Solastalgia: Ciuman Pertama Selalu Luka Pertama

7 min read

Aku kadang menyebutnya sebagai kerak upil sebab berada di pinggiran lubang hidung yang merupakan tempat mengolah emosi dan emisi isi dunia sambil menampilkan wajah kotak-kotak di berbagai media berita seperti si wali kota yang gemar menyebut Kota Makassar. Namun kadang ia seperti seekor cecak yang bermimpi menjadi buaya muara setelah terjatuh dari tangki septik; Kota Makassar menjadi kota dunia adalah mimpi pada siang bolong.

Aku masih ingin menyebutnya daerah pinggiran kota asri sebab masih hijau dan kuning persawahan tersebar di sana-sini, kawanan kerbau gemuk yang bersantai di lumpur, dan empang yang subur dihuni udang dan ikan mujair. Namun sebutan itu sudah klenik di dalam pikiran para orang tua; mereka adalah sosok-sosok yang sudah sama rata tuanya, dua generasi di atas usiaku. Selain menyedihkan dan menyebalkan, mereka juga sering meromantisasi masa lalunya sebagai kritik pada generasi seangkatanku:

“Andai dulu kalian tahu rasanya merawat padi! kalian tidak tahu saja bagaimana rasanya membungkuk di tengah-tengah terik matahari saat kami bekerja di empang, kalian harus telan bulat-bulat kata-kata ini: Rajin itu jika kalian berbau matahari.”

Aku pernah mencoba untuk tidak mendengarkan ocehan mereka dan yang aku dapatkan adalah sebuah ceramah panjang yang berlarut-larut. ‘Mauko durhaka,’ Jadi lebih baik mendengarkan ocehan mereka meski hanya pura-pura. Maka aku sebut saja daerah tempat tinggalku sambil menahan muntah sebagai Kawasan Industri Makassar. Tempat aku lahir, dibesarkan, dan mengecup bibir seorang perempuan.

Rumahku berada di hadapan pabrik Minyak Tawon. Di belakang rumah bekas gudang distribusi perusahaan Coca-Cola. Berada jauh dari rumah—gudang sembako, gudang pakan, gudang besi, gudang rotan, gudang rokok, gudang alat-alat berat, dan gudang makanan ringan. Aku bisa menyebut lebih banyak gudang, tapi sebuah cerita yang berisi daftar pergudangan terlalu avant-garde untuk pembaca yang menderita ambeien.

Pada hari kerja, Kawasan Industri Makassar adalah kumpulan kalimat tidak lengkap pada paragraf yang panjang. Melelahkan dan Membingungkan. Pada hari libur, Kawasan Industri Makassar akan terasa seperti kawasan pascaapokaliptik. Sepi. Ngeri. Tempat yang sangat cocok untuk mengedarkan barang-barang terlarang.

Kawasan Industri Makassar juga merupakan etalase bebauan. Soal bebauan, aku tidak mengada-ngada. Gara-gara tumbuh di tengah lingkungan industri, aku bisa mengenali bermacam-macam bebauan: Bau munafik adalah biji coklat yang dikeringkan. Bau yang menonjok gigi depan adalah bau minyak gosok tawon. Bau yang berisi sumpah serapah adalah bau dari pabrik pengolahan dan pengemasan udang. Bau yang merentangkan peluk adalah bau biskuit matang dari panggangan. Bau yang mengecup kening adalah bau dari pabrik susu. Bau yang menyiku ulu hati adalah bau dari pabrik pupuk kotoran ternak.

Di antara lanskap yang memualkan dan membikin patah hati tiap hari, setidaknya pernah ada seorang gadis kecil menggemaskan tinggal di belakang rumahku. Saat itu sepanjang ingatanku usia kami sama-sama sepuluh tahun. Intan Permata namanya, ia adalah perempuan pertama yang kucium bibirnya.

Di dalam kawasan gudang Coca-Cola, keluarga Intan tinggal di rumah panggung kayu. Pada atapnya di antara bagian segitiga seng gelombang, ada sarang burung dari sepasang merpati yang gemar bercinta di jendela kamar Intan saat kami sedang bermain wayang bongkar-bongkar.

Sebelum keluarga Intan menempati rumah panggung kayu itu, seorang sopir truk ekspedisi lintas daerah yang bertubuh besar, gempal, dan menakutkan pernah tinggal di sana. Om Big Show namanya, yang jika mabuk Topi Miring bisa menjadi penerjemah untuk tiang listrik. Ketika sedang tidak bertugas, Om Big Show bermain Playstation 2 di tempat rental dan selalu minta diputarkan kaset Smack Down. Om Big Show lalu minggat mengikuti perusahaan coklat yang pindah ke Surabaya. Intan dan Ayahnya pindah ke rumah itu bersama perusahaan Coca-Cola setahun setelah Om Big Show pergi.

Atas inisiatif Ayah Intan, kandang jaring ditancapkan mengelilingi rumah itu. Hasilnya tampak seperti rumah di dalam sangkar burung. Kandang jaring itu berfungsi untuk keamanan Intan. “Sudah dikelilingi tembok gudang, masih harus hidup di dalam kandang jaring,” Pikirku saat itu, kasihan kepada Intan. Tetapi mengetahui bahwa Intan adalah tipe anak yang andai dia adalah seekor burung dia akan terbang terus menembus lapisan ozon, keputusan Ayah Intan memasang jaring sungguhlah bijak.

Suatu saat jika aku memiliki anak seperti Intan, tidak cukup kandang jaring, sekalian saja menyimpan Intan di dalam kulkas, biar tidak bisa ke mana-mana lagi.

Bayangkan saja kejadian ini:

Di dalam gudang Coca-Cola banyak sekali tumpukan kaleng-kaleng dan botol-botol Coca-Cola setinggi empat meter. Seharusnya itu sudah cukup menakutkan bagi kami—anak kecil yang bertubuh kurang dari setengah meter. Tapi bagi Intan yang terus melihat pintu gudang selalu terbuka lebar, tidak ada lagi tempat yang menyenangkan selain di gudang itu; berlarian, diteriaki, dan kucing-kucingan dengan pak satpam. Satu lagi kegiatan yang menyenangkan yakni memanjat ke atas tumpukan kaleng Coca-Cola dan melompat ke arah kumpulan botol kosong pada sebuah kotak besar.

Intan tertimpa tumpukan kaleng kemasan sprite. Aku berteriak berkali-kali saat kejadian itu berlangsung di depan mataku. Nyaring suaraku cukup memanggil para pekerja untuk datang tepat waktu. Intan ditemukan dalam keadaan lemas. Sepanjang hari itu kami diomeli, Intan diomeli ayahnya dan aku dipukuli mamakku. Esoknya tertulis sebuah tanda di papan, “ANAK KECIL dilarang masuk!” tergantung di pintu pabrik. Pintu kerangkeng rumah Intan juga semakin jarang terbuka. Aku harus memanjat dan beberapa kali terluka karena terjatuh dalam upaya menemui Intan di rumahnya.

Aku selalu usil mengagetkan Intan sambil mengucapkan, ‘Sprite!’ Intan marah dan memukuli kepalaku menggunakan telapak tangannya dan memintaku mengucapkan maaf setulus-tulusnya.

Tentang Ibunya Intan, aku hampir tidak bisa mengingat wajahnya. Ibu Intan datang sehari setelah Intan terkubur kaleng-kaleng sprite. Hanya sekilas, selepas itu Ibu Intan pergi lagi. Aku hanya ingat, suara ibunya Intan itu lembut seperti suara tokoh protagonis ibu dalam sinetron-sinetron di televisi—360 derajat dari suara mamakku.

Jika aku bertanya soal perawakan ibunya, Intan hanya bilang “Kalau aku cantik, Ibuku lebih cantik.” Seharusnya saat itu aku bisa berkata, “Berarti ibumu tidak cantik, karena kamu jelek saja sulit.” Tapi tidak kukatakan, karena itu sama saja seperti mengucapkan pesan-pesan wasiat sebelum mengembuskan napas terakhir.

Intan juga pernah terisak-isak sendirian sambil jongkok di sudut-sudut kandang jaring rumahnya. Ketika kutanya, “Kamu kenapa?” Intan menjawab, “Aku rindu ibuku.”

“Kau bisa ambil mamakku,” Kataku berupaya menghibur Intan.

“Tapi itu mamakmu,” Jawab Intan.

“Mamakku bisa membelah diri.”

“Kau pikir mamakmu ameba?” Intan berdiri dan ingin memukuliku. “Dasar anak durhaka.” Belakangan aku baru tahu, saat itu Ibu Intan bekerja di bagian kantor di Kota Ambon.

Tentang Ayah Intan, konon katanya adalah seorang mahasiswa kedokteran. Kalau sudah menyebut mahasiswa kedokteran, orang-orang selalu bilang mereka adalah golongan orang pintar dan calon orang kaya. Namun ayah Intan adalah mahasiswa kedokteran yang jatuh cinta kepada perempuan sederhana sebelum menyelesaikan studinya. Orang-orang selalu bilang dan aku sepakat dengan mereka mengatakan bahwa orang yang sedang mabuk cinta adalah golongan orang-orang yang mencampurkan kesialan dan keberuntungan dalam satu keputusan penting. Setahun mereka menikah, keduanya langsung dikaruniai Intan sebagai anak pertama.

Dalam satu tarikan singkat pada sebuah kisah panjang tentang orang tua Intan; Ayah Intan meninggalkan ruang kuliahnya setelah menikah. Dan menjadi seorang pekerja kontrak yang bekerja penuh waktu di perusahaan Coca-Cola. Tarikan singkat pada sebuah kisah panjang itu bisa saja silap. Aku hanya mendengarnya dari Tantenya Intan yang kelihatan sulit untuk dipercaya. Tantenya Intan adalah sejenis tante-tante yang suka menonton sinetron siang hari dan tipikal orang yang selalu menangisi adegan yang sebetulnya tidak perlu ditangisi.

Tapi aku yakin ayah Intan adalah orang cerdas, karena Intan bisa merebut takhta peringkat pertama dari anak laki-laki penyuka kartu sihir naga Yu Gi Oh dalam waktu singkat semenjak Intan menjadi anak baru. Kecerdasan turunan, pikirku.

Setelah menduduki takhta peringkat pertama, Intan menjadi pusat sontek di kelas kami yang baru. Gara-gara Intan, seluruh ujian semester jadi terasa lebih mudah. Teman-temanku yang payah dan tidak tahu malu selalu memanggil Intan sebagai Tambang Intan. Namun aku mendapatkan posisi sebagai penerima pertama dari hasil jawaban Intan; posisi yang spesial dan berisiko tinggi. Jika ada distribusi jawaban yang salah meskipun itu adalah kesalahan yang murni dari Intan, selalu aku yang mendapatkan getahnya.

Bapakku dan Ayah Intan adalah dua orang yang super sibuk, mereka tidak punya waktu untuk sekadar mengantar dan menjemput kami di sekolah. Saat itu aku tidak pernah tahu makna utuh dari kesibukan, yang aku tahu sibuk berarti menghilang dari pandangan orang-orang selama seharian. Tapi setelah beranjak dewasa aku tahu, sibuk sama saja dengan mengerjakan sesuatu yang membuat kita ingin kabur.

Setelah kejadian sprite, aku melubangi tembok pagar perusahaan Coca-Cola agar selalu bisa mengunjungi rumah Intan. Selain karena di pintu masuk gudang sudah tertulis, “ANAK KECIL dilarang masuk!” dan pada saat itu, ada satpam baru yang selalu duduk di pos penjagaan. Dia punya kumis tebal dan bertubuh raksasa, hampir tidak mungkin berhadapan langsung dengannya.

Setelah cukup akrab bersama Intan yang awalnya aku hanya mengetahui secuil informasi, aku sudah mengenali Intan sampai kepada kebiasaannya yang paling menyusahkan: spontan. Intan spontan menendang pantatku ketika aku kencing berdiri di kolong rumahnya. Intan spontan mengajakku berbaring di atas beton di bawah pohon mangga untuk melihat rombongan awan di langit siang. Intan spontan memerintahkan aku menunduk, agar dia bisa berdiri di atas punggungku untuk memetik mangga Harum Manis. Intan spontan berteriak ‘Lari!’ ketika pemilik pohon mangga Harum Manis yang galak melemparkan batu ke arah kami.

Ketika aku pertama kali ke rumahnya (bayangkan itu untuk pertama kalinya), seharusnya ada rasa canggung di antara kami. Tapi Intan spontan menyuruhku duduk di depan televisi dan memaksaku menonton semua koleksi kaset DVD Dora The Explorer. Koleksinya banyak, tidak cukup untuk menghitungnya dalam sekali tarikan napas. Serius. Setelah dipaksa menonton koleksi kasetnya itu, Intan menjelaskan 136 cara yang seharusnya ditempuh Dora agar Swiper Si Pencuri bisa tertangkap. Salah satunya adalah Dora harus berhenti bertanya kepada penonton, “Apakah kamu bisa melihatnya?”

Namun yang membuatku cemas, Intan juga memiliki kegemaran menonton film Rahul. Aku juga harus bercerita mengapa Intan bisa menggemari film Rahul. Ia pria yang selalu sengaja tersenyum agar lesung pipinya terlihat yang membuat para ibu muda di sekitar rumahku jatuh cinta. Saat itu terik siang matahari membuatku gerah, di kantin gudang para buruh sedang bersantai. Intan bosan menonton kaset Dora. Sambil bersandar di sofa paladang rumahnya Intan lalu berkata, “Apa kamu tidak punya kaset di rumahmu?”

“Ada,” Jawabku.

“Kaset apa saja?”

“Kasetnya Rhoma Irama, Iwan Tompo, dan kaset lagu kasidah.”

“Kaset yang bisa ditonton?”

“Paling, kaset film India.”

“Film India?” Seingatku pada saat itu Intan menunjukkan wajah penasaran.

“Iya, film-filmnya Rahul,” Jawabku bernada datar.

“Tolong, kamu pulanglah ke rumahmu dan ambilkan kaset itu.”

“Filmnya Rahul?”

“Iya,”

“Kaset jelek, itu.”

“Aku cuman mau lihat.”

“Tidak, ah” Kataku.

“Tinggal pulang saja, kan. Malas sekali kamu.”

“Bukan itu masalahnya.”

“Lalu?”

“Aku bisa dimakan sama mamakku kalau tahu aku mengambil kaset kesayangannya.”

“Cuman dipinjam saja.”

“Tidak berani saya.”

“Tolonglah.”

“Tidak,”

“Besok aku yang traktir makan empek-empek di sekolah.”

“Bisa kalau itu. Tiga hari?”

“Oke, tiga hari.”

Pada film Rahul, berjibun adegan erotis. Saat itu kami berdua tentu saja tidak memahami arti kata erotis, juga mengapa laki-laki seperti si Rahul itu bisa bebas menari dengan perempuan cantik setiap kali merasa terluka atau terlalu senang. Hanya saja sekarang aku tahu, adegan itu sebaiknya tidak disaksikan oleh anak yang usianya sepuluh tahun. Apalagi jika adegan itu disaksikan oleh tipe anak yang spontan, seperti Intan.

Setelah menonton Kuch Kuch Hota Hai sebanyak tiga kali dan aku yang kekenyangan empek-empek, suatu siang ketika matahari sedang mendung, di dalam rumahnya Intan spontan memintaku mengecup bibirnya.

“Untuk apa?” Kataku keheranan.

“Cuman mau tahu,” Jawab Intan.

Aku diam.

“Ya, sudah kalau tidak mau,” Lanjut Intan. Wajahnya setengah menyesal dan setengah memelas.

Setelah itu, Intan ikut diam. Ingatanku jelas, di antara suasana kerik yang sepi “Koi mil gaya … kya bataoon yaaron …” Sialan! nyanyian itu terus bersenandung dari televisi Intan.

Setelah kejadian itu, hubunganku dengan Intan menjadi ringkih. Intan tidak membuka pintu ketika aku berkunjung ke rumahnya. Intan bilang, “Aku tidak mau keluar, aku sedang jadi vampir,” Setiap kali aku mengajaknya main. Jika aku berpapasan di jalan, Intan juga tidak akan menjawab ketika aku melambai. Hanya dalam waktu singkat karena Intan tidak ingin lagi menoleh ke arahku, nilai mata pelajaran matematika dan bahasa inggrisku anjlok. Mamakku menjelma monster laut begitu melihat nilaiku di kertas ujian.

Namun suasana ringkih itu tidak berlarut-larut. Perusahaan Coca-Cola harus pindah ke Manado. Sampai sekarang aku tidak tahu alasannya, tapi itulah yang membuat Keluarga Intan juga harus ke Manado. Pada hari minggu sehari sebelum Intan pergi, Intan berkunjung ke rumahku. Intan pamit kepada mamak dan bapakku, lalu mengajak aku main.

“Aku minta maaf,” Katanya. Saat itu, Intan bersandar di jok mobil truk daerah yang parkir di halaman gudang Coca-Cola.

“Untuk apa?” Tanyaku.

“Bisakah kamu tidak balik bertanya,” Kata Intan sambil memasang wajah jengkel.

“Katanya mau minta maaf.”

“Tapi itu sulit, kalau kamu masih menyebalkan.”

“Kalau begitu aku yang minta maaf.”

“Hm…” Intan menoleh, menunjukkan wajah yang menggemaskan.

“Kau bisa menutup mata, aku mau memberimu sesuatu sebagai tanda maaf.”

“Apa?”

“Tutup saja.”

Aku mengecup bibir Intan.

Intan membuka matanya.

Intan menampar pipiku.

Intan membuka pintu mobil.

Intan membanting pintu mobil.

Intan pergi.

Aku melihatnya berlari dari kaca depan mobil, sambil menunjukkan wajah bengong.

Aku tidak tahu, bahkan ketika aku berupaya untuk memahami kejadian itu. Saat Intan akan meninggalkan rumahnya, dia memelukku. Perasaanku (mungkin juga bukan perasaanku), hanya saja untuk sekarang, kata-kataku sudah terlalu dewasa untuk menggambarkan perasaan anak kecil di dalam dadaku. Intan pergi hilang dari pandanganku. Aku ingat waktu itu aku menangis dalam pelukan mamakku.

One Reply to “Solastalgia: Ciuman Pertama Selalu Luka Pertama”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.