Catatan:
Mengkoje : Bersetubuh.
Jebak : Gerbang.
Lasah : Lantai berugak, biasa dari bilah-bilah bambu.
Gayas : Ulat yang bersarang di tanah dan bisa dimakan.
Anjing yang tengah meringkuk di jebak menyalak keras. Kirsip duduk di depan tungku mengaduk-aduk nasi yang telah mendidih dengan gagang sendok. Asap melayang naik menusuk kedua matanya.
Terdengar olehnya suara langkah kaki. Ia berhenti mengaduk, menggosok matanya dan berbalik memandang jebak sebelah utara. Tampak Kecepeh berjalan memasuki jebak, bakul berukuran sedang bertengger di atas kepalanya. Perempuan itu langsung menuju berugak disertai dengusan berat napasnya beberapa kali. Api yang merembes keluar dari lubang tungku membuat Kirsip segera mendorong kayu bakar dengan tangannya. Dorongan yang cukup keras sampai ujung kayu bakar itu menusuk tumpukan bara dan mengirimkan lebih banyak asap ke matanya.
“Ailah! Makin jauh rasanya Lelenggo sekarang,” Ucap Kecepeh sambil menurunkan bakul bawaannya.
Kirsip merapikan kayu bakar untuk mempertahankan api menyala dengan baik, lalu mengaduk nasi dua tiga kali lagi dan menggosokkan gagang sendok di tepian panci untuk melepas biji-biji nasi yang menempel. Seolah tidak cukup, ia menepuk-nepukkan gagang sendok itu dengan pelan di bibir panci. Anjing di jebak yang telah berhenti menyalak berlari mendekat. “Booo!” Bentak Kirsip dan anjing itu beringsut ke tempatnya semula.
“Jauh sekali rasanya Lelenggo sekarang. Sampai di Sungai Popo sudah lelah saya,” Kecepeh mengulangi kata-katanya.
Kirsip menyandarkan sendok di tepian tungku, memasang tutup panci dan memundurkan kayu bakar dari lubang tungku.
“Masak apa itu?” Tanya Kecepeh setelah duduk di berugak.
“Nasi,” Jawab Kirsip. Ia bangkit pelan-pelan, bertumpu pada lututnya. “Arooh! Sakit!” Teriaknya. Setiap kali harus berdiri setelah duduk cukup lama ia akan merasakan sakit di pinggang dan lututnya, rasanya seperti dihantam sepotong besi. Sambil menekan pinggang, ia berjalan ke berugak.
“Mana Sumir?” Tanya Kecepeh.
“Dia ke sungai tadi.” Kirsip melihat ke arah tungku, kemudian mengalihkan pandangan ke jebak. Anjing miliknya tengah meringkuk di dekat pohon jarak. Seolah menyadari tengah diawasi anjing itu tiba-tiba mengangkat kepala, memandang Kirsip sebentar dan menjatuhkan kepalanya ke tanah. Kirsip kembali memandang tungku memastikan api tidak membesar dan menggosongkan nasinya.
“Sudah lama dia pergi?” Tanya Kecepeh.
Kirsip tidak menjawab. Kata-kata itu terdengar lain sekali di telinganya. Ia tiba-tiba teringat kata-kata yang disampaikan pedagang radio beberapa hari sebelumnya. Tanpa benar-benar tahu sebabnya, kata-kata laki-laki itu terngiang dengan sangat jelas. Kata-kata yang mulanya ia anggap guyonan saja dan tidak begitu ia perhatikan.
Melihat cara Kecepeh mengedarkan pandangan ke sekeliling, kedua kakinya diayunkan maju mundur, lalu sekali lagi menanyakan keberadaan Sumir, kecurigaan Kirsip semakin membesar dan ia mulai mengingat-ingat kedatangan Kecepeh sebelum-sebelumnya.
Kecepeh sangat sering datang ke rumahnya, membawa aneka rupa barang yang hanya bisa didapatkan di desa. Bawaan yang kemudian dikeluarkan satu per satu disertai ucapan basa-basi yang selalu serupa. Kali ini Kecepeh bahkan tidak menunggu lama untuk menunjukkan bawaannya. “Dagang ndak ada, saya cuma bawa ini,” Ujarnya sambil menepuk pelan tepian bakul dan kemudian mulai mengeluarkan isinya. Pertama-tama ikan asin yang dibungkus dengan plastik putih dan siripnya menembus salah satu sisi plastik. “Ikan asin enak ini, saya beli kemarin, untung saya beli.”
“Ini saya beli tadi di Naq Darni!” Kecepeh mengeluarkan sebungkus jajan bantal. “Enak bantal dia! Tapi mungkin orang-orang lagi ndak ada uang, bantalnya masih banyak tadi,” Ucapnya lagi.
Kirsip duduk dengan kedua kakinya terjuntai di tepian berugak. Kedua tangannya bersedekap dan ia diam-diam mengawasi gelagat tamunya. Kecepeh mengeluarkan seikat besar kangkung yang telah layu dan diletakkan begitu saja di lasah. Terakhir, sebungkus cabai dan bawang putih. Kecepeh mengangkat dan menjulurkan bungkusan itu seolah berusaha menebak berapa banyak isinya. “Bagus-bagus cabe ini!” Ujarnya. Anjing yang tadi meringkuk di jebak bangkit dan mendekat. Diam di halaman lalu menggoyang-goyangkan ekornya. Moncongnya terbuka dan lidahnya terjulur.
Samar-samar mereka mendengar suara keroncong sapi, teriakan-teriakan, lalu gonggongan anjing. Sesekali sampai di telinga mereka suara keras seperti ada pohon tumbang. Dari arah kebun kopi dekat rumah Kirsip terdengar suara ayam berkokok berbalas-balasan dengan ayam lain dari tempat yang lebih jauh. Akhirnya suara yang terus-menerus mereka dengar adalah suara sesuatu dipukul, pertanda ada orang menyadap nira.
“Bawa sapi Sumir?” Tanya Kecepeh lagi.
Sebelumnya Kirsip akan menjawab dengan ramah-tamah. Kecepeh adalah tetangganya sewaktu masih tinggal di desa. Kecepeh sering datang ke Lelenggo ketika musim kopi dan membawa aneka macam barang jualan. Mainan anak-anak, lauk pauk, dan jajanan-jajanan. kemudian Kecepeh rutin datang meski sedang tidak musim apa pun dan meminta dicarikan aneka macam hasil kebun: laos, kunyit, kemiri, dan paling sering biji kopi.
Memutus renungan Kirsip, Kecepeh menyampaikan maksud kedatangannya. Anehnya, baru kali ini Kirsip merasa perempuan itu tidak benar-benar ingin mendapatkan apa yang ia cari.
“Saya mau cari anuk, mmm apa namanya itu, pisang. Ada pisang orang yang sudah bisa dipetik sekarang?”
Kirsip tidak menjawab. Ia memandang ke kejauhan, tempat seekor ayam tengah mencocok-cocok tanah. Matahari membuat bulu-bulu ayam itu berkilauan. Saat mendengar pekik elang di atasnya, ayam itu langsung diam dan bulu-bulunya meremang. Ayam itu menelengkan kepala, berusaha melihat sumber bahaya.
“Ah? Ada ndak?” Desak Kecepeh lagi. “Itu, Naq Sodoq, dia mau sunat anaknya. Ndak tahu mau kasih apa.”
“Ndak tahu. Ada atau ndak, ya.” Kirsip menjawab ogah-ogahan.
“Coba carikan saya sekali. Saya ndak tahu mau cari ke mana lagi.”
“Epe coba ke Maq Mirni.” Kirsip memberi solusi. Ia membuang muka. Baru pertama kali ia menolak.
Kecepeh mendengus kemudian bertanya, “Maq Mirni yang di selatan sini itu?”
“Ya,” Jawab Kirsip singkat. Ia ragu tamunya tidak mengetahui nama-nama warga, padahal Kecepeh sangat sering datang berdagang.
“Malu. Saya ndak kenal dekat. Coba epe sekali, minta tolong.”
“Sakit pinggang saya ini, ndak sembuh-sembuh,” Jawab Kirsip. Salah satu tangannya langsung menyentuh pinggangnya dan wajahnya menampakkan muka kesakitan. Ia meringis. Memperlihatkan barisan giginya dan kerut-kerut di sekitar matanya.
“Saya mau ndak bawa apa-apa ndak enak. Tetangga dekat. Kalau saya ada apa-apa dia saja yang datang bantu. Pas saya sakit, sampai nginep dia di rumah. Itu makanya ndak enak saya. Bilang dah tempil setandan dua tandan. Nanti kita kasih uang kalau sudah pasti ada pisang.”
Kecepeh bicara dengan cepat seolah takut kata-kata itu keburu lenyap dari kepalanya. Elang memekik lebih keras dibanding sebelumnya, seperti sangat dekat dari atap berugak tempat mereka duduk. Dua ekor ayam yang baru saja kembali dari mencari makan di kebun cepat bersembunyi di dekat dinding rumah Kirsip. Ayam-ayam itu menelengkan kepala, berusaha melihat langit dengan awas.
Seekor lalat terbang di depan wajah Kirsip dan berusaha hinggap di matanya. Ia menepis dengan penuh geram dan ketika menengok ke sebelah kirinya ia melihat tumpukan bawaan Kecepeh. Beberapa ekor lalat telah hinggap dan merayapi sirip ikan asin yang menyembul. Mereka seperti berusaha menyeret ikan asin itu keluar. Ia melihat sebungkus cabai dan bawang putih. Ia melihat kangkung yang ujung-ujungnya terkulai.
Melihat Kirsip memandang bawaannya, Kecepeh berkata lagi, “Kangkung enak ini, dari Pekatan,” Katanya.
“Saya coba ke sana, mudah-mudahan ada,” Kata Kirsip kemudian dan turun pelan-pelan menuju tungku. Asap meliuk-liuk tipis dari ujung kayu bakar. Tutup panci sedikit terbuka dan ia mengambil anak cobek lalu meletakkan di atas panci.
“Liat-liatin nasi ini!” Katanya sebelum pergi. Ia keluar jebak sebelah selatan dan berjalan menempuh jalan setapak, tidak tahu persis hendak ke mana. Ia berpikir ke Maq Mirni, warga yang punya banyak pisang. Ia berjalan lagi dan berhenti di dekat pohon dadap besar. Ia mendengar suara keroncong sapi. Ia masuk sedikit ke kebun kopi dan terlihat seekor sapi mengangkat kepala dan melihat ke arahnya. Sapi itu melenguh ramah ketika melihatnya. Di kejauhan terdengar teriakan-teriakan dan ia merasa kenal suara itu, seperti suara suaminya. Dia di sungai, katanya kepada dirinya sendiri.
Ia meneruskan berjalan sampai di tanah yang cukup datar dan semak-semak bergerombol setinggi badan orang dewasa. Di satu sisi menumpuk batu bata yang telah berlumut. Seekor anjing di dekat tumpukan batu bata itu tengah mengangkat satu kakinya dan menyirami batang pisang dengan kencingnya. Dulu di tempat itu, tinggal sepasang suami istri. Kirsip mengetahui tentang mereka dari para warga. Sang suami tersebut terkenal begitu rajin bekerja dan membuat istri laki-laki paling ganas di Lelenggo menyukainya. Suatu malam laki-laki ganas itu menyerang mereka. Sepasang suami istri itu pergi dari Lelenggo dan beberapa hari kemudian sang suami kembali hanya untuk menghancurkan rumah yang belum begitu lama mereka dirikan.
Kirsip mengingat kisah keluarga itu dan rasa takut menjalar di dalam dirinya. Ia mempercepat langkah. Mendekati rumah Maq Mirni, ia mendengar suara orang tertawa terbahak-bahak dan kemudian senyap. Ia sempat berhenti dan muncul keinginan dalam dirinya untuk pulang saja. Namun, seekor anjing telah menyadari kehadirannya dan menyalakinya. Naq Mirni langsung berteriak menenangkan anjing milik mereka. Kirsip mendekat dan berdiri di halaman. Di berugak, suami istri itu tengah menghadapi dua kopek tuak, sepiring ikan, dan sepiring gayas goreng.
“Cari apa Kirsip?” Tanya Maq Mirni.
Kirsip duduk. Bau tuak dan amis ikan menusuk hidungnya. Anjing itu masih menyalak di halaman. Maq Mirni berteriak mengancam dan mengutuk anjing peliharaannya cepat mati. Mulut laki-laki itu penuh gayas, karena itu suaranya terdengar tidak begitu jelas.
“Cari apa Kirsip?” Tanya Maq Mirni lagi.
“Ini, mau carikan Kecepeh pisang. Mau kasih orang. Ada pisang epe?”
Suami istri itu saling berpandangan, berusaha mengingat-ingat pisang milik mereka yang telah bisa dipetik.
“Yang dekat sungai itu,” Kata Maq Mirni.
“Ndak ada. Sudah kita petik kemarin,” Jawab Naq Mirni.
“Oh ya, habis berarti. Yang dekat dadap itu masih muda.”
Kirsip diam. Ia hanya mengayun-ayunkan kaki dan melihat anjing yang kembali tenang dan meringkuk di halaman. Anjing itu menjilat-jilat kaki depannya. Seekor kadal melintas di dekatnya dan ia langsung bangkit, menggonggong lagi seolah marah karena kadal itu telah memasuki rumah tuannya. Kadal itu bergegas ke kebun dekat rumah, menimbulkan suara menggerisik.
“Seminggu lagi kayaknya baru ada.”
Kirsip mengangguk dan setelah berbasa-basi ia langsung pergi. Ia berniat untuk ke rumah warga lain tetapi mendadak ia ingin pulang. Ia merasa tidak perlu bersusah-susah. Gurauan pedagang radio kembali terlintas di telinganya. Ia merasa sangat bodoh karena mau diminta pergi. Ia mengumpat karena tidak bersembunyi saja dan melihat apa yang dilakukan Kecepeh di rumahnya.
“Kapan itu saya lihat dua anjing mengkoje di kebun kopi dekat sungai itu,” Ucap pedagang radio. “Ganas sekali dua-duanya,” Lanjutnya, terkekeh-kekeh. Waktu itu Kirsip langsung teringat nasihat lama yang selalu diucapkan oleh orangtuanya dan dengan semangat ia menyampaikan lagi kepada pedagang radio. “Ndak boleh diketawain kalau lihat anjing bersetubuh gitu, borok mulut kita nanti,” ujarnya. Namun pedagang radio justru tertawa. “Bukan anjing biasa ini, anjing kaki dua!” Laki-laki itu lalu menggosok-gosokkan kedua tangannya, seperti berusaha menyampaikan hal yang jauh lebih banyak daripada yang ia bicarakan.
Bukan hanya kata-kata pedagang radio, Kirsip juga ingat mimpi buruk yang kerap memutus tidur nyenyaknya. Mimpi-mimpi buruk, kata-kata pedagang radio, dan gelagat Kecepeh yang tadi ia saksikan, menyatu dan menguasai kepalanya. Ia berjalan cepat. Suara-suara dari rumah Maq Mirni dengan segera lenyap. Seekor anjing di bekas rumah itu telah hilang. Di dekat rumpun pisang yang telah dikencingi hanya ada kupu-kupu kuning terbang turun naik seolah hendak membuat jejak di udara. Ia berjalan lagi dan suara-suara di kejauhan ia abaikan. Ia mengabaikan juga suara keroncong sapinya dan ingin sekali sampai rumah.
Ia tergesa-gesa masuk jebak, keringat memenuhi wajah dan lehernya. “Ndak ada pisang!” Katanya setengah berteriak, tetapi Kecepeh tidak ada di berugak. Ia memanggil dua kali, tidak ada yang menyahut. Ia melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa, bahkan anjing miliknya tidak terlihat. Menduga Kecepeh ada di dalam dapur, ia langsung ke sana. Namun pemandangan lain tersaji di depannya. Seekor anjing berbulu jarang dan kotor tengah meletakkan kedua kaki depannya di batu tungku. Anak cobek dan tutup panci telah tergeletak di tanah.*
26 Maret 2020