Setelah seratus tahun kemerdekaan Indonesia, bagaimana perkembangan Sastra Indonesia dalam kurun waktu tersebut? Kiranya, itulah kerja Sulaiman H. untuk menjelaskan perkembangan sastra kita ketika ia mulai dengan berani menuliskan “di dapur penyunting” Buku Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045. Antologi itu menjadikan Sulaiman H. sebagai penyunting sejarah yang ulung dan di lain sisi ia menjadi tokoh utama―secara sadar maupun tidak―dalam buku yang ia sunting sendiri. Penelusuran terhadap seorang yang dianggapnya obskur (dalam buku KBBI edisi XIII 2045 obskur adalah tidak jelas atau samar-samar), membuatnya sebagai penyingkap tabir yang selama ini tidak diketahui atau luput dari dunia Sastra Indonesia.
Sulaiman H. mencoba untuk menangkap suatu benang merah tersembunyi dari sejarah kesusastraan kita dalam satu abad ini yang diam-diam menjadi gejala dan sesekali muncul di permukaan dalam wujud yang acak dan tak mudah diduga. “Untuk itulah saya membentangkan semacam nadi tersembunyi bangsa Indonesia dalam rentang satu abad agar kita dapat melihat betapa denyut samar itu masih ada dan terus bersama kita bahkan sampai hari ini, seratus tahun setelah para penyair berkebangsaan Indonesia menuliskan sajak-sajaknya.” begitulah kata Sulaiman, buku antologi puisi tersebut sebenarnya bisa dengan cepat untuk dibaca, dilupakan, dan disingkirkan. Bahkan akan dirasa ganjil dengan hal-hal yang kurang akrab oleh pembaca karena kejutan-kejutan di dalamnya dirasa tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu buku ini bagi pembaca, menuntut untuk tidak dibicarakan lebih lanjut.
Bersembunyi di balik Sulaiman H.
Lantas apa sebenarnya yang membuat antologi ini layak untuk dibicarakan? Jawabannya adalah sebuah ketidakjelasan. Ketidakjelasan di sini adalah pada mulanya buku ini sekilas nampak seperti antologi, tetapi pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa ia sebenarnya adalah sebuah prosa―bahkan penulis dan penerbitnya pun tidak mengakuinya. Prosa yang tidak mengikuti kaidah naratif dan berjalan pada bentuk penulisannya sendiri. Buku ini dibuka dengan penyampaian tulisan dari seorang tokoh penyunting bernama Sulaiman H. Ia menyampaikan semacam kegelisahan mengenai perkembangan bunga rampai puisi di Indonesia. Selama ini bunga rampai mengenai hal puisi Indonesia lazim dibangun dalam rupa tugu atau monumen. Dalam hal ini bahwa bunga rampai yang ada memuat pencapaian terpandang dari perjalanan puisi tanah air, dengan nama-nama seperti Chairil Anwar, WC Rendra, Goenawan Mohamad, Sapardi Calzoum Bachri, Sutardji Djoko Damono, Avianti Norman, Gemi Mohawk, Aan Mashyur, Zulkifli Songterus, Heru Joni Heru, Ezra Tegar Putra, Dea Imut, dan lain sebagainya. Nama-nama tersebut memang sengaja dituliskan dengan demikian di dalam buku. Kemudian ditutup dengan sebuah tulisan atau kritik dari tokoh lain bernama Laura Putri Lasmi mengenai buku antologi puisi tersebut. Lasmi membagi tulisannya menjadi tiga bagian yang mana setiap bagian mendisrupsikan kerja Sulaiman dalam mengumpulkan setiap penyair dan karya-karyanya. Di antara kedua tokoh itu, terdapat nama-nama penyair yang sengaja diciptakan untuk mengisi bagian cerita dari prosa. Nama-nama penyair tersebut muncul dengan latar belakang mereka masing-masing dan menurut hemat saya secara tidak langsung, memiliki hubungan dengan penyair-penyair kanon dalam dunia Sastra Indonesia. Penyair itu juga muncul dengan nama lucu dan latar belakang yang unik. Saya ambil contoh penyair dengan nama Nutrisari (fl. 1980-an), merupakan sebuah nama pena dari seorang penyair yang tidak ada keterangan lebih jauh mengenai identitas aslinya. Karya-karyanya ditemukan dalam sebuah buletin bernama Bendera Sastra yang terbit di Bandung. Nutrisari menulis dengan nada jenaka, kemungkinan dipengaruhi oleh puisi mbeling Remisi Lado. Menurut penyunting, apa yang khas dari puisinya adalah pilihan estetikanya untuk menempatkan salah satu komoditas popular pada masa itu sebagai pribadi-lirik.
Nama penyair lain yang memiliki latar belakang unik adalah Siti Sundari(1990―….). Ia merupakan penyair yang lahir di Surakarta. Sundari adalah penyair transgender pertama yang dimiliki negeri ini. Hal itu dibuktikan pada salah satu pengakuannya bahwa ia adalah “lelaki gay dalam tubuh perempuan”, namun akhirnya setelah sepuluh tahun tidak pernah menulis lagi, ia menekuni kesibukkannya dengan berbisnis hidroponik dan tanaman hias. Sewaktu penyunting buku antologi obskur ini mempertanyakan soal pergulatan sastrawinya sebagai seorang penyair transgender, Siti menjawab enteng, “Dulu memang sering ada tekanan dan jadinya banyak nulis. Tapi setelah rutin terapi reiki akhirnya ndak ada tekanan lagi; saya jadi lebih bisa nrimo.”
Lalu kita sampai pada Martin Suryajaya, penulis buku Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045. Buku Prosa yang dibuat Martin berisi semacam bentuk kritik terhadap dunia perpuisian Indonesia. Martin menciptakan tokoh Sulaiman, para penyair obskur, dan Laura Putri Lasmi sebagai pengantar pesan kritiknya. Martin membagi pemikirannya berdasarkan tokoh yang dihadirkan di dalam buku antologi puisinya. Di bagian awal Martin menciptakan Sulaiman H. sebagai seorang tokoh penyunting dan pengumpul karya-karya yang dianggapnya obskur. Ia seperti bersembunyi di balik Sulaiman H. dari penyair dan karya-karya yang ia ciptakan sendiri. Martin menciptakan penyair-penyair tersebut, beserta dengan latar belakang dan karyanya juga. Penyair-penyair itu ia sebar ke berbagai wilayah dengan pemetaan yang dapat dilacak melalui laman http://bit.ly/obskurmap. Ia membentangkan riwayat puisi Indonesia selama satu abad melalui Sulaiman H. Penyair-penyair yang dimunculkan tidak pernah ada dalam kanon-kanon Sastra Indonesia selama ini. Martin seperti bekerja dibalik bayang-bayang Sulaiman H. juga tokoh-tokoh penyair obskur yang ia ciptakan. Pada bagian awal, Ia buka bukunya dengan sebuah tulisan Sulaiman H.―yang dalam arti sebenarnya itu merupakan tulisannya sendiri. Tulisan yang secara eksplisit mengandung kritik terhadap Sastra Indonesia. Kritik utamanya adalah mengenai kanonisasi sastra dan seberapa penting keberadaan kanonisasi sastra itu dalam dunia kesusastraan kita. Selain itu, kanonisasi bisa memunculkan permasalahan seperti pengabaian sejumlah penyair yang sebenarnya memiliki potensi untuk muncul di permukaan dan ikut berkontribusi dalam kesusastraan Indonesia.
Memainkan Kata dan Kebiasaan
Kata adalah alat yang dimiliki penyair untuk mencapai makna dan keindahan estetis. Setiap penyair pasti menggunakan, memainkan, dan tidak dimungkiri juga menciptakan kata sendiri sehingga memiliki gaya kepenulisan masing-masing. Dalam dunia kepenyairan Indonesia, kita mengenal Chairil Anwar dengan gaya kepenulisan yang dikenal dengan lugas, solid, dan kuat. Walapun Chairil tidak berumur panjang, tetapi puisi-puisinya selalu dibicarakan, terlepas dari unsur keaslian atau saduran yang telah dilakukannya. lalu kita mengetahui nama Sutardji Calzoum Bachri yang dikenal dengan gaya kepenulisan mantra dan bentuk yang nyeleneh. Kita dapat melihat puisinya yang sering menjadi perbincangan Tragedi Winka dan Sihka, juga nama lain seperti WS Rendra, Remy Sylado, Sapardi Djoko Damono, Aan Mansyur dan lain-lain. Buku Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045 pun tidak terlepas dari gaya penulisan apa yang digunakan penyair dalam buku tersebut. Walaupun buku ini sendiri tidak bisa disebut sebagai antologi puisi, tetapi gaya yang selalu digunakan oleh Martin Suryajaya adalah membenturkan kebiasaan pembaca. Gaya semacam itu sebenarnya sudah dapat kita temukan dalam buku sebelumnya yang pernah diterbitkan, yaitu Kiat Sukses Hancur Lebur. “Dengan kalimat, dia suka patuh secara sintaksis tapi mempermainkan pragmatiknya, (silakan baca buku Kiat Sukses Hancur Lebur dan Anda akan temukan 95 persen buku itu memainkan ini), kita mungkin akan mengatakan bahasa dalam Kiat Sukses Hancur Lebur itu memang hancur lebur tidak benar-benar bisa dipahami. Tapi ketika kita membacanya dan menemukan kelucuan-kelucuan di dalamnya, tak urung mendapatkan kenikmatan itu.” begitulah pendapat Yulianto dalam tulisannya Terdepan Terluar Tertinggal: Mengelabuhi sambil Membius.
Martin dapat dikatakan sebagai seorang penyair dan penulis yang humoris, suka bermain-main, dan mengalir tanpa beban. Kita dapat melihatnya melalui cara dia membuat pembaca membenturkan kebiasaan yang sudah terpatri di kepala dengan sesuatu yang baru. Ketika kita sebagai penikmat dan pembaca sastra kanon, sudah menjadi hal wajar jika kita mengetahui nama-nama penyair besar yang berpengaruh dalam kesusastraan Indonesia. Namun, Martin dengan selera humornya memainkan nama-nama penyair tersebut, seperti Sutarji Djoko Damono, Sapardi Calzoum Bachri, WC Rendra, Avianti Norman, Ezra Tegar Putra dan lain sebagainya. kejutan-kejutan itu yang membuat pembaca awam akan percaya bahwa nama-nama itu adalah seorang penyair yang ada dalam daftar penyair Indonesia. Kejutan yang diberikan Martin tidak akan bertahan lama setelah pembaca mengetahui nama asli dari setiap penyair dalam buku tersebut. Begitu juga dengan nama penyair Aan Mashyur dengan judul karya Tidak Ada Times New Roman Hari Ini. Tetapi dibalik itu, pembenturan kebiasaan yang dilakukan Martin dalam buku Antologi Obskur Indonesia 1945-2045 bisa menjadi sesuatu yang menarik dan membuat pembaca menikmati cerita tanpa harus menebak-tebak apa yang telah menunggu mereka diakhir.
Feminim Melalui Lasmi
“Tentu saja buku Terdepan, Terluar, Tertinggal: Antologi Puisi Obskur Indonesia 1945-2045 yang didedikasikan sebagai sebuah perayaan seabad kemerdekaan kita di tempat pertama mesti diacungkan jempol. Good.” Begitulah pernyataan Laura Putri Lasmi di akhir sampul buku antologi ini. pernyataan yang dapat kita anggap sebagai sebuah pujian atas terlahirnya buku perayaan satu abad kesusastraan Indonesia. Lasmi menjadi tokoh penutup yang diciptakan Martin sebagai pembawa pesan selayaknya Sulaiman H. Di akhir buku, melalui tulisannya, Lasmi―kandidat doctor La Trobe University dan Anggota Muda Institute of Indonesia Studies, menuliskan pendapatnya mengenai kerja Sulaiman H. dalam antologi puisi tersebut. Dalam tulisannya diakhir buku dengan judul Logika Falus, Peta Buta Sastra, dan Ambisi Kanon Sulaiman H. Lasmi serasa mendisrupsikan kerja Sulaiman dalam mengumpulkan setiap penyair obskur di Indonesia. Lasmi berpendapat bahwa kerja Sulaiman H. adalah sebuah pekerjaan yang sia-sia. Pekerjaan sebagai pengumpul karya obskur Indonesia seabad ini merupakan pekerjaan yang bisa dilakukan siapa pun karena karya-karya yang dianggap Sulaiman sebagai karya obskur bisa kita temukan di internet. Itulah yang membuat Lasmi menyatakan kesia-siaan kerja yang dilakukan Sulaiman H. Setiap orang bisa membuat kumpulan obskur-nya masing-masing, baik itu puisi maupun karya lain. karena kenyataannya internet lebih berjasa kepada sastra ketimbang seorang arsiparis yang mengumpulkan karya sastra yang menurutnya obskur.
Catatan lain yang ditulis Lasmi atau kita bisa menyebut sebagai tulisan Martin adalah mengenai diskriminasi perempuan. Lasmi menyebut Sulaiman sebagai seorang yang kurang memahami kesetaraan gender karena hanya sepertiga saja dari jumlah keseluruhan penyair yang ada di dalam buku atau hanya enam penyair dari 18 penyair yang dimasukkan sebagai penyair obskur. Padahal menurut Lasmi bahwa lebih banyak penyair perempuan yang tidak tercatat di dalam sejarah Sastra Indonesia dan kanonisasi Sastra Indonesia, ketimbang kaum laki-laki. Dunia sastra kita memang berjenis kelamin laki-laki sebelum ada sebuah gerakan memvaginakan sastra pada tahun 2023 oleh kolektif Betina Sastra dan sebuah buku dari Santi Arwana yang berjudul Meledaknya Bom Waktu Kemuakan pada Penis. Tentu saja gerakan dan buku tersebut semata-mata diciptakan Martin untuk memberikan dukungan terhadap pemikiran Lasmi saja tidak benar adanya. Sejak gerakan kolektif Betina Sastra itu menghebohkan dunia sastra kita, penguasaan laki-laki atas sastra perlahan-lahan dikikis. Kecuali buku Sulaiman H. ini, kita bisa melihat di hampir semua buku antologi Sastra Indonesia saat ini mempresentasikan sastrawan atau penulis perempuan minimal sebesar 50% di dalamnya. Kecuali kalau memang buku itu terang-terangan menulis bahwa antologi itu dikhususkan untuk penulis laki-laki semisal, Nyanyi Kesabaran: Kumpulan Puisi Penyair Lelaki Taurus. Di dalam konteks itu, apa yang dilakukan Sulaiman H. secara sadar ataupun tidak merupakan kemunduran besar di dalam sastra kita, begitulah pendapat yang diceritakan oleh Martin melalui Lasmi.
Catatan terakhir yang diberikan Lasmi terhadap buku tersebut adalah ketidaklengkapan, menganggap Sulaiman sebagai seorang yang malas mencari dan rasis. Ketidaklengkapan tersebut dapat kita lihat penyair-penyair yang dikumpulkan Sulaiman dalam buku antologinya. Ketika judul antologi adalah Puisi Obskur Indonesia maka secara tidak langsung memberikan pembaca referensi hampir seluruh wilayah di Indonesia. Namun, apa yang diberikan Sulaiman H. tidak demikian, banyak wilayah yang masih luput dari pandangannya. Walalupun buku ini disunting pada tahun 2045, tetapi Sulaiman bekerja seperti para penyunting di tahun 2020-an. Wilayah-wilayah seperti Provinsi Bali, NTB, Sumbawa, Flores, NTT, Maluku, ataupun Kalimantan, tidak ada satu pun penyair obskur yang dihadirkan Sulaiman dalam bukunya. Apakah memang tidak ada penyair yang terlupakan di daerah-daerah tersebut atau memang ini merupakan kerja malas mencari dari Sulaiman H. Jawa masih menjadi tempat gemuk atas penyair obskur dan bahkan Jakarta masih memiliki 4 penyair obskur. Jakarta masih berjaya meskipun dalam sebuah antologi puisi obskur. Ini menunjukkan ketidakkonsistenan pemikiran Sulaiman H. Pada bagian awal pembukaan Sulaiman yang menentang kanonisasi sastra di Indonesia tetapi masih menghadirkan penyair-penyair dari Jakarta dan meminggirkan penyair dari tempat lain di Indonesia menunjukkan bahwa Sulaiman semakin mempertegas kanonisasi sastra indonesia.
Selain diskriminasi perempuan, Sulaiman juga dianggap Lasmi sebagai seorang yang rasis. Hal itu dilihat dari bagaimana Sulaiman hanya menyertakan seorang penyair dari Papua bernama Hary Sorendoreri dan hanya satu-satunya dalam antologi obskur ini. Lasmi menganggapnya sebagai tokenisme dari Sulaiman. Suatu kerja yang setengah-setengah atau hanya suatu kerja olok-olok dalam mengumpulkan penyair obskur ini. selain itu, bentuk rasis ini ditunjukkan dari bentuk puisi yang dihadirkan dalam buku ini. Puisi yang menggambarkan kepolosan seorang yang baru melihat candi dan pertunjukkan yang berjudul Melihat Sendratari Ramayana di Prambanan. Puisi itu ditampilkan di buku ini terasa hanya untuk sebuah lelucon. Sulaiman mengeksploitasi kepolosan Hary ketika menggambarkan suasana hatinya menonton pertunjukan itu demi untuk mencapai lelucon. Selain itu, Sulaiman seperti ingin menunjukkan kelemahan berpuisi rekan penyair dari Timur ini. “Kita hidup di tahun 2045 dan kita sudah mengalami pelajaran panjang dan pahit soal rasisme, tapi kelihatannya masih juga kurang. Masih ada orang seperti Sulaiman H. yang bersembunyi dalam gelap ignorantia yang kemudian dengan lantangnya menerbitkan antologi puisi yang memperlihatkan kemunduran pemikirannya. Sebagai manusia, kita masih perlu banyak belajar bahwa ada orang seperti Sulaiman H. ini merupakan tanggung jawab kita sebagai manusia untuk memperbaikinya.” begitulah pernyataan terakhir Lasmi dalam tulisannya.
Lasmi menjadi semacam antitesis dari pemikiran Martin sebelumnya. Tokoh Lasmi memiliki peran untuk memastikan kerja Sulaiman H. sebagai seorang penyunting antologi berjalan semestinya. Selain itu, penyampaian isu bias gender dalam dunia Sastra Indonesia disampaikan Martin melalui Lasmi. Tokoh ini menjadi penutup dan akhir dari perjalanan prosa satu abad kesusastraan Indonesia―jika boleh saya menyimpulkan demikian.
Sagan, 2023
Buku yang dibahas terdengar sangat menarik, karena saya sendiri baru pertama kali menemukan sebuah buku puisi yang ditulis dengan konsep heteronim seperti ini. Terima kasih atas tulisannya!