Tanisha Fortuna Lulusan Sastra Indonesia yang sedang mengadu nasib sebagai budak korporat. Terkadang nyambi sebagai pengrajin kata.

Bagaimana Algoritma Mempelajari Manusia?

3 min read

Bagaimana Algoritma Mempelajari Manusia - Kolonian.is

Algoritma adalah instruksi yang berisi kalkulasi untuk memecahkan suatu masalah tertentu. Dilansir dari Wired, instruksi tersebut dibuat secara matematis (Ya! matematika yang sering membuat kita pusing), untuk memproses data yang lama-kelamaan bisa membuat pemecahan masalah secara mandiri. Instruksi ini harus dibangun dengan jelas supaya bisa beradaptasi mengatasi masalah-masalah yang banyak, tetapi sejenis. Sebelum algoritma dan kecerdasan buatan (artificial intelligence) banyak dibicarakan akhir-akhir ini, manusia sebenarnya sudah menerapkan algoritma dalam kehidupan sehari-hari.

Algoritma dalam kehidupan sehari-hari sangat berhubungan dengan pola hidup. Misalnya saja, setelah enam bulan menjadi budak korporat yang bolak-balik Tangerang-Jakarta menggunakan transportasi umum, saya membuat sebuah ‘algoritma’ agar tidak telat sampai kantor. Untuk membangun algoritma ini, saya melakukan beberapa langkah.

Langkah pertama: pengumpulan data. Tentunya, saya harus tahu jadwal kereta arah Tanah Abang dari stasiun keberangkatan saya. Saya juga harus tahu perkiraan jarak pintu kereta ke tangga stasiun tujuan agar tidak lama mengantre dan berdesak-desakan dengan penumpang yang lain.

Langkah kedua: analisis data. Dari data yang sudah saya dapat, saya melakukan analisis kecil-kecilan. Maksimal naik kereta pukul berapa agar tidak terlalu telat sampai stasiun, dari gerbong kereta ke berapa saya harus naik, berdiri di dekat sisi kiri atau kanan arah laju kereta agar tidak terlalu jauh saat keluar dari pintu kereta–semua itu harus saya analisis.

Langkah ketiga: training. Analisis tadi saya uji coba saat naik kereta, yang tentu saja terdapat trial and error. Naik kereta dari gerbong pertama saja tidak cukup, ternyata berdirinya saya persis di belakang garis pembatas peron atau tidak sangat menentukan apakah saya menjadi ‘pepes’ di dalam kereta nantinya. Trial and error lain adalah naik eskalator ataupun tangga manual yang ternyata antreannya sama panjang. Di langkah inilah, saya mencoba berbagai pola dan urutan tertentu supaya saya tepat waktu, aman, dan nyaman. Kalau banyak error-nya, ulang lagi dari langkah pertama sampai error-nya sangat sedikit.

Langkah keempat: testing. Kalau sudah terlatih, maka saya akan melakukan testing dengan data dan pola yang sudah tersedia. Dalam konteks naik kereta, saya mengamati berapa kali saya sampai kantor setengah jam sebelum jam kerja dan berapa kali saya sampai kantor saat sudah mepet jam kerja.

Langkah kelima: aplikasi. Setelah lima hari berturut-turut tepat waktu sampai kantor, akhirnya pola tersebut saya aplikasikan menjadi kebiasaan yang sudah otomatis dilakukan setiap berangkat kerja.

Layaknya ‘algoritma’ dalam hidup sehari-hari saya tadi, algoritma dalam berbagai aplikasi pada gawai kita juga sangat mengandalkan data dan pola. Yuval Noah Harari dalam bukunya yang berjudul 21 Lessons from 21st Century mengatakan bahwa AI (Artificial Intelligence) mempelajari perilaku dan reaksi manusia lewat pola. Perilaku ‘berdigital’ manusia menjadi kunci pengembangan sebuah algoritma. Bagaikan CCTV (atau intel?), algoritma sebagai salah satu produk AI pun mengamati perilaku kita: post seperti apa yang kita like, share, dan comment? Konten dengan topik apa yang bakal di-skip? Genre video apa yang ditonton sampai habis dan yang ditonton setengahnya saja? Kata kunci apa yang sering diketik di mesin pencari?

Pola-pola itu dipelajari—istilah kerennya machine learning—lalu dijadikan algoritma sebagai referensi untuk menyuguhkan informasi atau konten sejenis. Dikombinasikan dengan peluang seberapa tertarik kita melihat konten yang ada, algoritma akan terus menyajikan konten-konten yang baru dan senada dengan selera si pengguna. Saya ada contoh lain yang lebih mudah bagaimana algoritma mempelajari manusia dalam dunia digital.

Intel:
Komandan Ai, berikut adalah laporan aktivitas Tanisha sepuluh menit ini. Kalau boleh saya buat poin besarnya berdasarkan pola aktivitas, perilaku, dan responsnya, Tanisha sedang tertarik dengan video kucing-kucing lucu. Selain itu dari riwayat penelusuran dan akun yang baru saja di-follow, Tanisha sepertinya sedang menurunkan berat badan.

Komandan Ai:
Hmm… oke, oke. Coba saya telisik dulu laporanmu. Nanti saya akan hubungi kamu lagi.

Intel:
Siap, Komandan!

(Lima detik kemudian)

Komandan Ai:
Berdasarkan analisis dan kalkulasi saya, coba nanti kamu lihat reaksi Tanisha melihat rekomendasi yang sudah saya daftarkan ini. Untuk kucing, coba kamu beri Tanisha video-video kucing dengan sound yang sedang trending. Untuk kategori penurunan berat badan, kamu bisa lampirkan iklan-iklan whey protein atau gym terdekat dengan lokasi Tanisha dan outfit olahraga. Ingat, kamu harus detail dalam mengamati reaksi Tanisha sehingga kita bisa tahu tindakan apa yang harus kita ambil selanjutnya.
Kamu tahu kan, reaksi itu mencakup apa saja?

Intel:
Berapa lama Tanisha melihat setiap konten, jumlah like, komentar, dan juga berapa akun yang baru dia follow. Oh ya, kata kunci yang dicari juga menjadi acuan utama reaksi Tanisha. Apakah saya benar, Komandan Ai?

Komandan Ai:
Benar! Tidak sia-sia saya latih kamu berkali-kali. Oke, silakan kamu lanjutkan pekerjaanmu.

Intel:
Siap, Komandan!

Dari contoh di atas, hanya dalam hitungan detik algoritma dapat lebih cepat mengambil keputusan dan mempelajari pola baru daripada manusia. Algoritma bakal terus memasang konten-konten terbaru yang kemungkinan dibukanya paling tinggi oleh si pengguna. Spotify akan memajang banner lagu terbaru dari penyanyi kesukaanmu di halaman beranda. Youtube bakal memunculkan notifikasi live dari Youtuber yang akhir-akhir ini sering kamu tonton dan kebetulan baru di-suscribe beberapa jam lalu. Semakin intens kamu menggunakan aplikasi-aplikasi di atas, maka algoritma akan menyelami pikiranmu semakin dalam.

Tidak sedikit content creator yang sangat bergantung pada algoritma ini. Algoritma bisa jadi penentu pemasukan para content creator. Mereka harus menyesuaikan konten yang selaras dengan algoritma supaya banyak yang menonton atau membaca konten yang mereka unggah. Belum lagi waktu publikasi konten sangat menentukan seberapa banyak engagement yang akan didapat. Lama-kelamaan, content creator harus mengikuti ke mana arah algoritma pergi agar bisa survive di sistem dunia digital.

Tidak hanya dari sisi pembuat konten, tantangan juga ditemukan dari sisi konsumen konten. Kalau kamu terus mengonsumsi konten yang sebenarnya belum faktual, algoritma akan terus-menerus menyuguhkan konten yang sejenis. Algoritma dapat membuat apa yang kamu ketahui selama ini tidak terbiasa untuk diuji objektivitasnya. Oleh karena itu, berkaca dari cara algoritma bekerja pada media sosial belakangan ini, tahun 2023-2024 akan menjadi tahun yang sangat menantang bagi kita semua karena pesta politik akan segera dilangsungkan.

Semua orang akan merasa pandangan politiknya benar karena Dewa Algoritma juga mengatakan demikian. Di media sosial, semua orang bisa jadi jurnalis, politisi, ahli hukum, dan ahli-ahli lainnya selama ada algoritma yang menyediakan ‘referensi’. Memang setiap orang berhak berpendapat, tetapi kemampuan literasi semakin dibutuhkan di era digital ini. Setiap referensi yang disuguhkan algoritma belum tentu kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan.

Pada akhirnya, ke mana arah algoritma pergi sangat bergantung pada pola hidup kita. Preferensi tiap-tiap pribadi sangat menentukan sajian seperti apa yang akan disuguhkan oleh Sang Dewa. Yang pasti, Sang Dewa sedang mengawasi dirimu sekarang dan bisa jadi lebih mengerti dirimu daripada dirimu sendiri karena pemikiran dan ideologimu dibentuk oleh Sang Dewa, bukan sebaliknya. Bukankah begitu?

Tanisha Fortuna Lulusan Sastra Indonesia yang sedang mengadu nasib sebagai budak korporat. Terkadang nyambi sebagai pengrajin kata.

One Reply to “Bagaimana Algoritma Mempelajari Manusia?”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.