Fajar Hanif Mubarok Mahasiswa Pascasarjana Prodi Kajian Budaya, Universitas Padjadjaran. Instagram: fajarhanm; Linkedin: s.id/linkedinfajarhanif

Hompimpa Alaium Gambreng, Hamzah, dan Sastra Parodis

7 min read

Setahun lebih Hompimpa Alaium Gambreng terbit, tidak banyak pengkajian tentangnya di media. Padahal sejak awal keluncurannya di tahun lalu, antologi puisi ini memantik perbincangan sengit di skena sastra tanah air. Saut Situmorang, dengan keras melancarkan kritik atas buku ini lewat unggahan instagram-nya; Mikael Johani lewat story instagram; dan Malkan Junaidi, melalui status facebook-nya.

Unggahan instagram @bangsautsitumorang

Perbincangan tentang sastra, baik yang memantik maupun yang mengkritik keras ataupun satire, penting. Keduanya harus dicatat, keduanya dapat tempat[1]. Apa lah, karya sastra tanpa kritikus. Apa lah, kritikus tanpa karya sastra. Sentimen yang naik ke permukaan, kalaupun ada, mestinya tidak memudarkan semangat kepenulisan karena toh perbincangan itulah yang mempertahankan dan senantiasa membasuh sastra dalam ingatan kita sehingga ia tetap lestari.

Namun cukup “Aneh bin ajaib”[2], kendati perdebatan sengit mengemuka, hanya saya temukan dua pembahasan yang cukup panjang tentang Hompimpa Alaium Gambreng (HAG), buku antologi karya Hamzah Muhammad yang diterbitkan Anagram 2022 lalu. Pertama, kajian Asep Subhan yang dilakukan dengan bantuan tiga pisau: semiotika Riffaterre, psikoanalisis Freud, dan religiositas agama Islam. Kedua, review akun Raafi pada media sosial goodreads.

Subhan sebetulnya menulis dengan cukup panjang. Kendati begitu, bahasannya fokus hanya pada satu sajak. Sajak lain yang dikutip nampak digunakan sekadarnya sebagai fitur untuk menunjang beberapa argumentasi. Salah satu poin Subhan adalah bahwa dalam sajak berjudul “Hompimpa Alaium Gambreng,” terdapat kritik terhadap sikap keberagamaan yang terlalu berfokus pada aspek teologis tetapi tidak mengindahkan kesalehan sosial.

Di lain sisi, sebagaimana pintu masuk bagi banyak orang lain menuju HAG, Raafi membaca antologi itu setelah dipantik oleh ribut-ribut medsos skena sastra tentang puisi Hamzah Muhammad. Atau justru, tentang Hamzah sendiri (?).

Dalam review-nya, Raafi tegas mengatakan bahwa ia baru menemukan bentuk puisi semacam yang ada dalam HAG. Menurut Raafi kendati, “Diksinya ke mana-mana dan kacau,” ia toh menyukai “ke-kok-begini-doang-annya Hamzah.” Penilaian subjektif yang tentu saja diakui kebolehannya oleh hampir semua kritikus dewasa ini, memenuhi review tersebut.

Lalu, Apa yang Diusung HAG?

Perdebatan sengit yang terjadi pada awal kemunculan antologi ini umumnya bertolak dari persoalan bentuk yang dalam sejarah sastra memang seolah tak pernah selesai. Kajian tentang bentuk menjadi pegangan paling umum yang biasa dipakai untuk mengategorikan sebuah karya tulis ke dalam apa yang disebut sebagai sastra atau justru mengeluarkannya. Dalam kajian bentuk, konteks budaya dan zaman kerap absen. Padahal, dua variabel terakhir juga dapat digunakan untuk melakukan kategorisasi.

Barangkali karena persinggungan antara ‘bentuk’ dan ‘konteks budaya’ itulah, Luxemburg dkk. menyatakan bahwa selalu ada ketegangan antara kreativitas dan tradisi[3].

Ketegangan yang dimaksud Luxemburg dkk. ialah ketegangan antara inovasi dan konvensi yang menjadi tolok ukur kesastraan sezaman. Seorang ‘penyair’ yang mencoba memberi representasi bentuk lain dalam karyanya mesti berhadapan dengan konsep sastra yang kadung melekat pada kepala masyarakatnya. Pengetahuan tentang ketegangan antara dua hal ini membuat ribut-ribut skena sastra atas HAG dapat dipahami.

Namun, terlepas dari keributan yang mencuat, saya melihat satu istilah yang cukup cocok sebagai upaya kita memahami HAG: parodi. Makna istilah itu kali pertama saya temukan dalam sebuah buku berjudul Hipersemiotika (2010) karya Yasraf Amir Piliang. Piliang menjelaskan istilah parodi dengan bersandar pada teori yang ditulis oleh kritikus sastra Linda Hutcheon, yang ditulisnya dalam sebuah buku berjudul A Theory of Parody: The Teachings of Twentieth-Century Art Forms (2000).

Makna sederhana yang ditawarkan Hutcheon tentang parodi adalah bahwa ia merupakan imitasi yang dikarakterisasi oleh perubahan ironis[4]. Dengan peristilahan ini, tampak bahwa parodi selalu merupakan bentuk interteks (imitasi), tetapi teks sebelumnya diubah secara kreatif melalui mode “ironi”. Sebagai contoh, perhatikan sajak berjudul “Belum Ada Judul” –salah satu sajak dalam HAG—berikut:

Pada sajak di atas, Hamzah mengimitasi, mendekonstruksi, sekaligus merekonstruksi lirik lagu anak ciptaan Soerjono yang berjudul “Bangun Tidur”. Semula, teks ciptaan Soerjono berbunyi:

Penerapan teknik parodi dalam sebuah sajak, bagaimanapun mengandung konsekuensi lain yaitu pembedaan diri dengan para penyair modernis yang mengutamakan kebaruan dan/atau autentisitas. Sebab ia ‘bermain’ dengan masa lalu, menggunakan kode-kode usang, dan secara tegas menyatakan ketidakbaruannya. Berbeda dengan para penyair modernis, larik-larik Hamzah tidak didesain untuk menjadi karya yang sepenuhnya baru. Apakah Hamzah sengaja menentang sastra modern?

Parodi merupakan sebuah term yang cukup sentral dalam perbincangan seni pascamodern. Dalam seni pascamodern, parodi merupakan salah satu teknik di samping pastiche dan kitsch, yang sama-sama menentang prinsip ‘kebaruan’ dalam seni. Namun, mengapa kebaruan memungkinkan untuk ditentang?

Secara etimologis, akar kata “modern”berasal dari bahasa Latin, ‘modo‘ yang artinya ‘baru saja’. Karena itulah modernitas pada dasarnya berurusan dengan kebaruan[6]. Karena itu pula, yang dianggap senitinggi’ dalam tradisi seni modern hanyalah karya estetis yang memiliki kebaruan di dalam dirinya. Sementara, kebaruan hanya dimungkinkan melalui pelepasan dengan karya yang telah ada, sehingga menghasilkan sesuatu yang disebut autentisitas.

Pascamodern hadir mengkritik prinsip kebaruan, baik pada tataran filosofis maupun karya seni. Sebab menurut Kristeva misalnya, tidak ada karya yang sepenuhnya berdiri sendiri dan otonom[7]. Sebuah teks atau karya seni senantiasa berhubungan dengan ‘teks’ sebelumnya. Dengan demikian terbentuklah salah satu teknik penciptaan seni yang khas dalam tradisi pascamodern: parodi[8]. Dalam bukunya yang lain A poetics of postmodernism: History, Theory, Fiction Hutcheon lebih lugas dengan menyatakan bahwa “Parody is a perfect postmodern form, in some sense, for it paradoxically both incorporates and challenges that which it parodies.”

Parodi merupakan mode ironi dari intertekstualitas yang memungkinkan penjelajahan kembali kepada masa lalu[9]. Sebagai antologi puisi, HAG tampak dirancang dengan teknik ini. Oleh sebab itu, HAG juga boleh dianggap sebuah bentuk kritik atas konsep kebaruan. Perdebatan tentang buku ini yang umumnya bertolak dari persoalan bentuk, ternyata menemukan landasan teoritisnya yakni parodi.

Namun parodi yang dikemukakan Hutcheon tidaklah sesederhana interteks yang kemudian didekonstruksi. Memang benar bahwa parodi bersifat dekonstruktif, karena teks parodi selalu berupaya melepaskan dirinya dari penjara pusat (center) atau fixed origin. Dalam parodi, pusat dihancurkan sehingga tak ada lagi yang membatasi gerak, dinamika, dan produktivitas tanda, sifat yang terdapat dalam pemikiran strukturalisme[10]. Namun, Hutcheon juga memberi sebuah istilah yang disebutnya sebagai pragmatic dimension (dimensi pragmatis; akibat-akibat yang muncul dari sebuah teks), yang inheren di dalam parodi.

Menurut Hutcheon adalah hal yang sulit untuk memisahkan struktur formal parodi dari strategi pragmatiknya, persis karena yang satu mengandung yang lain[11]. Oleh karena itu, Hutcheon menyatakan bahwa perhatian atau pembacaan terhadap teks parodi harus ditujukan pada keseluruhan pengucapan (énonciation) yang terdiri atas dua level: struktur formal dan pragmatik.

Pada struktur formal, parodi merupakan pertemuan dua teks yang beroperasi pada dua level, yaitu teks parodi dan teks yang diparodikan. Dengan demikian, seorang pembaca parodi harus memiliki pengetahuan, baik pada teks parodi maupun teks yang diparodikan. Sedikit elitis memang, namun apabila pembaca tidak menyadari bahwa yang dibacanya merupakan teks parodi, maka teks tidak akan memiliki efek yang diharapkan.

Pada ranah pragmatik, parodi memiliki ethos[12] yang disebabkan oleh penggunaan ironi. Artinya, selain beroperasi pada ranah estetika teks, parodi juga beroperasi pada wilayah pragmatik. Untuk mengetahui sisi pragmatis tersebut, pembaca harus memiliki kemampuan interpretasi sehingga dapat membuka apa yang tersirat di dalam teks parodi[13]. Menurut Hutcheon, setidaknya terdapat tiga ranah pragmatik dalam teks parodi, yaitu parodi satiris, satire parodis, dan parodi tradisional (cemoohan).

Hutcheon menyatakan jika satire dilakukan dengan memanfaatkan parodi, genre tersebut dinamakan “satire parodis” dan memiliki ethos yang mengarah ke luar teks (sosial dan moral). Sebaliknya, apabila parodi memiliki ethos yang mengarah ke ranah tekstual (digunakan untuk menyinggung sebuah teks sebelumnya) genre tersebut dinamakan “parodi satiris”.

Mari kita lihat secara singkat penerapan parodi ini dalam salah satu sajak HAG berjudul “Ketemu Ibu di Tanah Rantau”:

Pada sajak di atas terdapat tiga interteks. Seluruh interteks itu mengalami penyimpangan. Peribahasa “Sepandai-pandai tupai meloncat, jatuh juga,” disimpangkan menjadi, “Sepandai-pandai kau merantau, / jatuhnya ke pepatah lama.” Judul film Kejamnya Ibu Tiri Tak Sekejam Ibu Kota disimpangkan menjadi “Ibu kosan lebih kejam daripada ibu kota.” Sementara itu, peribahasa, “Dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang,” disimpangkan menjadi, “Di mana bumi dipajak, di situ kau kelimpungan.”

Penyimpangan yang dilakukan terhadap peribahasa, “Sepandai-pandai tupai meloncat, jatuh juga,” menjadi, “Sepandai-pandai kau merantau, / jatuhnya ke pepatah lama,” mengawali sebuah penceritaan inti pada sajak. Semula, makna teks peribahasa tersebut adalah ketidaksempurnaan manusia. Namun penyimpangan teks dan larik parodi yang menyusul: “Ibu kosan lebih kejam daripada ibu kota,” menyebabkan maknanya bergeser menjadi, “sebuah kepastian bagi setiap perantau, bahwa mereka akan mengalami kepahitan hidup.”

Peribahasa, “Dima bumi dipijak, di sinan langik dijunjuang,” disimpangkan menjadi, “Di mana bumi dipajak, di situ kau kelimpungan.” Semula, peribahasa tersebut bermakna penyesuaian diri dengan ruang di mana seseorang hidup. Namun, setelah disimpangkan, maknanya berubah menjadi tanda kemiskinan. Pada larik ini, parodi difungsikan untuk menceritakan kemiskinan yang dialami Kau lirik, yang membuatnya tidak dapat membayar pajak.

Bagaimana dimensi pragmatik sajak tersebut?

Pemaknaan sekilas yang telah dilakukan atas sajak tersebut memberi pada pembaca sebuah narasi kehidupan kota yang mengenaskan. Dengan demikian kritik terhadap situasi sosial (satire parodis) terjadi. Pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa parodi tidak berupaya untuk mencemooh atau mengolok teks sebelumnya.

Namun, pembaca juga dapat melihat bahwa peribahasa yang dikutip—dan kemudian didekonstruksi—telah kehilangan nilai luhurnya saat diterapkan pada kondisi sosial Kau lirik. Penghilangan nilai luhur pada peribahasa ini bagai melucuti pakaian yang indah sehingga yang tampil adalah hipokrit yang telanjang. Dengan begitu, sajak ini pun menerapkan istilah yang disebut Hutcheon sebagai parodi satiris, melalui kritik terhadap teks masa lalu yang tidak lagi relevan.

Pembacaan semiotis pada teks parodi haruslah tinjauan yang bersifat prospektif, sebuah interpretasi yang membuka pintu bagi indeterminasi makna. Di satu sisi, terdapat kecenderungan untuk melihat ke belakang sebuah teks. Di sisi lain, ada tawaran untuk melihat ke depan, mencoba memberikan tafsir-tafsir baru sebuah teks dan melepaskan diri dari setiap bentuk determinasi transenden dan logosentris[14].

Dengan demikian, parodi pada sajak ini juga sekaligus merupakan dekonstruksi terhadap mitos. Sajak ini keluar dari logosentrisme, pusat, dan asal-usul tetap. Dengan parodi, penyair menghadirkan permainan baru dalam menggunakan tanda-tanda usang, sehingga ia merdeka dan tidak terkekang penjara yang mengerangkeng teks dalam makna populer.

Namun, gading retak! Hamzah dalam sajak “Ketemu Ibu di Tanah Rantau” tidak sepenuhnya lepas dari kekangan budaya. Sayang, ia masih terjebak dalam stereotipe gender. Perhatikan bagian ini: “Di jalanan, kau dipertemukan ibu-ibu // yang bukan tiri dan tak punya kosan: / sein kiri berkedip, beloknya malah ke kanan / sudah tahu bawa kendaraan. [bold oleh saya].

Harus menjadi rahasia umum bahwa karya seni adalah konstruksi. Dalam sebuah karya seni, pandangan/pendengaran kita dibatasi hanya pada sesuatu yang ditampilkan pada kita. Sesuatu yang ditampilkan itu, apalagi yang berhubungan dengan gender tertentu (dan dihadirkan oleh individu yang berasal dari gender yang punya privilese), mesti dipandang sebagai hal politis. Sebab, representasi tersebut sangat mungkin bertolak dari relasi kuasa yang timpang, kendati tidak disadari olehnya. Lalu, konsep yang direpresentasikan menyebar dan pada gilirannya berpotensi menjadi pengetahuan masyarakat yang lebih luas.

Dengan postulat di atas, seorang seniman tidak lagi bisa berkelit dengan mengatakan, “Saya hanya mereplika realitas”. Mengapa terpilih realitas yang satu dan meminggirkan realitas yang lain? Pemilihan sebuah realitas untuk direpresentasikan di dalam sebuah karya telah melewati cara berpikir sang seniman. Karena itu, sayang rupanya dekonstruksi pada HAG masih merupakan dekonstruksi tanggung.

Tanpa melepaskan kritik feminis di atas, kritik pascamodernisme terhadap kebaruan telah memberi inspirasi bagi tradisi keseniannya untuk mengoperasikan kembali kode-kode masa lalu, dan parodi adalah bentuk yang sangat terang-terangan darinya. Dengan demikian, melalui pengoperasian teks-teks masa lalu, Hamzah bukan hanya melakukan kritik intramural dan ekstramural berbasis teks, tetapi juga melakukan kritik terhadap sesuatu yang lebih luas, yaitu tradisi kesenian modern. Secara terbuka, parodi menyatakan ketidakbaruan sekaligus kebergantungannya pada teks-teks masa lalu.

Demikianlah antologi ini menjadi perpanjangan strategi Hamzah dalam melakukan kritik terhadap seni modern melalui fungsi-fungsi pragmatik parodi, kendati masih menyisakan lubang. Terlepas dari berbagai kontroversi yang dipantik oleh antologi HAG, pemaknaan yang lahir dan berkembang tidak perlu dihentikan.

Setiap bentuk yang direpresentasikan memang selalu berada dalam ketegangan, karena pada dasarnya sastra adalah bentuk responsif, baik terhadap teks lain, pengetahuan umum, maupun budaya.

Terima kasih


[1] Chairil Anwar dalam sajak “CATETAN TH. 1946”. (1991). Deru campur debu. Jakarta: Dian Rakyat.

[2] Hamzah Muhammad dalam sajak “Hompimpa Alaium Gambreng”. 2022. Hompimpa Alaium Gambreng. Jakarta: CV Pustaka Anagram.

[3] Luxemburg, J. van, Bal, M. & Weststeijn, W.G. 1989. Tentang Sastra. Jakarta: Intermasa.

[4] Hutcheon, L. (2000). A Theory of Parody: The Teachings of Twentieth-Century Art Forms. Illinois: University of Illinois Press.

[5] Dialogisme, istilah yang diasosiasikan dengan pemikir Bakhtin. Pengertiannya mirip dengan istilah intertekstual yang diajukan Kristeva.

[6] Lihat Suryajaya, M. 2016. Sejarah Estetika. Jakarta: Gang Kabel dan Indie Book Corner.

[7] Piliang, Y.A. 2010. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

[8] Lihat Hutcheon, L. 2003. A poetics of postmodernism: History, Theory, Fiction. London: Routledge. atau Jameson, F. 2020. Pascamodernisme dan Masyarakat Konsumer. Yogyakarta: Penerbit Semut Api.

[9] Hutcheon, L. 2003. A poetics of postmodernism: History, Theory, Fiction. London: Routledge.

[10] Piliang, Op.Cit.

[11] Hutcheon, L. (2000). A Theory of Parody: The Teachings of Twentieth-Century Art Forms. Illinois: University of Illinois Press.

[12] Yang Hutcheon maksud dengan ethos mirip dengan konsep pathos milik Aristoteles, yaitu emosi yang oleh pengarang diharapkan dapat hadir di dalam diri pembaca/pendengar setelah memahami karya parodi.

[13] Ibid.

[14] Piliang, Op.Cit.

Fajar Hanif Mubarok Mahasiswa Pascasarjana Prodi Kajian Budaya, Universitas Padjadjaran. Instagram: fajarhanm; Linkedin: s.id/linkedinfajarhanif

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.