Penulis dan Bahasanya: Permainan dengan Sejumlah Ketegangan

6 min read

SAYA menulis. Bagi saya menulis adalah menggunakan bahasa dengan intensitas yang berlebih. Apalagi menulis puisi, bukan sekadar memanfaatkan bahasa, tapi dengan puisi penyair punya kesempatan untuk menggali potensi lain dari bahasa, membuka jalan ke masa depan bahasa.

Kesadaran tentang hal itu tentu saja tak tumbuh dalam diri saya ketika pertama kali mulai sadar bahwa saya menulis. Juga tak tumbuh dan tak akan berkembang jika saya tak menulis. Kesadaran itu mempengaruhi bahasa, cara menulis, dan tulisan saya.

Kesadaran itu saya sebut sebagai ketegangan berbahasa. Kesadaran itu berjalan, berkembang, berpindah, dari ketegangan ke ketegangan lain. Ketika menulis saya melawannya, mengikutinya, memperparah, atau mengabaikan saja, menganggapnya tak ada. Ketegangan itu hadir dari hal-hal yang bertentangan, berlawanan, dan berseberangan.

Bahasa Manusia dengan Bahasa Tuhan; Saya menyadari bahwa saya bekerja dengan bahasa yang tidak cukup. Tidak dengan bahasa yang sempurna. Tidak pernah ada bahasa yang sempurna karena bahasa adalah ikhtiar yang sepenuhnya lahir dari kebutuhan dan kecerdasan manusia. Tuhan tak campur tangan dalam perkembangan bahasa-bahasa manusia, karena Tuhan tak perlu bahasa, seperti bahasa manusia, yaitu bahasa melayani kebutuhan bertukar makna dan pesan. Tuhan telah tahu isi pikiran bahkan perasaan manusia tanpa bahasa. Atau dengan Bahasa-Nya, dan dengan cara-Nya, yang berbeda dengan cara dan bahasa manusia. Kesadaran ini membuat saya tidak menyakralkan bahasa. Bahasa itu fana, bahasa itu duniawiyah, derajat semua bahasa sama saja.

Bahasa daerah dengan bahasa nasional; Kesadaran saya tentang kerumitan bahasa terjadi ketika saya mulai sadar kenapa ada bahasa yang berbeda untuk keperluan yang berbeda. Saya lahir dan besar di kampung dengan orang-orang yang berbeda suku (Banjar, Bugis, Buton), berkomunikasi dengan bahasa Banjar, bahasa ibu saya, bahasa mayoritas orang-orang di kampung saya di pesisir Kalimantan Timur. Sementara itu ada bahasa lain yang dipakai di sekolah untuk mengantarkan pelajaran, di mimbar masjid saat khatib sampaikan khotbah. Seandainya di sekolah dan di masjid itu pelajaran dan khutbah disampaikan dalam bahasa banjar kami semua dapat mengerti dengan mudah.

Kata yang padan dengan kata yang tak sepadan; Saya merasakan bagaimana kemampuan bahasa saya berkembang, terutama Bahasa Indonesia, bahasa kedua saya itu. Dulu nenek saya menyebutnya bahasa Melayu, sekolah dasar pun dia sebut sebagai sekolah Melayu. Sebutan itu tak lagi dipakai oleh generasi ibu saya, juga generasi saya. Saya menyadari ada kata dalam bahasa yang berubah, menjadi tidak relevan, menjadi mati, kemudian berganti untuk menjelaskan satu hal yang sama. Saya suka mencocok-cocokkan kata-kata dalam bahasa Banjar dan padanannya dalam Bahasa Indonesia. Saya menemukan ada kata di masing-masing bahasa yang tak ada padanannya di kedua Bahasa.

Yang baru dengan yang tak dimengerti; Sebaliknya saya suka menemukan kata-kata baru dalam Bahasa Indonesia, dari bacaan-bacaan saya. Saya juga menemukan banyak kata-kata yang tak saya pahami. Saya sangat gemar membaca. Seingat saya, saya sudah bisa membaca sebelum saya masuk sekolah dasar. Di kampung saya waktu itu tak ada sekolah TK. Selain bacaan wajib, buku paket, saya membaca sebanyak-banyaknya buku bacaan dari proyek pengadaan buku inpres (instruksi presiden) di sekolah. Saya juga membaca majalah remaja yang dibawa ke kampung oleh kakak sepupu saya yang sekolah di kota. Saya juga membaca komik silat, majalah penyuluh pertanian, dan majalah pengetahuan umum.

Bahasa bacaan dengan bahasa tulisan;
Ketika saya mulai menulis, saya tak pernah memilih, saya menulis dalam Bahasa Indonesia. Kenapa? Karena buku-buku dan bacaan yang saya baca semuanya berbahasa Indonesia. Saya menulis dengan kesadaran bahwa tulisan saya untuk dibaca orang lain. Karena itu saya tak pernah mempertanyakan kenapa saya percaya pada Bahasa Indonesia, karena saya yakin semua orang yang saya bayangkan akan membaca tulisan saya, membaca serta memahami tulisan berbahasa Indonesia.

Yang mungkin dan yang seharusnya;
Saya menulis puisi sejak SMP. Pada waktu SMA saya mulai berusaha memahami apa itu puisi, kenapa bahasa puisi berbeda dengan cerpen, atau tulisan lain. Kenapa dalam puisi penulis menggunakan bahasa dengan cara yang bisa berbeda. Saya belum tahu waktu itu konsep ketaklangsungan atau distancing dalam bahasa puisi. Tapi saya dengan naluri berbahasa seorang anak SMA meyakini begitulah harusnya puisi atau puisi seharusnya ditulis dengan cara itu dan bahasa memungkinkan saya melakukannya. Maka menulis puisi, pada waktu itu adalah mencari cara mengucapkan sesuatu dengan cara yang berbeda dengan cara bahasa yang saya gunakan dalam keseharian saya.

Yang praktis dan yang terpencil;
Pemahaman bahwa bahasa puisi itu berbeda dengan teks berwujud tulisan lain semakin saya pahami dan saya nikmati ketika saya mulai terlibat dalam kerja jurnalistik. Di SMA saya bekerja di koran lokal. Berita dan teks jurnalistik, menuntut keringkasan dan kejelasan. Fakta harus disampaikan dengan mudah dan lekas. Puisi tidak. Saya mulai menyadari bahwa puisi adalah upaya membawa bahasa ke keterpencilan, menjauh dari keramaian pemakai bahasa sehari-hari. Hanya orang yang mau dan sengaja memencilkan diri ke pojok bahasa itu yang menikmati bahasa puisi.

Yang gelap dan yang benderang;
Sementara itu kemudian saya juga menyadari puisi harus ditulis untuk membawa keterpencilan itu ke tengah orang banyak. Ini sebuah tarik-menarik ketegangan yang lain, dalam rumusan Goenawan Mohamad ini adalah permainan antara yang gelap dan terang benderang. Puisi adalah permainan di wilayah remang-remang, suatu titik dengan berbagai kemungkinan antara gelap dan benderang.

Yang layak dengan tak layak;
Dengan penghasilan dari kerja di koran saya bermewah-mewah dengan bacaan. Saya membeli buku dengan uang sendiri, langganan majalah HAI, Intisari, sesekali membeli Tempo, dan Jakarta-Jakarta. Di Majalah HAI ada rubrik puisi yang diasuh oleh Arswendo Atmowiloto. Ulasan-ulasannya atas puisi yang termuat memberi wawasan tambahan pada saya tentang puisi. Saya mencoba mengirim puisi ke HAI, tapi tak pernah dimuat. Saya menyadari ada suatu standar mutu tertentu kalau puisi saya hendak dimuat. Sejak itu saya menyadari puisi bisa dinilai, baik-buruknya, keunggulannya, keberbedaannya, dan banyak unsur puitika bisa dilihat dan dipakai untuk menilai puisi.

Yang pop dan yang konvensional;
Sementara minat saya pada puisi terus tumbuh, saya juga mulai membaca cerpen yang berbeda dengan cerpen-cerpen yang selama ini saya baca di majalah remaja. Selain HAI, tentu saja, sebelumnya saya membaca cerpen di Gadis, dan terutama Anita Cemerlang. Cerpen-cerpen dari buku cerpen Seno Gumira, Pamusuk Eneste, Iwan Simatupang, saya baca dengan pukau lain yang dipancarkan bahasa. Pancaran pesona bahasa yang lebih memikat daripada cerpen di majalah remaja itu, juga yang berbeda dengan bahasa puisi. Saat itu barangkali mulai masuk ke dalam diri saya kesadaran tentang sastra pop dan sastra mainstream, juga sastra avant garde, tanpa saya memahami benar apa beda antara ketiganya. Kesadaran bahwa Bahasa yang sama, Bahasa Indonesia itu,

Yang misterius dan yang bisa dipahami;
Pada saat SMA itu juga saya membaca buku Sapardi Djoko Damono “DukaMu Abadi”. Ini buku puisi pertama yang saya beli. Buku itu mengandung sihir bahasa yang lain. Tak ada kata yang tak saya pahami, semuanya kata yang biasa saja. Mungkin hanya dua kata yang bagi saya aneh, yaitu “lindap” dan “bersijingkat”. Saya membiarkan saja dua kata itu tak saya pahami benar, saya nikmati kerja menebak-nebak makna dua kata itu. Saya merasa paham puisi-puisi di buku itu tiap kali membacanya, tapi kemudian seperti ada makna lain, terus bermunculan makna-makna baru. Aneh.

Teknik dan ilham;
Saya membaca dan terpesona dengan buku “Mengarang Itu Gampang” karya Arswendo. Buku yang sampai saat ini masih saya baca. Ini buku yang mengajarkan bahwa dalam kerja mengarang, menggunakan bahasa dengan intens itu adalah urusan teknis. Yang bisa dan perlu dikuasai. Ada urusan kepengrajinan. Tak melulu ilham. Bahkan tak bisa hanya mengandalkan ilham atau inspirasi.

Penulis dan pembaca;
Jika kebutuhan seorang penulis adalah tulisannya dibaca orang lain, dinikmati, maka blog dengan lekas memenuhi kebutuhan saya saat itu. Di awal tahun 2000-an, tepatnya akhir 2002, saya mengelola sebuah blog, sampai saya tutup di akhir 2013. Semua masih bisa diakses, termasuk oleh saya. Saya datang ke blog saya itu sebagai pengunjung sebagai pembaca, diriku sendiri yang menjadi pembaca diriku. Menjadi pembaca tulisan saya sendiri menghasilkan ketegangan lain, yang kerap kali korektif, tapi pasti kreatif. Itulah gunanya meninjau ke masa lalu.

Personal dan publik;
Saat saya bekerja dengan bahasa dalam sebuah proses menulis kreatif (puisi, cerpen, novel, atau esai), maka saya mengingatkan diri untuk selalu sadar bahwa saya ada di wilayah personal. Ketika tulisan saya selesai, maka pilihannya banyak. Saya simpan saja, saya hapuskan, saya tampilkan di blog, kemudian juga di situs web, atau di media sosial. Atau saya hapus. Kalau tulisan saya dibukukan oleh penerbit, maka ada wilayah lain yang dimasuki oleh hasil kerja personal itu, wilayah publik, logika dagang, dan pertimbangan bisnis. Ada kontrak dan saya tak menolak untuk berkompromi, dalam batas tawar-menawar yang wajar.

Studio dan galeri;
Apabila saya putuskan itu untuk dipublikasikan, sebelum diterbitkan dalam bentuk buku, saya juga membangun kesadaran lain. Di mana pun tulisan itu terbit, di blog, web pribadi, atau medsos, saya menyebut itu sebagai studio bagi seorang pelukis. Studio adalah tempat saya bekerja, melakukan studi penulisan. Di situ saya bebas memajang karya yang belum selesai, rencana kerja saya, bahan-bahan percobaan. Saya ada di studio pribadi, bukan di galeri untuk berpameran. Di galeri (bisa berupa buku puisi, antologi, halaman sastra di majalah atau surat kabar), saya harus memilih karya mana yang layak dan pantas, yang istimewa untuk dipajang. Mungkin saya perlu bantuan kurator untuk itu.

Naluri dengan teori;
Saya menulis tidak dengan bekal teori. Saya memakai bahasa tanpa perlu memahami apa itu bahasa. Intensitas pemanfaatan bahasa karena pekerjaan menulislah yang membawa saya ke teori-teori linguistik dan ini lagi-lagi membawa ketegangan lain. Yang paling sering saya utak-atik adalah teori segitiga makna:

Gagasan (di kepala manusia di titip atas), simbol (kata) di titik kiri bawah, dan acuan (objek) di titik kanan bawah.

Menulis, terutama menulis puisi, bagi saya kadang saya lakukan mempermainkan segitiga makna ini, memindah-mindahkan posisi, mengganggu garis-garis yang menggabungkannya, mengubah bentuk segitiganya menjadi tak sama kaki, dll.

Konvensi dan inovasi;
Keasyikan bermain-main, juga dengan segitiga bahasa, melayani ketegangan berbahasa yang lain, yang ketegangan antara konvensi dan inovasi. Setiap puisi adalah hasil sebuah eksperimen berbahasa, sekecil apa pun kadar eksperimen itu. Puisi adalah hasil kerja berbahasa yang gelisah, antara konvensi yang ada atau yang mendahuluinya atau dia hadir sebagai inovasi yang bisa dan mencoba berbeda dengan apa yang sedang berlaku.

Internetisasi dan tulisan sebagai konten;
Disrupsi digital, gelombang lanjutan dari internetisasi, memosisikan tulisan sebagai konten, artinya dia berada dalam habitat yang sama dengan konten-konten berbentuk lain, gambar, video, suara, atau paduan semuanya. Tulisan seakan-akan kalah bersaing, padahal bisa juga tidak. Saya memilih untuk memadukannya. Nyatanya teks, tulisan, memang tak terpisahkan, saling membutuhkan. Film (audio visual) tak mungkin diproduksi tanpa skenario (tulisan). Puisi (tulisan) bisa diterjemahkan dalam gambar (visual), atau video (audio visual). Yang diperlukan adalah: kesediaan membuka diri, memasuki wilayah bahasa lain.

Mengikuti dan menahan;
Saya sedang menulis cerita bersambung di sebuah website berita. Judulnya “Siapa Membunuh Putri” (www.disway.id). Cerita tersebut benar-benar saya tulis tiap hari per bagian. Sambung-menyambung. Saya sedang menjajal tantangan lain. Ini bukan hal baru, karena pada hakikatnya cerbung memang ditulis bersambung, tiap hari. Saya hanya menulis kelanjutan cerita untuk hari ini, besok dipikirkan besok saja. Hanya ada premis besar dan tokoh-tokoh cerita. Cerbung bukan sebuah cerita yang sudah selesai lalu diterbitkan sepotong-sepotong. Saya pernah melakukan keduanya sebagai mana saya tahu banyak cerbung yang juga dikerjakan dengan cara itu. Saya menganggap ini eksperimen. Ada pembaca yang terbiasa buru-buru, pembaca berita di situsweb. Bisakah cerita saya, hasil kerja saya mengolah bahasa mengimbangi keterburu-buruan mereka? Atau maukah mereka mengikuti irama cerita saya yang tak selekas gerak mereka? Saya tak tahu, saat saya menulis ini cerbung saya itu belum selesai.

Memakai dan merenungkan;
Sesekali saya menulis pemikiran dan permenungan saya tentang bahasa. Saya menulis buku “Ke Jantung Bahasa ke Hati Puisi” sebagai tinjauan, catatan, pergulatan saya dengan bahasa, alat kerja saya itu. Saya merasa perlu melakukannya, karena hubungan saya dengan bahasa bisa dan perlu, dalam jangka waktu tertentu, didudukkan lagi, diselaraskan lagi. Saya perlu menengok ke belakang untuk mencari arah baru perjalanan saya dengan bahasa berikutnya.

Jakarta, 19 September 2022.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.