Makassar Kota Tanpa Ingatan

4 min read

Ke manakah ingatan manusia kota berkumpul?

Ke dalam kota.

Melalui waktu.

Manusia-manusia kota mengalami kota sebagai peristiwa atau pecahan-pecahan ingatan yang bermunculan dari bangunan tertentu seperti keramaian di jalan-jalan kota, peristiwa indah di pasar, dan seterusnya.

Sebagai kumpulan ingatan, kota juga menjadi ruang manusia untuk berpartisipasi dalam siasat kolektif untuk memperoleh keutuhan hidup. Hanya saja cara berpikir dominan yang berperan sebagai pengikat siasat kolektif para manusia kota adalah logika pasar.

Logika pasar hanya menggerus siasat kolektif yang seharusnya lahir dalam setiap peristiwa manusia kota. Sebab logika pasar mengarahkan pikiran manusia kota ke dalam perlombaan menimbun keuntungan pribadi sebanyak mungkin. Dominansi logika pasar pun memotong-motong tubuh manusia-manusia kota ke dalam beberapa bagian yang tidak utuh.

Logika pasar menghendaki eksistensi pribadi manusia kota untuk bergabung dalam upaya bersama hanya jika upaya tersebut menimbulkan keuntungan pribadi. Ruang dan ingatan yang tidak mendatangkan keuntungan pribadi akan sepi dari riuh eksistensi manusia kota. Ruang dan ingatan yang tidak memanjangkan keuntungan manusia kota akan diubah, dipinggirkan, digusur, dan di tempatkan ke dalam ruang gelap.

Peristiwa kota menjadi denyut nadi perkotaan; atas dasar tersebut, esai ini akan menjelajahi peristiwa Kota Makassar lewat beberapa tulisan dari pribadi-pribadi yang bermukim sekaligus merekam peristiwa Kota Makassar yang dikumpulkan secara acak.

Aan Mansyur. Makassar Adalah Jawaban. Tapi, Apa Pertanyaannya? (Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau, GPU, 2020)

10

makassar yang ada di pikiran dan perasaanmu, saat membaca kalimat ini, adalah makassar yang hilang atau makassar yang tidak pernah datang

Pada salah satu potongan puisi Aan Mansyur, Kota Makassar diimajinasikan sebagai ingatan yang terkubur. Kota Makassar diupayakan hadir sebagai ruang untuk memahami Makassar yang utuh. Namun Makassar yang utuh menghilang dan tidak pernah datang. Lubang yang menganga pada dirinya sendiri, Kota Makassar justru berupaya menjadi tiruan. Kota Makassar ingin menjadi tiruan kota Jakarta, menjadi lebih Jakarta ketimbang Jakarta itu sendiri.

Di dalam puisi Aan, Makassar menjadi simulakrum. Makassar lacur dalam upaya kembali menjadi Makassar. Karena sudah terlalu menjadi tiruan kota lain, Makassar tidak bisa kembali menjadi dirinya sendiri. Para manusia yang bereksistensi di dalam kota Makassar akan mengingat dan merasakan Makassar sebagai bukan Makassar lagi.

Manusia-manusia kota yang melihat peristiwa di Kota Makassar merasa akrab dengan potongan ingatannya. Namun saat melihat Kota Makassar pada waktu sekarang, Makassar tidak lagi familier. Defamilierisasi. Makassar menciptakan perasaan terasing yang membuat manusia-manusia Kota Makassar mengalami peristiwa sehari-hari di dalam kota tiruan.

29

makassar bukan keinginan

makassar bukan kebutuhan

makassar adalah yang terpaksa diterima

Selain itu, pada salah satu potongan puisi Aan masih dalam puisi yang sama, Makassar tidak lagi bisa mewujud sebagai keinginan dan tak dapat utuh sebagai kebutuhan. Manusia-manusia Kota Makassar tidak pernah memberi bagian yang sama dalam mewujudkan kehidupan bersama.

Kota Makassar tidak terbentuk dari motivasi pribadi setiap orang untuk memberi bagian dalam laku kerja sama dengan orang lain. Amat mudah menemukan pertunjukan saling sikut, saling melukai di ruang-ruang Kota Makassar. Pun para pemuda yang memiliki keinginan untuk menjadi utuh sebagai pemuda berguna, pada akhirnya mengalami kegagalan dan terasing. Mereka terus-terusan berbuat onar, membegal di jalan, dan tawuran yang sebenarnya hanya untuk dianggap ada.

 Nuhady Sirimorok. Esai: Makassar Kota Tanpa Payung. (Mojok.co, 16 November 2016)

Menerima Makassar sebagai konsekuensi; simalakama pun bentuknya adalah menerima Makassar sebagai kota yang menghilangkan payung. Nurhady Sirimorok dalam esainya, mengalami peristiwa Makassar dalam upaya mencari payung saat hujan.

Mengalami peristiwa Makassar dari sudut keberadaan payung bukan hal sepele. Nurhady Sirimorok menulis peringatan. Payung-payung yang semakin sulit didapatkan di pinggir jalan pada kawasan tepi kota, saat musim hujan adalah konsekuensi dari tidak sempatnya manusia kota Makassar berjalan kaki. Bukan karena malas berjalan, melainkan trotoar bagi pejalan kaki memang tidak tersedia. Hujan yang turun akan melumpur dan membecek di bahu jalan. Selain itu, tanpa trotoar nyawa pejalan kaki bisa saja raib oleh badan kendaraan yang melaju kencang.

Wajarkah trotoar tidak ada di kawasan tepi kota Makassar? Tentu tidak.

Jumlah kendaraan setiap tahun terus meningkat, kebijakan pemerintah untuk pembatasan jumlah penjualan kendaraan tidak tercapai. Mobil dan sepeda motor malah makin bertambah. Kemacetan membising setiap hari di jalan-jalan kota. Untuk mengatasi kemacetan, pemerintah melebarkan jalan. brilian. Trotoar terimpit tidak mendapatkan ruang. Manusia kota yang hendak berjalan kaki tidak memiliki jalur yang aman. Pejalan kaki menghilang. Dan perlengkapan berjalan kaki, seperti payung, pada akhirnya pun menghilang.

Lewat esai Nurhady Sirimorok, amat mudah mengikuti alurnya; kegagalan kebijakan pemerintah berdampak langsung kepada lenyapnya kebiasaan manusia kota beserta segala perlengkapan sehari-harinya seperti payung.

Sektor ekonomi kecil para pedagang tradisional harus digusur oleh kekuatan modal besar dari sektor pasar modern. Padahal siasat kolektif dapat terwujud dari pasar-pasar tradisional kini menghilang, tergantikan oleh nilai polos efektivitas ekonomi.

Dominansi logika pasar yang terus melebam, Makassar terus menyingkirkan orang kecil dan mengundang investor bermodal besar. Konsekuensi dari semangat Makassar adalah menghilangnya segala usaha kecil.

Winarni. Citizen reporter: Akankah Panakkukang Selalu Dirindukan? (Makassar di Panyingkul, 2018)

Sambil rindu, Winarni mengingat wajah Panakkukang yang terus berubah dari daerah wajah sawah tadah hujan menjadi pusat permukiman. Apa yang dirasakan oleh Winarni? Solastalgia. Sebab wilayah Panakkukang menimbulkan kerinduan dan ketika Winarni hendak menuntaskan kerinduannya, Panakkukang bukan lagi Panakkukang.

Panakkukang telah berubah dari wilayah hijau pepohonan sejuk menjadi daerah perkotaan yang semrawut—dipenuhi wajah bangunan yang monoton dan kosong pemaknaan. Ditambah lagi masalah kemacetan yang berdampak kepada keadaan psikologis manusia kota. Alih-alih mengembalikan Panakkukang seperti dulu sebagai ruang yang dirindukan, Panakkukang justru menjelma sebagai upaya untuk melarikan diri.

Harnita Rahman. Esai: Jameson’s dan Ingatan Tentang Ujung Pandang. (Mks0km.id, 06 Januari 2017)

(Ujung Pandang adalah nama kota Makassar sebelum tahun 1999.)

Harnita Rahman menghadirkan kembali Jameson’s dalam bentuk ingatan sebagai sarana untuk menggapai nuansa indah masa kecilnya terhadap lanskap Kota Ujung Pandang. Namun ingatan itu buyar perlahan-lahan sambil diwarnai aroma kesedihan.

“Berpuluh tahun Jameson’s serupa prasasti kebahagiaan masa kecil yang sungguh tidak bisa hilang. Saat kembali ke Makassar untuk kuliah, berkali-kali berencana mengunjungi kenangan-kenangan di sana. Tapi cerita tentang bangkrutnya, cerita tentang berubahnya Jameson’s menyurutkan niat saya. Saya takut perubahan Jameson’s mengubah imajinasi saya akannya.”

Lanskap Jameson’s dalam ingatan Harnita Rahman ingin digenggamnya kuat-kuat. Upaya itu melambangkan keramahan Ujung Pandang kepada Harnita Rahman di masa lalu. Namun dengan seiring laju pembangunan mewabah di Kota Makassar, ingatan Harnita Rahman juga berubah menjadi pengalaman yang teralienasi.

Makassar, Kota Tanpa Ingatan

Dari berbagai tulisan yang dikumpulkan secara acak tadi, manusia-manusia kota dalam Kota Makassar hendak menciptakan keinginan untuk menuntaskan kerinduan terhadap lanskap Kota Makassar yang ideal. Namun jalan menuju Kota Makassar yang ideal hanya menimbulkan ketakutan dan trauma tiap hari. Sigmund Freud dalam makalah ‘The Uncanny’ menggambarkan pengalaman traumatis tersebut sebagai pengalaman merasakan sesuatu yang terasa akrab tetapi tidak dikenali.

Lagi-lagi defamilierisasi. Kerinduan terhadap Kota Makassar hanya menentang ingatan masa lalu manusia-manusia kota. Hal tersebut menimbulkan perasaan asing menjelma kesedihan. Lanskap Kota Makassar kini menimbulkan ketidakakraban. Peristiwa hidup bersama Kota Makassar, secara geografis menjadi peristiwa terluka. Setiap kali memperhatikan Kota Makassar sendi demi sendi, semakin tajam Kota Makassar melukai ingatan masyarakatnya.

Kota Makassar terbangun dalam ruang gelap. Hal-hal kualitatif begitu rapuh dan hasrat pribadi yang memunggungi siasat kolektif orang-orang mengakibatkan rasa sakit dan rasa bosan. Setiap pribadi gagal bersatu menjadi masyarakat yang utuh. Masing-masing pribadi, hanya bisa mengenali apa yang mungkin mereka rasakan dari tembok rumah sendiri. Sementara yang berada di luar rumah, setiap pribadi hidup tanpa henti untuk saling menjauh.

Jarak kesepian antara setiap orang akan menimbulkan perasaan asing. Perasaan asing menimbulkan kebingungan. Pada akhirnya beberapa orang memilih untuk menempuh jalan kriminalitas untuk tetap hidup.

Manusia-manusia Kota Makassar berada dalam eksistensi paradoks; mereka tumbuh untuk memutuskan ingatan dan meninggalkan diri sendiri. Sementara itu di papan iklan berjejer-jejer undangan dari modernitas untuk terus bergerak maju dan meninggalkan masa lalu. Edward W Soja menyebutnya sebagai kota yang terus bergerak, terlalu tak terbatas, tidak pernah cukup dalam mencakup, dan terlalu penuh dengan ruang-ruang yang tumpang tindih.

Kota Makassar bertumpang tindih, ruang dan waktu. Kota Makassar berhenti menunjukkan waktu, berhenti untuk memberikan peristiwa. Tidak ada motivasi pribadi bagi setiap orang untuk memberi bagian dalam laku kerja sama dengan orang lain. Setiap orang berjalan untuk saling memunggungi. Kota Makassar hanya kepalsuan yang harus terus-menerus diterima. Makassar adalah kota tanpa ingatan.

Referensi:

Apa itu kota? Lewis Mumford, Esai, What is a city 1937

Deborah Stone, Policy Paradox: The Art of Political Decision Making, 1997

Aan Mansyur. Makassar Adalah Jawaban. Tapi, Apa Pertanyaannya? Mengapa Luka Tidak Memaafkan Pisau. GPU, 2020.

Nuhady Sirimorok. Esai: Makassar Kota Tanpa Payung. Mojok.co 16 November 2016.

Winarni. Citizen reporter: Akankah Pannakukang Selalu Dirindukan? Makassar di Panyingkul, 2018.

Harnita Rahman. Esai: Jameson’s dan Ingatan Tentang Ujung Pandang. Mks0km.id, 06 Januari 2017.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.