Kemunculan sastra wangi—sebutan bagi karya sastra yang ditulis oleh penulis perempuan—menjadi hal yang tak dapat dipisahkan dari perjalanan sejarah sastra Indonesia. Meski demikian, para penulis yang karyanya dikategorikan ke dalam sastra wangi menilai istilah tersebut sebagai ejekan yang memandang kepengarangan dan karya yang mereka ciptakan dengan sebelah mata. Selain itu, sebutan sastra wangi seperti mereduksi nilai para penulis perempuan menjadi sekadar tampilan fisiknya saja.
Tonggak kepopuleran karya sastra jenis ini dimulai sejak tahun 2000-an lewat novel Saman karya Ayu Utami yang kemudian disusul dengan bermunculannya penulis-penulis perempuan lainnya yang turut mewarnai dunia sastra Indonesia seperti Djenar Maesa Ayu, Dinar Rahayu, Fira Basuki, Dee Lestari, Laksmi Pamuntjak dan sebagainya.
Salah satu ciri yang biasa ditemukan dalam karya sastra wangi adalah muatan seksualitas. Bahkan soal perkelaminan dan adegan-adegan seks tersebut kadang diceritakan secara vulgar. Itu sebabnya, beberapa orang atau kelompok yang menyebut sastra wangi ini sebagai sastra seksual, sastra selangkangan, atau sastra lendir.
Sebetulnya muatan seksualitas dalam karya sastra sudah ada sejak zaman dulu. Dalam kesusastraan Jawa misalnya, seksualitas dibahas cukup detail dalam Serat Centhini. Literatur Barat klasik seperti Madame Bovary karya Gustave Flaubert, Lady Chatterley’s Lover karya DH Lawrence dan Ulysses karya James Joyce, juga mengangkat hal-hal yang dianggap tabu dan tidak senonoh.
Keberanian para penulis perempuan dalam mengangkat topik yang dipandang tabu ini tak pelak mendapat apresiasi. Karya-karyanya dianggap mengusung semangat feminisme dan pembebasan perempuan atas budaya patriarki serta dominasi maskulin. Namun bukan berarti karya mereka bebas dari kontroversi dan perdebatan dari masyarakat sebagai pembaca atau pemerhati sastra.
Sebuah esai berjudul Perempuan & Sastra Seksual karya Medy Loekito yang terdapat dalam buku Sastra Kota: Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta (2003) mengemukakan pandangan-pandangan yang kontra atas eksistensi sastra wangi. Esai tersebut ditulis berdasarkan riset yang dilakukan dengan metode wawancara kepada pembaca atau pencinta sastra maupun penulis.
Ada lima novel karya penulis perempuan yang menjadi sampel risetnya, yaitu Saman dan Larung (Ayu Utami), Ode untuk Leopold von Sacher Masoch (Dinar Rahayu), Tujuh Musim Setahun (Clara Ng) dan Mereka Bilang Saya Monyet (Djenar Maesa Ayu). Ada pun sudut tinjauan yang digunakan penulis adalah tinjauan feminisme; tinjauan religius; tinjauan moral, etika dan pendidikan; tinjauan kapitalisme; tinjauan lingkungan; tinjauan pasar dan tinjauan estetis.
Berbeda dari pandangan yang menyebut karya sastra seksual sebagai perwujudan feminisme, esai tersebut menyatakan sebaliknya. Alih-alih disebut sebagai feminisme, karya seperti itu tidak lain hanya vulgarisme belaka. Feminisme sebagai sebuah gerakan kesetaraan yang seharusnya mampu mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan perempuan malah menghinakannya. Seolah-olah karakter perempuan dalam cerita itu hanya perihal obsesi dan hasrat seksual semata.
Namun permasalahan sastra seksual juga bukan perkara sederhana. Ada dilema dan masalah sistemis yang melanggengkan eksistensi dan kontroversinya. Seks sejak dulu selalu jadi bahasan yang ngeri-ngeri sedap ketika bersentuhan dengan modernitas, kapitalisme, selera pasar, hukum permintaan dan penawaran atau apa pun kamu menyebutnya. Seks menjadi komoditas yang selalu digemari dan terus diproduksi. Kalau sudah begini, terjadi pergeseran fungsi dan nilai dari karya sastra ketika memperhitungkan persoalan industri sebagai tolak acuan pengkaryaan yang secara tidak langsung menundukkan penulis agar ‘tertib’ mengaminkan selera pasar. Beberapa penerbit bahkan sampai memaksa penulis perempuan untuk memasukkan adegan seks yang lebih berani dalam ceritanya agar lebih laris manis di pasaran dan memberikan keuntungan yang besar terhadap penerbit itu sendiri.
Dari semua masalah tersebut, persoalan yang paling dilematis dan tidak pernah selesai adalah ketika seni atau sastra dibenturkan dengan isu moral dan etika. Di satu sisi sastra seksual dikecam, ditindas bahkan diboikot karena dianggap merusak moral generasi penerus bangsa. Sementara di sisi lain, isu moral dan etika bisa jadi ‘penjara’ bagi kreativitas dan ekspresi para seniman dan sastrawan. Sebab bagi mereka, seni dan sastra tidak diciptakan untuk memenuhi standard moral tertentu.
Perbedaan Penggambaran Seks dalam Karya Sastra Dulu dan Sekarang
Jauh sebelum kemunculan penulis perempuan generasi 2000-an, seks juga sudah ada dalam karya-karya sastrawan generasi terdahulu. Satyagraha Hoerip dalam Kritik Sastra Feminis: Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia (2012), mengungkapkan bagaimana fenomena seks digambarkan dalam karya-karya sastra pada tahun 1960-an.
Pertama, seks tidak digambarkan urut sebagaimana dalam realitas dan hanya berhenti pada tahap pengantar sedangkan tahap berikutnya pembaca diharapkan mengerti sendiri. Ke dua, seks dilukiskan secara subtil, sugestif, terselubung atau bahkan simbolik. Ke tiga, seks (tak selalu dalam adegan terjadinya), hanyalah tambahan belaka dari sekian faktor yang ada.
Hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Hoerip, Goenawan Mohamad juga mengungkapkan pola sikap sastra Indonesia sebelum tahun 1980-an terhadap persoalan dan penggambaran seks. Mulai dari karya-karya yang mempersoalkan tapi tidak berani menggambarkan seks secara ‘berlebihan’ hingga menganggap seks sebagai sesuatu yang wajar dan menggambarkannya dengan sewajarnya.
Sementara dalam karya-karya para penulis era 2000-an yang banyak dipengaruhi oleh feminisme, karya-karyanya memunyai pesan untuk mendobrak ketabuan dan menggugat budaya patriarki yang mengekang perempuan untuk berekspresi dan bersuara. Oleh karena itu isu-isu seperti otoritas tubuh, LGBTQ, kekerasan seksual, prostitusi, seks bebas, inses, perselingkuhan, dan sebagainya banyak diangkat dalam karya-karya sastra oleh penulis era 2000-an.
Bagaimana Saya Memandang Sastra Seksual?
Saya pikir, kritik atas sastra bernuansa seks akan berputar di situ-situ saja kalau hanya dilihat dengan kacamata moralitas belaka. Implikasinya seperti sensor, boikot, dan persekusi oleh kaum moralis adalah momok yang paling ditakuti oleh pekerja kesenian termasuk bagi sastrawan. Penafsirannya akan selalu menghasilkan kesimpulan yang sama yaitu sastra seksual itu problematik dan merusak moral generasi muda. Benarkah demikian?
Bagi saya, persoalannya bukan pada seberapa bermoralnya isi suatu tulisan agar bisa disebut sebagai karya sastra yang adiluhung. Serat Centhini yang disebut sebagai salah satu warisan adiluhung kesusastraan Jawa, di sisi lain juga berisi gambaran tentang hubungan seks secara detail. Dari adab bersanggama, kendala dalam bersanggama, bahkan menyinggung pula soal orgy dan homoseksualitas. Ada ajaran tasawuf tapi juga ada hal-hal berbau seks yang dibawakan dengan kalimat yang vulgar, semuanya tersaji dalam buku tersebut. Lantas bisakah kita menyebut Serat Centhini sebagai buku porno dengan dalih bermuatan seksualitas yang disampaikan dengan bahasa yang vulgar? Yang kemudian membawa pertanyaan lain: atas dasar apakah sastrawan mesti dibebani dengan tanggung jawab untuk mendidik moral pembaca?
Ingatlah bahwa eksistensi sastra seksual pasti ditujukan bagi pembaca usia 18+. Usia tersebut umumnya dianggap memiliki tingkat kematangan intelektual dan emosional yang lebih baik (meski tidak terjadi pada semua orang), sehingga lebih bisa menyaring dan menafsirkan sesuatu. Filter diri mereka umumnya juga lebih baik sehingga mampu membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, mana yang bisa dijadikan contoh dan yang tidak.
Terlepas dari cara penggambaran seks yang subtil, metaforis, dan simbolis atau yang blak-blakan, brutal, dan vulgar, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah pesan apa yang hendak disampaikan oleh pengarang. Apakah ia hendak melawan objektivikasi atas tubuh perempuan? Menyindir maskulinitas toksik? Menggugat institusi pernikahan dan keluarga? Atau membeberkan realitas kehidupan manusia modern yang kompleks dan acapkali penuh kemunafikan? Jika dikatakan bahwa karya tersebut punya pesan pemberdayaan (empowerment), narasi seperti apakah yang disajikan pengarang sehingga karya tersebut layak disebut memberdayakan (empowering)?
Sayangnya, alih-alih dibaca dan ditelaah secara kritis (dalam konteks kebahasaan dan kesusastraan), kita sepertinya lebih fokus pada penggambaran seksnya dan keburu marah-marah (meski belum baca bukunya sampai tuntas), lalu menjatuhkan vonis, “Karya ini merusak moral masyarakat, mestinya tidak boleh beredar di pasaran!” terhadap karya tersebut.
Referensi:
Dewan Kesenian Jakarta. (2003). Sastra Kota Bunga Rampai Esai Temu Sastra Jakarta. Jakarta: DJK dan Bentang Budaya
Wiyatmi. (2012). Kritik Sastra Feminis Teori dan Aplikasinya dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak
https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20210604145304-241-650432/seksualitas-dan-kalimat-vulgar-dalam-naskah-serat-centhini/2
https://satupena.id/2019/04/26/adakah-krisis-moralitas-dalam-kesusastraan-indonesia/