Di dalam mimpiku, Noboru Wataya berpidato. Dia duduk di balik meja kayu dengan cat coklat mengkilap. Kendati ukuran kemejanya terlalu lebar untuk tubuhnya yang kurus, warna merah terang dengan motif garis-garis dari kemejanya membuat dia tetap percaya diri. Sambil menggulung lengan kemejanya yang kepanjangan, Noboru Wataya selalu menekan kata ‘sukses’ dengan nada suara mendesis. Di dalam mimpiku, Noboru Wataya adalah ular sawah dan orang yang mendengarkannya adalah tikus-tikus yang terperangkap omongan Noboru Wataya.
Hidup adalah masalah yang sangat sederhana; semua adalah ritme.
Para tikus itu bertepuk tangan.
Namun sebelum Noboru Wataya menyelesaikan pidatonya, gorden yang terbuat dari mi yang membentang di belakang Noboru Wataya, terbakar. Tidak ada yang tahu. Api menyulut begitu saja. Mengapa gorden itu dibuat dari bahan tepung, juga tidak ada yang tahu.
Api itu juga melalap dinding. Meski pun awalnya Noboru Wataya berupaya mempertahankan kepercayaan dirinya. Dia akhirnya panik melihat para tikus mulai berhamburan dan berteriak, “Jangan biarkan apinya mengamuk … Gulung gordennya sebelum matang … Tolong para hadirin tetap di tempat … Kita masih harus mengikuti acaranya hingga selesai.”
Persetan dengan Noboru Wataya aku juga memutuskan untuk kabur dari ruangan itu, dimasak hidup-hidup bersama mie yang matang adalah sebuah penyajian mati yang buruk. Namun sebelum aku minggat dari kursiku, seorang perempuan asing menumbuk punggungku membuatku terjatuh ke kolong kursi. Aroma bunga melati dari pakaiannya seperti aroma melati dari satu kebun melati yang luas. Aku ingin sekali melihat wajah perempuan itu.
Sayang sekali, aku malah terjaga.
Begitu aku membuka mataku dan merasakan kepalaku yang berat sekali. Dari kejauhan aku mendengar bunyi langkah sepatu. Tap tap tap. Kemudian ada bunyi mesin motor matik yang perlahan menjauh. Perlahan-lahan, aku akhirnya menyadari kalau aku berada di kamar kos Animi, pacarku. Dan aroma bunga melati yang muncul di dalam mimpiku, aku yakin itu aroma parfum badan kesukaan Animi. Dia pasti ke kampus. Jika tidak sedang kuliah, mungkin sedang bertemu dengan dosen pembimbing skripsinya. Entahlah.
Sambil berbaring, aku melihat atap yang bocor. Titik kecil, menembuskan sinar matahari dan memamerkan debu-debu yang melayang dengan bebas. Sinarnya menyorot tepat di sebelah kananku. Animi, entah dengan kekuatan apa, masih sempat-sempatnya mematikan lampu, tapi membiarkan boombox-nya terus menyala. Jika aku tidak menyibak gorden jendela, kamar ini akan terasa seperti dasar sumur tua dalam yang sedang mengadakan konser jazz. Tapi aku malas sekali, tubuhku terasa remuk dan kepalaku sedang berada di bawah kaki gajah Bangladesh.
Tubuhku yang telanjang berlumuran keringat. Aku tidak tahan juga. Kamar Animi, lama-kelamaan menjadi pengap. Padahal tadi malam rasanya sejuk seperti terbenam ke dalam agar-agar.
Aku mengangkat kepala, mengatur napasku. Sialan, bau mulutku busuk betul! Dan jantungku seperti denyut jalan kota. Dan kerongkonganku sekering pipa air di bawah gedung yang terbengkalai. Aku masih malas sekali, bahkan untuk menghela napas yang panjang. Tapi aku tiba-tiba teringat salah satu isi pidato Noboru Wataya tentang kemalasan. Meski pun aku tidak setuju dengan Noboru Wataya, aku tiba-tiba punya kekuatan untuk menyibak gorden jendela.
Mataku menguncup dan gatal, tidak tahan melihat terang matahari yang menembus jendela kamar Animi. Perlahan-lahan aku kembali membuka mataku. Terlihatlah dinding kamar Animi bercat biru. Di samping jendela, empat bingkai foto menggantung selang-seling. Salah satu foto adalah fotoku bersama Animi. Aku berdiri tegap di samping Animi yang mengenakan kebaya merah jambu dan aku mengenakan seragam maritim, posisi topiku agak miring satu derajat ke kanan.
Terlihat juga sebuah kasur dengan seprei bermotif wajah kucing yang kusut, setengahnya tertutupi selimut berwarna biru. Dua bantal-guling terjatuh ke kolong ranjang seperti korban kecelakaan. Ada robekan tisu yang berserakan di antara pakaian dalam. Sebuah asbak kaca kelimpahan potongan puntung rokok, debunya berserakan di lantai.
Di tempat yang sama, bungkusan kacang garuda, biskuit, dan minuman bersoda saling berhadap-hadapan. Buku-buku filsafat, novel-novel Haruki Murakami tengkurap di lantai dan laptop Animi belum dimatikan.
Kamar Animi selalu menjadi kamar paling berantakan di dunia, setiap kali aku singgah menginap. Biasanya, Animi akan membersihan kamarnya sambil terus marah-marah dan aku akan menyetel lagu The Smiths dengan volume tinggi di boombox sebelum ke dapur menyiapkan sarapan. Tapi, Animi malah ke kampus dan aku sama sekali tidak tahu cara merapikan kamar paling berantakan di dunia, maka aku hanya menyetel lagu The Smiths dengan volume tinggi sambil siap-siap memasak di dapur.
Setelah membasahi wajahku, aku berdiri di depan kompor, mengenakan handuk milik Animi. Aku meraih talenan papan yang mengantung di dinding dan mengambil sebuah wajan gosong di dalam lemari kayu empat pintu yang berjejer di atas kepalaku. Mengetahui posisi wajan dan talenan itu berubah, aku menjadi agak sinis dengan Animi. Mengapa dia tidak menyimpan talenan di dalam lemari dan membiarkan wajan menggangtung di dinding? Seperti masalah hidup, pikirku, biarkan sesuatu yang besar berada di luar dan biarkan yang kecil tersimpan di dalam. Tapi, Animi adalah pacarku dan dapurnya adalah dapurnya, sedangkan aku hanya lelaki yang singgah bercinta.
Dari sebuah toples plastik, aku memilih tiga siung bawang merah, dua siung bawang putih. Dari dalam kulkas aku mengeluarkan daun sawi, tiga buah tomat, dua biji telur, dan dua bungkus mi goreng kemasan jumbo.
Aku punya prinsip dalam memasak mi dan itu sudah kubagikan kepada Animi bahwa untuk memasak mi terenak di dunia, kamu tidak perlu mengikuti tata cara memasak mi seperti yang tertera di belakang kemasan mi. Kamu hanya perlu memasak mi dengan caramu sendiri. Mau rasanya enak atau rasanya bakal mirip karet gosong, tidak perlu cemas. Setidaknya kamu tidak membiarkan perusahaan mi mendikte caramu menikmati makananmu sendiri.
Animi senang sekali menyantap sajian mi goreng becek bawang gosong. Tipe sajian mi goreng yang menyisakan sedikit air dengan taburan bawang gosong. Dan setiap kali aku memasak untuk Animi, dia akan memelukku dari belakang. Aku selalu bilang, “Pelukanmu bikin repot.” Dan Animi bilang, “Kamu jadi seksi kalau lagi masak mie.” Tapi dia akan melepaskan pelukannya ketika beberapa irisian bawang berjatuhan ke permukaan wajan. Alasannya adalah alasan yang membuatnya tidak pandai memasak: Animi takut percikan minyak panas.
Aku menekuk jari telunjuk dan jari tengah, dan kuku-kukuku bertugas menahan bawang saat tangan sisanya bertugas mengiris. Ibuku yang mengajarkannya. Menurut ibu, dengan posisi tangan seperti itu, tanganku akan terhindar dari luka karena sayatan pisau dan yang terpenting hasil irisan bawang menjadi rapi. Aku pikir, ajaran ibu saat memotong bawang bisa juga menjadi ajaran menghadapi kehidupan. Menurutku hidup memiliki cara-cara kerja tertentu sama seperti mengiris bawang. Apabila kita memahaminya kita tidak akan melukai diri sendiri.
Aku lantas mengingat isi pidato Noboru Wataya di dalam mimpiku. Seingatku isi pidatonya terdengar seperti ini:
“Begini, segala sesuatu bersifat rumit sekaligus sangat sederhana. Itulah aturan dasar yang menguasai dunia ini … Itu tidak boleh dilupakan. Hal-hal yang tampak rumit, motivasinya sangat sederhana. Apa yang diinginkannya? Itu saja. motivasi itu dapat disebut sebagai akar hasrat. Yang penting menelusuri akar itu. Menggali lahan rumit yang disebut kenyataan. Menggali terus, menggali terus-menerus, sedalam-dalamnya sampai mencapai bagian paling ujung akar itu. Dengan begitu segalanya diperjelas akhirnya. Itulah keadaan dunia. Orang-orang bodoh tak akan terbebas dari kerumitan atas pengamatan luar saja.
“Dan selama tetap tidak bisa mengerti apa pun, mereka mencari pintu keluar ke sana kemari di tengah kegelapan hingga akhirnya mati. Ibarat bengong saja tak tahu harus bagaimana di tengah rimba raya atau dasar sumur dalam. Mereka bengong karena mereka tidak mengerti aturan dasar berbagai hal. Otak mereka hanya sekadar berisi sampah atau batu tak berguna. Mereka tidak tahu apa-apa. Karena itu mereka tak akan bisa meloloskan diri dari kegelapan itu.”
Pada malam sebelumnya aku ingat kalau Animi membacakan bagian pidato Noboru Wataya dalam novel the Wind-up Bird Chronicle-nya Haruki Murakami. Meski aku tidak begitu mengerti, mungkin karena itu aku sampai terperangkap bersama Noboru Wataya di dalam mimpi.
Animi berpendapat kalau sosok Noboru Wataya adalah sosok narsistik yang berupaya menampilkan versi terbaiknya ke depan umum untuk menyembunyikan sisi buruknya di masa lalu. Semakin sering sosok-sosok narsistik ini menampilkan versi terbaiknya, akan semakin terbuka ingatan mereka tentang tampilan buruknya di masa lalu. Wajar saja mereka tidak akan pernah bisa memahami orang lain, mereka akan terperangkap selamanya dengan rasa takut terhadap versi asli dari dirinya sendiri.
Setelah merapikan irisan bawang putih yang terakhir dan memastikan semuanya berbentuk potongan dadu, aku mengumpulkannya ke piring kaca. Aku mengangkat wajan ke atas kompor dan menuangkan minyak goreng.
Saat menyulutkan api, ponselku berbunyi. Aku malas mencarinya, tapi aku harus mengangkat panggilan itu. Nomor ponselku hanya diketahui oleh pacar dan ibuku, sebab Animi adalah tong kosong dan ibu adalah bunyi kata-kata yang nyaring. Ponsel itu berada di dalam kamar paling berantakan di dunia dan yang menelpon adalah Animi. Di sudut layar ponselku: pukul 08.30.
“Baru bangun?” Tanya Animi.
“Sejak tadi.”
“Sudah membersihkan kamar?”
“Kalau aku bilang sudah, kamu akan percaya?”
“Oh, tentu tidak,” Tegas Animi.
“Ya sudah, tanyakan yang lain!”
“Sedang apa?”
“Masak.”
“Mi becek?” Nada bicara Animi jadi antusias.
“Iya.”
“Aku tiba-tiba kangen.”
“Aku?”
“Mi beceknya, untung apa aku kangen kamu?”
“Hmmm.”
“Iya, iya, iya, aku juga kangen kamu.”
“Hmmm.”
“Aku mau pulang, kuliahnya membosankan.”
“Pulang saja, jangan memaksakan diri.”
“Masalahnya, dosennya killer. Nanti saja, yah. Bakal merepotkan kalau harus bermasalah dengan penyihir tua.”
“Oke.”
“Sisakan sedikit, bisa?”
“Mau makan mi dingin?”
“Yaaaah,” Ketus Animi.
“Nanti kubuatkan lagi.”
“Aku sayang kamu.”
“Sayang kamu juga.”
Lalu Animi menutup panggilannya. Aku memandang ponselku selama beberapa saat, aku berbicara selama beberapa menit dan aku teringat sudah menyalakan kompor dan minyaknya pasti sudah sangat panas.
Benar saja, walau hanya ditinggal sebentar wajannya mengepulkan asap. Aku mengecilkan api dan segera menaburkan irisan bawang ke permukaan wajan. Hal yang paling menyenangkan bagiku ketika menumis bawang adalah kuar aromanya. Konon katanya penemu metode menumis bawang bernama Jie Sixie. Dia menemukan cara menumis bawang setelah bertapa di dalam hutan selama empat puluh lima hari. Wajar saja kalau aromanya mengandung aroma kebijaksanaan.
Aku memasukkan mi ke wajan dan menaikkan suhu kompor. Kumasukkan juga bumbu paten mie goreng, lalu kutuangkan segelas air.
Setelah air di atas wajan meletup-letup dan memastikan jika mi sudah lembek. Aku memasukkan daun-daun sawi, memastikannya layu dengan spatula. Lantas aku mendahulukan irisan tomat sebelum menambahkan kecap dan irisan cabai. Jika Animi ikutan makan, terpaksa aku menaburkan sepuluh biji cabai karena Animi suka sekali dengan masakan pedas. Aku mengaduk-ngaduk hingga merata. Untuk langkah pamungkas, aku memecahkan dua biji telur.
Aku memastikan rasa minya sudah cukup manusiawi dan tidak akan melukai tenggorokanku. Aku mematikan kompor dan menuangkan mi ke atas mangkuk. Selama menunggu dingin dan cocok dikunyah, ponselku berbunyi dan itu dari Animi lagi.
“Sudah masak?” Tanya Animi.
“Baru saja.”
“Porsi?”
“Semangkuk.”
“Buat aku saja, yah,” Pintanya. “Aku akan pulang sekarang, aku lapar sekali.”
“Kuliahnya?”
“Sudah selesai, dosennya ngambek untuk sejuta kalinya.”
“Pulanglah.”
“Minya tidak apa-apa untuk saya?”
“Kutinggal di atas meja, aku mau mandi.”
“Aku boleh ikutan mandi?” Tanya Animi.
“Kalau begitu pintunya tidak akan aku kunci.”
“Kamar mandi atau pintu kos?”
“Kunci pintu kosnya, kamu yang bawa kan?”
“Eh iya, butuh dibebaskan?”
“Mau makan mi atau jadi pahlawan?”
“Mauuu makan miii,” Manja Animi
“Yasudah, jangan biarkan minya jadi mi dingin. Rasanya akan seperti makan aspal pagi-pagi.”
“Oke, aku pulang sekarang.”
“Dah.”
Aku mengamankan mi ke bawah tudung saji, aku ke kamar mandi dan menutup pintu. Melihat diriku yang telanjang di kamar mandi membuatku membatinkan kata-kata Noboru Wataya.
Setelah Anda mendapatkan ritmenya, Anda akan mudah menyadari sesuatu yang salah. Apa itu ritme hidup? Itu jauh lebih dalam dari sekadar kata-kata: sebuah keindahan, sebuah emosi yang menciptakan pola di dalam pikiran. Ritme itu akan muncul jauh sebelum pikiran kita memutuskan sesuatu.