1923 bangunan hotel ini meresmikan hotelnya menjadi Hotel Dibbets. Karena mengambil nama Jhr, EA Dibbets. Maklum Dibbets adalah pemilik saham terbesar dalam kepemilikan hotel tersebut.

Dalam peresmian Hotel Dibbets ini saya menemukan laporan dari jurnalis Jerman, Karel Wijbrand dan laporan itu membuat saya terpana sekaligus merana karena gagal membayangkan keasrian dan hijaunya Buitenzorg.

Pada hari Senin pertama di Buitenzorg Hotel Dibbets yang baru dan indah dibuka. Sejak pagi hari tamu berdatangan, di bawah alunan kuartet string. Penerimaan resmi dilakukan pada makan malam: bunga, musik, champagne, pidato dan wanita cantik dari pukul 7 sampai 9… Tapi aku tahu bahwa hotel ini nyaman dengan ruang marmer yang indah… ini akan dilengkapi: pemandangan indah. Taman Rusa di depan Istana… Lalu ada tempat duduk yang baik, teras di lantai atas menghadap wajah Garden Road dan mengejutkan indah, selanjutnya yang luar biasa Buitenzorg: lampu listrik! Karena ini tempat masa depan dengan air hidup: la houille blanehe. Selama sembilan jam kami duduk untuk makan dan makan malam. Bagaimana kita berpesta, tertawa, minum, pidato menggoda! Dan tarian… Sesungguhnya Buitenzorg menyandang namanya malam itu dengan kehormatan”(lihat: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1923)

Lanskap yang berisi Gunung Salak, lembah di Sungai Cisadane, dan udara dingin yang menyelimuti membuat saya gagal membayangkan keindahan itu pada tulisan yang saya buat ini. Tapi mari balik ke dekade ke dua abad duapuluh, ke masa peresmian Hotel Dibbets. Sebab setelah peresmian tersebut, tak memakan waktu lama Hotel Dibbets langsung menjadi oase bagi kaum elit kolonial untuk menginap, kongko-kongko atau meeting pemerintahan.

Pada masa Hotel Dibbets berpartisipasi, hotel itu menjadi magnet saat orang-orang menjejakan kakinya ke Buitenzorg. Dua Hotel yang lebih dulu menjadi Primadona, Hotel Bellevue dan Hotel du Chemin de Fer yang dulunya sama-sama dimiliki oleh perusahaan swasta, akhirnya diakuisisi oleh Perusahaan Kereta Api Negara, Staatsspoorwegen (SS) dengan harga lima ton emas.

Hotel Salak dalam Kempetai

Seperti pada masa kita sekarang, entah bagaimanapun suatu bangunan yang dikelola pihak swasta akan lebih bagus, terawat dan berusia lebih lama jika dibandingkan dengan bangunan yang dikelola di bawah suatu pemerintahan negara. Begitu jugalah yang terjadi dari tiga hotel legendaris ini, Hotel Bellevue dan Hotel du Chemin de Fer hanya tersisa sejarahnya saja dan hanya Hotel Dibbets yang sampai sekarang bangunannya masih berdiri gagah.

Tapi semua fungsi dan rencana tidak seperti yang selalu dibayangkan manusia juga, sebab peperangan melindas semua rencana dan usaha. Saat itu Perang Dunia Ke dua sudah sampai puncaknya, Jepang mengintervensi kawasan Asia, termasuk nusantara. Kolonial Belanda yang sudah lama mengangkangi nusantara tumbang oleh pasukan Nippon, bergantilah penjajah yang menjajah Indonesia. Efek dari bergantinya penjajah di satu kawasan, berakibat hampir semua warga Eropa khususnya Belanda minggat pulang ke kampung kelahirannya. Otomatis Hotel Dibbets tidak banyak pengunjung. Begitulah nasib yang terjadi pada bangunan hotel legendaris kita di masa penjajahan Nippon dan tahun 1942, Hotel Dibbets diambil alih dan beralih fungsi menjadi markas Kempetai atau Polisi Militer Jepang.

Hotel Salak dalam Revolusi dan Reformasi

Beruntungnya Hotel primadona kita. Sebab tak makan waktu lama, tiga tahun berselang pada tahun 1945 wilayah Jepang yakni Nagasaki dan Hiroshima dijatuhi bom atom hasil rakitan Openheimer atas perintah Amerika dan memaksa Jepang menyerah dan menarik semua pasukannya untuk pulang.

Memasuki masa transisi kemerdekaan, beberapa wilayah di Indonesia pecah revolusi seperti di Yogyakarta, Surabaya, dan Jakarta. Indonesia versus Sekutu. Dalam masa-masa revolusi ini, pemerintah Indonesia fokus mempertahankan wilayah dan kemerdekaannya, tapi sayang hotel legendaris kita di sekitaran 1945–1947 kembali menjadi markas bagi para tentara Sekutu.

Setelah Agresi Militer I dan Agresi Militer II selesai di Indonesia, pada tahun 1949 barulah Indonesia mengelola hotel legendaris kita. Sebagaimana kedaulatan Republik Indonesia diakui oleh Belanda, di tahun itu juga Hotel Dibbets atau saat pendudukan Jepang yang kadang juga disebut Hotel Dibbets-Bellevue yang berada di Grootr weg No. 8, resmi berganti nama menjadi Hotel Salak yang diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti Perak dan beralamat di Jalan Raya No. 8 (lihat: Het dagblad: uitfgave van Nederlandasche Dagbladpers te Batavia, 26-02-1948).

Sama seperti rencana awal pembangunannya, Hotel legendaris kita saat ini sudah menjadi milik Indonesia pun tetap banyak difungsikan untuk meeting-meeting kenegaraan. Ragam acara penting sudah dilaksanakan di Hotel Salak, di antaranya adalah hajat solidaritas tandingan dari Negara-negara yang pernah dijajah, Persiapan Konferensi Asia-Afrika di tahun 1955, dan Pertemuan Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di tahun 1994 yang mendeklarasikan Bogor Goals.

Selain itu, pada tahun 1956 diberitakan bahwa Hotel Salak ini dikelola oleh NV. Salak Hotel dengan direktur Jo Kim Tjian dan pada tahun 1998 hotel legendaris kita terus mengabdikan dengan semangat zamannya. Dimulai saat tahun Revolusi dari Hotel Dibbets menjadi Hotel Salak dan saat menjelang Reformasi, Hotel Salak memperkaya makna dalam namanya dengan menambahhkan co-brand The Heritage dan sampai sekarang kita mengenal hotel di depan Istana Presiden dan di sebelah Balai Kota Bogor itu dengan nama Hotel Salak: The Heritage.  

Dalam Kamar 52 Hotel Salak Ada Jejak Sastrawan

Tapi dari semua hal yang bersejarah dan peristiwa-peristiwa yang melibatkan hal-hal besar, masih memiliki satu hal yang menarik yakni kamar nomor 52. Bukan, kamar itu bukan kamar keramat yang didedikasikan untuk Nyi Roro Kidul seperti kamar 308 di Samudra Beach, Sukabumi.

Kamar 52 di Hotel Salak adalah nomor kamar yang ditempati selama sembilan tahun, mulai dari 13 Agustus 1961–5 November 1969 oleh Iwan Simatupang.

Iwan Simatupang adalah sosok penting bagi kesusastraan Indonesia, pembawa angin segar bagi kesastraan Indonesia di awal 60-an. Karya-karya besar yang membuat namanya melambung banyak lahir dari Hotel Salak kamar 52 yang ia tempati tersebut. Salah satunya adalah Ziarah dan Merahnya Merah yang rampung di 2 Desember 1960 dan 5 Oktober 1961.

Iwan Simatupang si Manusia Hotel ini selain melahirkan karya-karya sastranya di kamar 52, juga menuliskan segala keluh kesah dan anxiety-nya dalam surat yang bertanggal 14 April 1968 dan ditulis di kamar 52 Hotel Salak.

Aku banyak sekali mengalami kegetiran akhir-akhir ini, Hans. Dan hanya dengan terbitnya novel-novelku inilah yang mampu memberi kompensasi kepada frustasi-frustasiku. Bahkan, kegetiran yang bagaimanapun aku tak gentar menghadapinya, bila saja karya-karyaku dapat terbit.” Tulis Iwan Simatupang kepada H.B. Jassin.

Selain itu, selama Iwan Simatupang hidup di kamar 52 Hotel Salak, Iwan banyak memberi konsumsi latihan dan pikiran-pikiran baru bagi pekerja kesenian di kota Bogor, khususnya pada Study Teater Bogor.

Apa kamu bisa membayangkan ada seorang sastrawan besar dengan beberapa anaknya tinggal selama sembilan tahun di satu kamar hotel yang sama. Apa yang Iwan Simatupang kagumi dari Hotel Salak? sampai dia betah bertahun-tahun di Hotel Salak. Apa dalam kamar 52 itu membantu kerja kreativitasnya atau ada banyak inspirasi yang memenuhi kamar tersebut?

Hotel Salak dalam Wisata Kota Sastra

Hotel Salak Dengan gaya arsitektur ‘Indische Empire’ mewakili sejarah arsitektur masa kolonial di Kota Bogor. Hotel Salak memang layak menyandang Heritage, suatu warisan yang tercermin dalam arsitekturnya yang mencakup bangunan dari masa kolonial, modern, pascamodern, dan kontemporer. sebagai atraksi budaya penting dan kesaksian sejarah yang dapat menceritakan sejarah perubahan kota.

Selain itu, warisan arsitektur memungkinkan orang untuk ‘bepergian’ ke masa lalu dan melupakan tekanan masa kini sambil mempelajari sesuatu tentang sejarah dan budaya masyarakat. Warisan arsitektur dapat menjadi motif utama untuk mengunjungi banyak tujuan wisata.

Terobosan yang menarik jika Hotel Salak membuka kamar 52 untuk kunjungan sastra atau residensi dan bisa juga lobi hotelnya memajang karya yang dibuat Iwan Simatupang. Bila ini dilakukan, Hotel Salak tidak hanya menghargai sastrawan tetapi akan menjadi bagian dari sejarah sastra Indonesia. Selain itu mungkin Hotel Salak: The Heritage bisa menjadi satu lokasi khusus agar menjadikannya lebih ikonik untuk Kota Bogor menjadi Kota Wisata Sastra seperti kota Eidenburg Granada, Utrecht, dan terakhir Lillehammer di Norwegia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.