Setelah nonton youtube Pak Gita Wirjawan yang mewawancarai Mas Sabrang yang ngebahas seputar Artificial Intelegence (AI) dan bumbu-bumbu peradaban lainnya, otakku langsung kerja ekstra buat memahami istilah-istilah dan maksudnya. Pintar-pintar benar dah mereka.
Dari banyaknya topik yang mereka bicarakan di youtube tersebut, ada satu topik yang ngebuat aku langsung jeda videonya dan mikir lumayan lama. Saat Mas Sabrang menohok bertanya, “Indonesia mau apa dengan kemajuan teknologi dan AI?”
Kendati itu, negara-negara dunia ketiga beserta warga-warginya seolah dipaksa harus ngerti dan up to date sama AI ini. Peradaban yang memaksa semua negara mesti ikut ngerumpi dan berpartisipasi dengan teknologi terbarukan itu.
Kenapa pertanyaan itu bisa membuat aku mikir lama, ya, kan kita tinggal di negara +62 (plus enam dua), yang mana pas gencar 4.0 saja, negeri tercinta kita ini jadi kelihatan banget ketidakmerataannya. Program pemerintah dengan seminar-seminar megahnya banyak yang menempelkan ‘4.0’ di judulnya. Tapi sayang, kenyataan di lapangan kadang bikin kita ketawa ngenes juga. Kota-desa, Ibu Kota Jakarta-Pulau Jawa dan non-Pulau Jawa, semuanya saling hybrid dan tidak merata.
Tapi yang mau dibahas dalam tulisan ini bukan keruwetan menghadapi kemajuan, tapi satu khayalan yang timbul atas obrolan Pak Gita dan Mas Sabrang. Kalau peradaban sekarang itu sudah canggih banget dunia teknologinya, bisa gak sih AI itu kita sisipkan setting-an bahasanya, bahasa daerah misalnya. Khususnya bahasa-bahasa yang terancam punah.
Gak kebayang, kan kalau AI menguasai bahasa ibu, bahasa Minang atau Ternate misalnya, dan nanti di masa mendatang anak-anak belajar bahasa ibu mereka ke robot atau AI. Ini keren, tapi ironi juga sebetulnya.
Bahasa-Bahasa yang Hanya Tinggal Nama
Belakangan para ahli bahasa nge-spill, dari 7.000 bahasa bahkan lebih di dunia diperkirakan dalam satu bulan terdapat satu bahasa yang hilang. Dalam dua minggu ada satu bahasa yang terancam punah. Jadi kemungkinan terbesar, minimal ada 1.500 dari 7.000 bahasa di dunia bakal hilang di akhir abad.
Poinnya, para linguis itu mau bilang kalau bahasa-bahasa di dunia sedang krisis eksistensial.
Menyedihkan, bukan?
Dan makin menyedihkan, sebab di negeri tercinta Endonesya—yang nomor dua di dunia dalam kepemilikan bahasa daerah terbanyak, dengan 720 bahasa dan hanya kalah sedikit dengan tetangga, Papua Nugini dengan 840 bahasa—saat tulisan ini diketik sudah ada 11 bahasa yang musnah (moribund languages), 8 dari tanah Maluku, 3 dari tanah Papua. Untuk yang statusnya terancam punah (endangered languages), ada 25 bahasa dan yang statusnya kritis ada 6 bahasa.
Realitas tersebut amat menyakitkan. Sebab hilangnya bahasa sama dengan hilangnya peradaban, pengetahuan, dan identitas.
Kan, gak lucu juga misalnya pas ditanya calon mertua soal bibit, bebet, bobotnya, lalu menanyakan “orang mana” dan kamu kebingungan buat jawabnya.
“Hmmm…. Kayaknya sih Sunda, Om.”
Dan calon mertuamu merespons dengan garuk-garuk kepala.
“Oh sunda. Duh, Sunda teh apa ya? Suku, ya? Ada bahasanya? Yang kayak gimana, ya?”
Nah kan, jadi ngenes, berabe, dan bisa berujung belajar sejarah nantinya.
Tapi kayaknya kita akan biasa saja kalau kehilangan kekayaan warisan bangsa. Sedangkan yang gak biasa saja itu, kalau ada bahasa daerah kita yang diklaim sama negara tetangga. Dan walau agak telat dengan jenggot yang terbakarnya, gelora jiwa nasionalis kita di momen tersebut pasti menggebu-gebu buat mempertahankan apa yang diambil dari kita.
Musabab Bahasa Menghilang
Sekarang timbul pertanyaan, emang apa sih yang membuat bahasa bisa punah dan hilang? Banyak faktornya. Yang paling pertama dan utama, ya jelas karena gak ada lagi yang menggunakannya.
Faktor lainnya yaitu urbanisasi, globalisasi, perkawinan antaretnik (intermarriage), sampai ke terjadinya bencana. Dan khusus bencana ini, pernah terjadi di tahun 1918 pada bahasa Paulohi. Daerah tersebut mengalami gempa dan tsunami dahsyat yang mengakibatkan hampir semua penutur bahasa Paulohi meninggal dunia.
Contoh faktor lainnya yang bisa kita lihat adalah Yogyakarta. Karena dijuluki kota pendidikan dan banyak putra daerah mengenyam pendidikan di sana, juga karena bahasa mayoritasnya adalah bahasa Jawa, ya mereka semua—untuk bisa berbaur dan diterima—ngomongnya dan ndakik-ndakik make bahasa jawa.
Atau pas kumpul keluarga di momen lebaran, anak-anak kecil sekarang sudah jago nginggris, manggil kita aja aunty atau uncle. Belum lagi di dunia sosial media, wuaaaah kita lebih percaya diri dan leluasa cas cis cus, literally, what u mine pas ngobrol sama yang lain.
Tapi mungkin yang kalian bayangkan pasti hanya negara berkembang yang jadi bulan-bulanan bahasa daerahnya cepat hilang. Fakta mencengangkannya adalah semakin maju suatu negara secara ekonomi maka semakin cepat bahasa ibu (mother language), hilang.
Nah lho, kok bisa? Ya, pengaruh globalisasi dan hegemoni bahasa internasional itulah sebabnya.
Di samping itu, banyak effort yang sudah pemerintah lakukan buat memelihara dan melestarikan bahasa daerah. Lewat Kemendikbudristek, salah satu di antaranya adalah dengan program preservasi dan revitalisasi. Program tersebut harus kita support dan semangati. Dan yang mau aku tambah sarankan, coba pemerintah sekarang mulai bikin robot-robot yang pandai ngomong bahasa daerah, khususnya bahasa daerah yang dinyatakan kritis mau punah. Seperti bahasa Saponi di Papua, bahasa Ibo di Halmahera, atau bahasa Komodo di Pulau Komodo. Karena Pulau Komodo sudah difokuskan menjadi pariwisata dan sudah menjadi daya tarik wisatawan internasional, sangat memungkinkan untuk dicoba dan bisa jadi satu daya tarik lain untuk menikmati kebudayaan.
Karena seperti yang pernah disampaikan Mas Seno dalam pidato kebudayaannya di DKJ tahun 2019, “Jika kampanye pariwisata itu sukses besar, punahnya kebudayaan adalah harga yang terlalu mahal, bahkan tidak ternilai sebagai bayaran.”
Di samping itu juga, robot yang bisa bahasa daerah pasti membuat generasi Z atau masyarakat kita jadi bangga akan bahasa daerah. Kan, ini yang jadi problem mendasarnya, bahwa kita gak bangga sama bahasa sendiri.
Sering juga tuh seliweran video di medsos (media sosial), ada bule-bule khatam bahasa daerah kita dan kita bangga luar biasa ngeliatnya.
Nah, sekarang jika ada robot ngomong secara fasih bahasa daerah dan bayangkan juga generasi Z atau anak-anak di masa mendatang bisa terbentuk pikirannya kalau bahasa ibu adalah bahasa yang keren yang harus mereka kuasai dan wajib dipakai untuk bahasa sehari-hari, menjadi suatu upaya akulturasi yang kontemporer sekali, bukan?
Takutnya pemerintah gak punya bayangan cara ajarnya gimana, bisa nonton wawancara Sony Wakwaw sama Robot Arbie di youtube. Nah lihat, kalau Robot jadi pengajar beneran, ia ternyata cukup sabar, telaten, dan penuh perhatian. Jadi anak-anak yang nanti belajar bahasa ibu ke robot bisa punya daya imaji dan semangat yang tinggi.
Cara kerja sistemnya akan seperti apa, aku belum tau juga. Barangkali nanti ada ahli AI yang live instagram atau datang ke podcast-podcast buat menerangkan hal tersebut.
Kalau kita familiar dengan les-les bahasa, seperti Kampung Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur, mungkin nanti bakal ada brosur-brosur atau iklan-iklan sosial media yang mempromosikan berbagai lokasi les bahasa daerah dengan varian bahasa ibu: Kampung AI Komodo, Kampung AI Tandia, atau Kampung AI Sunda.
Makanya mulai sekarang kita harus support penuh pemerintah di bidang teknologi dan bahasa. Semangat, pemerintah! Demi nusa dan bangsa.