Kedai kopi adalah bagian tak terpisahkan dari kebiasaan dan budaya ngopi masyarakat. Pamornya makin melejit sejak film Filosofi Kopi dirilis tahun 2015 silam yang kemudian menjadi asal-muasal menjamurnya kedai-kedai kopi modern di berbagai kota besar. Konsep dan tampilan kedai kopi yang estetik, varian menu kopi yang beragam, pelayanan yang ramah dan tempatnya yang strategis membuat kedai kopi tidak hanya dipakai sebagai tempat nongkrong tapi juga digunakan para pelajar atau mahasiswa untuk mengerjakan tugas, kerja kelompok hingga skripsian, serta menjadi fungsi pekerja kreatif untuk mencari inspirasi.
Kedai kopi modern saat ini tidak sedikit yang mengusung konsep coworking space. Pandemi Covid-19 yang juga memunculkan tren Work from Anywhere (WFA), membuat kedai kopi dengan konsep demikian menjadi tempat yang asyik untuk bekerja.
Di Yogyakarta, kedai kopi modern tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Tahun 2017, jumlah kedai kopi di Yogyakarta ada 1.200 kedai. Jumlah ini lebih banyak dari kota-kota di sekitarnya seperti Semarang dengan 700 kedai dan Solo dengan 400 kedai. Di masa pandemi, jumlahnya meningkat dua sampai tiga kali lipat sehingga mencapai 3.000 kedai kopi yang tersebar di seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dengan luas wilayah yang cukup kecil, jumlah kedai kopi sebanyak itu telah menempatkan Yogya sebagai kota dengan kedai kopi terpadat di Indonesia.
Daerah-daerah strategis dan padat seperti kawasan Malioboro, SCBD (Seturan, Condong Catur, Babarsari, Demangan), Jalan Kaliurang (bawah sampai atas), dan Kotabaru berjejer kedai kopi dalam jarak yang berdekatan. Wilayah Sleman, terutama daerah kampus (UGM, UNY, Sanata Dharma, UII, Amikom, UPN, STIE YKPN dan lain-lain), hampir setiap jengkal tanahnya berdiri kedai kopi. Dari yang strategis di pinggir jalan raya sampai yang agak blusuk dekat pemukiman warga.
Kehadiran kedai kopi di Yogya memang memfasilitasi kebutuhannya sebagai Kota Pelajar dan Kota Wisata. Kedai kopi juga menjadi respons atas perkembangan gaya hidup modern dan kekinian masyarakatnya.
Pesatnya pertumbuhan kedai kopi di Kota Pelajar ini lantas memunculkan pertanyaan dalam benak saya. Bagaimana kedai kopi bisa menjadi ruang publik tempat anak-anak muda mengekspresikan diri? Apakah ini merupakan tren baru dalam kehidupan masyarakat urban kelas menengah yang semakin konsumtif? Yang juga tidak kalah membuat saya penasaran adalah sejak kapan dan bagaimana pertumbuhan kedai kopi di Yogya menciptakan dikotomi ‘blok utara’ dan ‘blok selatan’?
Perkembangan Kedai Kopi di Yogyakarta
Sebelum tren ngopi di kedai kopi modern hadir, masyarakat Yogya sudah biasa melakukannya di angkringan. Mereka biasa ke angkringan untuk nongkrong dan ngobrol membahas dari hal-hal receh sampai perkara serius, seperti kisah-kisah cinta dan problema perpolitikan.
Dalam sebuah esai yang terbit di Mojok (21/09/2018), M. Faizi menjelaskan silsilah Warung Kopi Blandongan yang menjadi cikal bakal perkembangan kedai kopi di Yogya. Ide mendirikan Warung Kopi Blandongan berawal dari banyaknya penumpang seruput yang mampir ke kos Badrun (CEO dan pendiri Warung Kopi Blandongan), di Gang Genjah saban pagi. Meja di serambi kos yang ditata dan dipenuhi dengan gelas, sendok, ceret, toples, dan perlengkapan lain telah membuat tampilannya mirip warung kopi.
Gelombang pertama kopi dunia yang dimulai dari kopi instan turut mempengaruhi dinamika perkedaikopian di Yogya. Kemudian kopi instan atau kopi sachet menjadi sajian yang umum ditemukan di angkringan atau warung burjo. Namun bagi para pencinta kopi yang idealis dan filosofis, minum kopi sachet itu tidak ada seninya. Selain itu, ada yang merasa kurang cocok dengan hasil dan rasanya. Entah karena terlalu encer, terlalu kental, dan sebagainya.
Sajian kopi yang dibuat oleh Badrun berbeda. Ia tidak menggunakan kopi sachet, tapi biji kopi yang disangrai dan ditumbuk sendiri. Hal inilah yang membuat sajian kopinya disukai para penyeruput gratisan itu. Dari kejadian inilah, Badrun kemudian membuka warung kopi di selatan Pondok Pesantren Wahid Hasyim, Gaten, yang besarnya sedikit lebih lebar dari kamar kosnya. Sekitar tahun 2005, Badrun memindahkan warung kopinya ke daerah Sorowajan. Perpindahan lokasi ini membuat warung yang awalnya sepi pengunjung menjadi sangat ramai. Sejak saat itulah warung-warung kopi bermunculan di Yogya area Gaten dan Selokan Mataram. Di kemudian hari warkop-warkop mulai muncul di daerah-daerah lain di Yogya dan pemiliknya tak segan menggunakan kata ‘kafe’ untuk menamai warungnya setelah sebelumnya enggan menggunakannya karena pandangan tentang kafe yang dirasa elitis dan mahal.
Setelah Blandongan berjaya, muncul kafe atau kedai-kedai kopi lain yang menyajikan berbagai fasilitas, seperti parkiran yang luas, WiFi, nobar, live music bahkan diskusi dan pengajian.
Dikotomi Kedai Kopi ‘Blok Utara’ dan ‘Blok Selatan‘
Tidak jelas persis kapan atau siapa yang pertama kali mencetuskan istilah ‘blok utara’ dan ‘blok selatan’ dalam dunia perkedaikopian di Yogya. Literatur tentangnya juga tak banyak ditemukan. Namun menurut pengalaman pribadi beberapa orang, termasuk saya keberadaan ‘blok’ kedai kopi ini nyata dan tampaknya terjadi secara natural.
Istilah ‘blok utara’ dipakai untuk menyebut kedai-kedai kopi yang berada di Yogya utara. Daerah ini banyak dihuni oleh pendatang, termasuk mahasiswa rantau dari berbagai daerah di Indonesia. Itu sebabnya wilayah Yogya utara banyak ditemukan kos-kosan, rumah kontrakan, warung makan, juga kedai kopi kekinian. Sementara ‘blok selatan’ merujuk kepada kedai-kedai kopi yang berada di Yogya selatan. Kebanyakan kedai kopi di Yogya selatan berada di lingkungan yang masih banyak didiami oleh warga lokal.
Beberapa kedai kopi blok selatan juga dekat dengan tempat-tempat wisata seperti Loko Coffee Shop dan Kopi Pak Pos yang berada di kawasan Malioboro, Kopi Mlaku (Notoprajan), Sapulu, Kumpeni yang tidak jauh dari Keraton Yogyakarta, Alun-Alun dan Museum Sonobudoyo dan sebagainya.
Kedua blok memiliki perbedaan kultur dan karakteristik baik dari segi konsep dan tampilan kedai kopi, varian dan harga kopi yang dijual, karakter pengunjung hingga sumber pendanaan.
Kedai kopi blok utara memiliki kultur dan karakteristik yang lebih kekinian. Hal ini sudah bisa dilihat dari konsep dan tampilan kedai kopinya yang minimalis, modern, dan elegan. Karena berada di lingkungan yang banyak warga lokalnya, kedai kopi blok selatan memiliki nuansa yang lebih rumahan, tradisional, sederhana, dan “lebih terasa Yogya” dibandingkan kedai-kedai kopi blok utara.
Selain menyesuaikan dengan demografi pengunjung atau masyarakat tempat kedai kopi berada, perbedaan konsep berkaitan juga dengan pendanaan. Umumnya kedai kopi blok utara menggunakan dana dari investor, sedangkan kedai kopi blok selatan menggunakan dana pribadi pemilik kedai.
Masuk ke kedai kopi blok utara, pengunjung akan disambut oleh barista yang penampilannya tidak kalah gaul dan modis dengan pengunjung kedai kopi. Kalau anak-anak muda Citayam, Bojong Gede, Depok bisa adu gaya dengan tampilan street fashion versi low budget di Dukuh Atas, kedai kopi blok utara menjadi tempat adu gaya kawula muda Yogya. Namun gaya mereka adalah versi kelas menengah ke atas. Penampilan modis dari ujung kepala hingga kaki atau pengunjung yang menggunakan barang branded adalah hal yang biasa ditemukan di kedai kopi blok utara. Sementara di blok selatan, gaya berpakaian pengunjung cenderung lebih santai dan cuek. Begitu pula dengan penampilan baristanya.
Di kedai kopi blok utara, pengunjung lebih sibuk dengan urusan masing-masing. Kalau ada pengunjung datang rombongan dengan teman tongkrongan, gaya bahasa gaul Jakarta ‘lu gue lu gue’ juga mudah ditemukan di kedai kopi blok utara. Membuat suasana ngopi seperti bukan di Yogya. Sementara di kedai kopi blok selatan, cakap-cakap dengan teman tongkrongan maupun barista, cenderung lebih bebas dan ‘buas’. Kadang disertai pula dengan umpatan-umpatan dalam bahasa Jawa.
Lalu soal varian dan harga kopi, ada yang mengatakan bahwa di blok utara varian kopi lebih beragam tapi harga lebih mahal. Namun menurut saya itu tidak sepenuhnya benar. Sebab dari pengamatan saya beberapa kedai kopi blok utara dan selatan yang pernah saya kunjungi, varian kopi di blok selatan sebetulnya juga tidak kalah variatif dan menarik. Hal ini menunjukkan kalau klasifikasi blok utara dan blok selatan tidak ada hubungannya dengan masalah kreativitas pemilik kedai maupun barista.
Sementara soal harga, mahal dan murah itu relatif. Namun berdasarkan pengalaman pribadi, harganya rata-rata tidak jauh berbeda.
Minimnya Ruang Publik Untuk Menampung Ekspresi Anak Muda
Menjamurnya kedai kopi kekinian sebetulnya menjadi paradoks dalam kehidupan masyakat urban. Dalam konteks Yogya ia menjadi alarm atas minimnya ruang publik terbuka, sedang di sisi lain ia telah memenuhi kebutuhan muda-mudi Yogya untuk berekspresi dan menyalurkan aspirasi.
Fungsi kedai kopi sebagai ruang interaksi sosial yang cair dan wahana ekspresi serta aspirasi sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Kedai kopi bukan hanya tempat nongkrong untuk membunuh bosan dan melepas penat.
Di Timur Tengah, kedai kopi menjadi pusat pertukaran informasi penting dan terkini serta sebagai sarana memperoleh hiburan melalui musik yang diperdengarkan atau pertunjukan seni yang digelar.
Di Eropa, kedai kopi menjadi tempat berkumpul para filsuf, sejarawan, kolektor barang antik, ilmuwan, dan tokoh revolusi sekaligus menjadi saksi bisu atas aktivitas intelektual mereka. Dari sinilah kedai kopi menjadi arena pertarungan gagasan para intelektual hingga turut mendorong terjadinya perubahan sosial politik di Eropa abad ke-17 dan 18. Beberapa di antaranya menjadi legenda seperti Café Central di Wina, Austria, yang dulu sering dikunjungi oleh psikoanalis Sigmund Freud dan tokoh revolusi tragis Rusia Leo Trotsky.
Di tengah angka pertumbuhan penduduk yang merangkak naik, arus urbanisasi, tuntutan, dan beban hidup yang semakin berat, kehadiran kedai kopi telah memenuhi kebutuhan masyarakat urban akan ruang publik yang nyaman. Dalam konteks Indonesia (atau secara spesifik adalah Yogya), dan kota-kota di negara lain, kehadiran kedai kopi sebagai ruang publik dapat dibaca dengan kacamata yang berbeda.
Sebuah artikel yang ditulis oleh Emma Felton berjudul Eat, Drink and Be Civil: Society and the Café, menjelaskan bahwa kenyamanan ruang publik di kota-kota besar di Australia seperti Melbourne dan Sydney adalah barang langka karena harga properti yang sangat mahal. Hal ini membuat masyarakat tidak punya cukup ruang untuk menciptakan kenyamanan dalam rumah tinggal atau apartemen. Oleh karena itu mereka menjadikan kedai kopi sebagai ruang untuk memperoleh kenyamanan yang terjangkau, mudah diakses dan dapat digunakan untuk beraktivitas, seperti bekerja, menulis, membaca, dan sebagainya.
Hal serupa juga terjadi di Wina, di mana kedai kopi menjadi semacam “ruang tamu tambahan,” untuk bercengkerama dengan teman dan kolega karena sebagian besar masyarakat tinggal di apartemen sempit.
Sementara di Yogyakarta, kondisi masyarakat yang cukup kompleks memiliki masalah yang juga kompleks. Perbedaan kelas sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat yang beragam membuat mereka punya pilihan kedai kopi yang berbeda dalam hal memenuhi kebutuhan untuk berekspresi dan beraspirasi. Itu sebabnya meski sudah banyak kedai kopi kekinian, angkringan, atau kedai kopi tradisional tetap tidak kehilangan penggemar. Selain itu, masalah selera dan alasan ideologis-filosofis pencinta kopi yang beragam juga turut memengaruhi pilihan personal mereka akan kedai kopi.
Meski ditujukan sebagai ruang publik, kedai kopi punya aturan serta batasan tidak tertulis—terutama yang berhubungan dengan teritorial—yang membuatnya bisa disebut sebagai ruang semipublik. Maksudnya adalah suatu kedai kopi sering kali diidentikkan dengan kelompok tertentu yang kadang membuat orang baru atau orang yang berada di luar kelompok tersebut enggan untuk datang dan membaur dengan kelompok yang sudah ada.
Misalnya, seorang pencinta sastra yang juga aktif di komunitas sastra cenderung lebih suka datang ke kedai-kedai yang sering dijadikan tempat untuk menggelar diskusi sastra. Atau kalau mau dikaitkan dengan kultur dan karakteristik blok utara dan selatan, ada saja orang yang insecure untuk nongkrong di beberapa kedai kopi blok utara, seperti Mandeff Coffee, Le Travail, UD Mitra dan lain-lain, karena merasa penampilannya kurang modis. Sebelum masuk biasanya mereka akan mengintip dulu dari luar jika style pengunjung suatu kedai kopi dirasa sangat berbeda dengan style yang dikenakan, maka mereka akan pergi ke kedai lain.
Semacam Perenungan
Sebagai ruang publik, kedai kopi adalah tempat bertemunya orang atau sekelompok orang dari berbagai identitas, latar belakang, selera, kebutuhan, dan kepentingan termasuk kebutuhan untuk berekspresi dan beraspirasi. Pertemuan dan interaksi inilah yang kemudian menciptakan perbedaan kultur dan karakteristik antar-kedai kopi. Di Yogya hal itu bisa tampak misalnya dari klasifikasi blok utara dan blok selatan yang terbentuk karena perbedaan lokasi dan demografi masyarakat sekitar kedai.
Kini kedai kopi kerap dipandang sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat urban kelas menengah yang konsumtif. Keberadaannya menjadi paradoks di tengah kebutuhan masyarakat akan ruang publik yang nyaman, sedangkan masifnya pembangunan di kota sering kali tidak menyediakan ruang publik terbuka yang terjangkau dan dapat diakses semua kalangan. Kebutuhan itulah yang justru tengah dipenuhi oleh kedai kopi meski harus ditebus dengan sejumlah uang.
Tanpa kedai kopi, kawula muda Yogya yang ‘dipaksa’ nrimo ing pandum (Ind.: menerima apa adanya), atas penghasilan yang kadang di bawah UMR, ketidakmampuan membeli properti yang tiap tahun harganya naik, kejahatan jalanan (klithih) dan segala keruwetan hidup lainnya, akan menjadi manusia-manusia stres. Minimnya ruang publik terbuka—dan kalaupun ada—harus bersaing tempat dengan wisatawan membuat kedai kopi menjadi solusi para kawula muda Yogya untuk tetap eksis dan menjaga kewarasannya.
Referensi:
mojok.co/esai/silsilah-warung-kopi-di-jogja-dimulai-dari-badrun-blandongan/
Felton, E. (2012). Eat, Drink and Be Civil: Sociability and the Cafe. M/C Journal, 15(2). https://doi.org/10.5204/mcj.463
coffeeandhealth.org/coffee-and-caffeine/coffee-socialising
kumparan.com/shohib-masykur/budaya-kopi-di-austria-yang-melegenda-1ucBxobn20O