Sebuah tulisan apakah akan mencitrakan penulisnya? Atau mencitrakan kehidupannya? Begitulah kira-kira yang kami tanyakan ketika kami menyantap hidangan puisi-puisi di atas meja redaksi. Mengapa puisi tampak sederhana sekaligus tampak rumit buat dinikmati? Apakah karena terlalu berlebihan dalam menyajikannya atau bumbu-bumbu yang tak sedap atau hambar di lidah orang Indonesia yang menjadi perkaranya?
Banyak hidangan puisi dari teman-teman yang tak bisa kami makan. Apalagi untuk kami nikmati. Saat kami membelah satu per satu bagian, menghirup aroma diksi dari tiap bunyi-bunyian membuat kami mengernyit dan menarik napas mengapa puisi-puisi ini begitu ‘gelap’? Apakah kalian mengetahui apa itu puisi ‘gelap’? Gelap di sini ia mencitrakan gairah yang tipis, tak ada semangat, dan hanya menawarkan diksi-diksi yang suram, murung, dan kadang tidak tepat. Apakah itu ideal pada zaman yang sudah cukup dihidupi oleh sekelumit kegelisahan, kita harus menyantap sesuatu yang semu dan terkesan diajak untuk meromantisasi masa lalu? Apakah hidup para penyair yang menghidupi puisi-puisinya begitu gelap hingga melumer tertumpah pada isi dari puisi yang ditulis? Mengapa kita tak bisa tertawa saat membaca puisi? Bahkan hingga terbahak-bahak. Apakah tak ada komedi dalam puisi atau kita dilarang oleh orang-orang tua kita untuk memasukkan kelucuan dalam sebuah puisi?
Sederhananya. Jika kota yang hidup pada setiap ingatan kita selalu didominasi oleh ketimpangan sosial, pejabat publik yang bikin sial rakyat, kemiskinan, kemacetan, dan lain-lain yang suram berada di dalam kota apakah harus disajikan dan ditawarkan dengan cara yang ‘gelap’ juga? Apakah tidak bisa kita membicarakan itu sambil tertawa, menjadikannya lelucon yang cerdas, dan mudah dikonsumsi oleh setiap orang yang telah hidup susah dan akan menjadi susah di setiap kota?
Menghidangkan puisi caranya sangat mudah. Bahkan ada ribuan cara yang tersedia. Tetapi, menyantapnya itu yang perlu usaha. Melibatkan emosi dan pikiran. Gelap bukan berarti buruk. Tapi kamu pasti tidak mau, jika orang-orang yang menyantap puisimu sama seperti menyantap hidangan yang tidak pernah mengenyangkan?