Membaca Buku Harian Ibu Sesaat Sebelum Akad Nikah Berlangsung

4 min read

Membaca Buku Harian Ibu Sesaat Sebelum Akad Nikah Berlangsung - Kolonian

Minggu, 12 Agustus 20XX

Nurani hari ini berulang tahun. Semua sanak saudara hadir, mulai dari yang kehadirannya memang diharapkan hingga yang tidak diduga-duga. Atasan Hari hadir. Asisten Hari hadir. Singkatnya, seluruh rekan kerja Hari menghadiri acara ulang tahun ini. Aku jadi kehilangan tujuan, untuk apa dan siapa sebenarnya acara ini dilangsungkan.

Kuamati Nurani, agaknya ia tidak terganggu dengan sejumlah wajah yang pasti asing baginya. Jumlah teman-temannya memang tidak seberapa bahkan jika bisa dikompetisikan, teman-teman Hari parkir di tiap sudut arena perayaan. Sementara teman-teman Nurani hanya mengelilinginya seolah menjadikannya bintang, karena memang begitulah semestinya memperlakukan orang yang tengah berulang tahun. 

Bicara baik-baik dengan Hari tidak berlaku lagi. Pun berbicara keras-keras. Aku memilih tidak lagi berbicara dengannya atau mencoba untuk seminimal mungkin membentuk percakapan dengannya. 

Oke, sudah dulu, Nurani memanggil.

T

Selasa, 14 Agustus 19XX

Lelaki asing ini mengucap salam, tiba-tiba masuk ke rumahku. Aku tanya ibuku, siapa lelaki itu dan apa keperluannya? Ibu bilang, baru saja ia hendak menanyakannya padaku.

Bapak tampak akrab mempersilakan lelaki itu dan rombongan keluarganya memenuhi ruang tamu. Senyumnya mentereng, menyinari ruang tamu yang kebetulan pencahayaannya sudah mulai redup. Tampak beberapa anak kecil berdesakan dan minta saudaranya bergeser sedikit, karena pantatnya tidak kebagian kursi. Saudaranya tetap tidak acuh.

Ia langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Satu bulan ke depan, hari pernikahan kami akan dilangsungkan. Bapak menyambutnya dengan antusias, sementara tampang Ibu tak ada bedanya denganku—waswas. Bagaimana bisa, aku sebagai subjek pernikahan, tidak tahu-menahu siapa yang akan menjadi mempelaiku? Bagaimana bisa seseorang yang bahkan namanya belum kudengar hingga detik ini, langsung diputuskan menjadi calon suamiku tanpa persetujuanku?

Zaman semakin gila. Aku tidak punya bayangan akan seperti apa masa depan nanti.

T

Jumat, 17 Agustus 20XX

Hari ini, aku menemui teman-teman lamaku. Mereka turut mengucapkan selamat atas bertambahnya umur Nurani yang kian beranjak besar. Sebenarnya, umur segitu belum bisa dibilang besar. Tapi ada betulnya juga, Nurani memang kian beranjak besar. Kenyataan ini agak menakutkan baginya. Sejujurnya, juga menakutkan buatku. Bahkan doanya sebelum meniup lilin adalah agar Tuhan mengurangi umurnya menjadi empat lagi. 

Sebelum kau membatin; tidak, teman-temanku bukannya telat mengucapkan. Aku memang tidak mengundang mereka ke acara ulang tahun Nurani. Karena yang berulang tahun adalah Nurani, bukan aku. 

Beberapa temanku menitipkan kotak dan tas tenteng berisi kado untuk dititipkan kepada Nurani. Saat di rumah, Nurani yang baru pulang sekolah melihat tumpukan kado memenuhi ruang tamu, ia nyengir lebar-lebar—cengiran yang seratus persen selalu berhasil merontokkan rasa kesal dan lelah. Ia rela menunda udang asam manis kesukaannya untuk membuka bungkusan kado itu satu per satu. Sampai Hari pulang, Nurani masih sibuk dengan barang-barang baru miliknya. Hari mengusap kepala Nurani dan langsung duduk di meja makan. Ia bertanya padaku saat aku menuangkan air di mugnya, dari siapa barang-barang itu. Kubilang dari teman-temanku. Hari mencibir. Tidak ada yang boleh memanjakan Nurani selain diriku, balasnya. Oh, pantas saja teman-temannya yang datang kemarin tidak membawa apa pun untuk Nurani. Kedatangan mereka hanya berbekal tentengan doa. Semoga menjadi anak salihah. Berbakti kepada kedua orangtua dan orang sekitar. Bisa menjadi kebanggaan orangtua dan bangsat bangsa. Orangtua, bangsa, orangtua, bangsa. Untuk Nuraninya sendiri mana?

Bukan berarti doa kuanggap tidak penting. Aku ingin bercerita lebih banyak, tapi baru saja kudengar Hari memaki-maki Nurani, karena salah satu bongkahan mainannya terinjak oleh Hari.

T

Senin, 20 Agustus 19XX

Hari terakhir perkuliahan diwarnai dengan duka. Teman-teman memelukku, menghiburku dengan kata-kata cacat logika. Mungkin setelah menikah, aku bisa melanjutkan apa yang kucita-citakan. Kubalas dengan senyuman setengah hati. Aku menghargai penghiburan yang mereka berikan. Nyatanya setelah kau jatuh ke liang pernikahan, kau tidak bisa lagi ke mana-mana. Lihat saja nasib ibuku.

Ulang tahun ke tiga belasnya dihadiahi pernikahan yang tidak pernah dimintanya. Kakek dan nenekku bilang, itu kado terbaik yang bisa diberikan orangtua untuk anaknya. Agaknya fakta bahwa calon laki buat anaknya sudah berkepala empat dan beristri empat tidak mengusik mereka. Meski setiap istrinya diberikan masing-masing satu rumah untuk mereka dan Bapak bisa seenak jidat bermalam di rumah istri tergantung mood-nya, aku rasa mereka semua berhak mengunci pintu rumahnya kalau mereka sendiri juga sedang tidak mood dengan kehadiran Bapak. 

Serius, mengenyam pendidikan selama tujuh semester bukan barang sebentar, apalagi ketika harus terhenti di tengah jalan dengan keputusan yang datang bukan dari jalan pikiran sendiri. Bukan hanya membuang waktu, tapi juga membuang duit, tenaga, serta menguras kondisi mentalku. Kenapa mesti aku yang mengorbankan pendidikanku hanya untuk menikah dengan lelaki yang bahkan jempol kakinya tidak pernah kulihat? 

Bapak agaknya tidak merasa demikian. Ia tidak merasa uangnya sia-sia. Ia bilang, menikah juga merupakan kewajibanku sebagai perempuan. Perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, takut nanti laki-laki pada minder, dan hal itu tentu berbahaya, demikian kata bapakku. karena kuantitas perempuan tidak laku akan semakin meningkat kemudian dapat menyebabkan punahnya umat manusia. Lah, untuk apa kemarin-kemarin aku disekolahkan berbagai jenjang kalau ujung-ujungnya ilmu ini tidak bakal kupakai dan kuterapkan? Bapak bilang, ilmuku untuk anak-anakku kelak. Ibu berotak encer itu perlu, untuk mengajarkan anak-anaknya. Lalu, kapan ilmuku dapat kupergunakan untuk dan demi diriku sendiri? 

Mungkin kau akan menganggap aku calon ibu egois yang tidak memikirkan anak-anaknya kelak. Namun bisakah kita mewajarkan untuk memperhatikan nasib orang yang bersangkutan terlebih dahulu yang notabenenya bagi orangtuaku ialah anaknya sendiri, sebelum memikirkan orang yang bahkan belum tampak wujud manusianya? 

Peduli setan soal kelangkaan manusia. Ketimbang kejadian ini hanya akan berpindah tangan ke tiap manusia, lebih baik kita menjadi punah seutuhnya.

T

Jumat, 4 November 19XX

Enak betul, si Hari punya istri. Semuanya dilayani. Mulai dari baju kerja, piyama, hingga pakaian dalam, semua ada yang mencucikan. Enak betul si Hari, setiap pulang punya seribu tebasan alasan untuk menolak dimintai tolong bininya. Oke, selepas pulang kerja memang selalu melelahkan, aku mengerti. Tapi saat hari libur pun ia tetap saja tak pernah meluangkan waktu untuk membantu berbenah. Jangankan berbenah, memintanya menaruh handuk di tempat jemuran saja tidak pernah dilakukan. Handuk itu masih saja tertinggal di kasur dan ia langsung sibuk dengan ponselnya di ruang TV.

Hari bilang, setiap orang sudah punya tugasnya masing-masing. Laki-laki bekerja. Perempuan justru enak, di rumah saja. Apa ia pikir kegiatan rumah tangga itu bukan kerja? Siapa yang menentukan jobdesc semacam itu sebenarnya? Mengapa aku tidak pernah diikutsertakan dan langsung mutlak diberikan begitu saja tanpa punya kehendak untuk menyanggah atau menerimanya?

Rentetan pertanyaan yang kumuntahkan di sini akan kutemukan solusinya.

T

Sabtu, 18 Agustus 20XX

Sekarang pukul dua pagi. Aku tidak bisa tidur dan tanganku gatal ingin menumpahkan kekesalanku di sini. Aku ingin melanjutkan cerita kemarin yang belum usai kubeberkan di sini.

Doa jelas pemberian terbaik yang bisa diberikan orang tanpa diminta. Doa justru imbalan yang bernilai mahal, apalagi didapatkan dari orang yang tidak begitu kita kenal. Tapi, doa yang bagaimana dulu? 

Aku tidak berharap anakku “berguna bagi bangsa dan negara” atau “menyenangkan dan membahagiakan orangtua” buat apa mereka membebani anak lima tahun dengan kewajiban seberat itu? Aku, ibu kandungnya sendiri tidak pernah memberatkan segelintir tanggung jawab itu padanya. Ia mesti memikirkan dirinya sendiri, baru kemudian memikirkan orang lain. Aku tidak mengajarkannya untuk menjadi orang egois, tidak berperikemanusiaan, apalagi tidak berempati. Tapi aku harap apa pun yang dilakukan Nurani bukan atas dasar tuntutan orang lain terhadapnya. Aku ingin Nurani melakukan sesuatu karena itu baik baginya, baik menurutnya. 

Persetan dengan sebutan anak pembangkang! Persetan dengan kehendakmu yang tidak diizinkan. Ini hidupmu, dan kamu sendiri yang menentukan linimasa hidupmu. 

Sudah dulu, ya, barusan tercium aroma kayu dibakar dari halaman belakang. Agaknya lembaran kertas yang diterbitkan pengadilan agama dibakar Hari lagi, untuk yang kedua kali.

T

One Reply to “Membaca Buku Harian Ibu Sesaat Sebelum Akad Nikah Berlangsung”

  1. Dari tulisan cerpennya, anda seperti telah menjabat sebagai seorang sastrawan dalam negeri dongeng sendiri. Saya cukup pamrih setelah beberapa menit menikmati suguhan cerita pendekmu. Asiiik benar alur ceritanya, pribumi sekali plotnya dan klimaks akhir dari ceritanya bikin hati bergetar syahdu. Keren mbakyu….🙂

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.