Tentang Pameran Teks Sastra

5 min read

Tentang Pameran Teks Sastra-Kolonian

Berangkat dari perbedaan keluwesan dalam memamerkan teks sastra dibanding memamerkan karya rupa, Kolonian menawarkan pada saya beberapa pertanyaan sekaligus pembacaan terkait dengan di mana seharusnya teks sastra lebih pas berakhir (di buku atau medium lain)? Apakah teks, jika teks sastra dialihwahanakan akan dipandang sebagai medium baru dalam memasarkan sastra? Apakah identitas pameran hanya milik disiplin seni lain selain sastra? Dan, apakah pameran teks dapat dikatakan sebuah proses publikasi karya bukan sebuah proses alih wahana? Beberapa pertanyaan dari Kolonian ini berangkat dari rencana untuk memamerkan karya tulis yang sejauh ini diterbitkan di website kolonian.is, termasuk ilustrasi, fotografi, atau seni digital lain yang merupakan pendamping atau pengiring terbitan karya tulis.

Catatan ini mungkin tidak akan dapat menjawab sepenuh pertanyaan yang diajukan oleh Kolonian. Namun, setidaknya catatan ini akan berupaya menengok kembali upaya-upaya penulis, seniman lintas disiplin, manajerial seni, bahkan penerbit buku untuk menghadirkan dan membawa karya tulis (sastra) ke dalam ruang pameran. Dalam artian, sebuah karya yang pada dasarnya ditujukan supaya dapat dinikmati secara intim di ruang personal, dibawa ke ruang publik untuk dimikmati secara berbeda. Sebuah karya yang pada awalnya hanya dapat dipercakapkan ‘dalam kepala’ pembaca—melalui medium buku, lembaran koran, laman website—dimaknai sejauh pengalaman dan pengetahuan personal pembaca, kemudian dihadirkan ke ruang publik dalam medium berbeda dan dapat direspons dan dipercakapkan langsung.

Saya menghadirkan terlebih dahulu sebuah ilustrasi untuk menjawab pertanyaan pertama, terkait di mana sebuah teks tertulis (mungkin karya sastra) lebih pas berakhir. Sebuah ilustrasi mengenai puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah, yang sebaris kalimat dalam puisi tersebut entah sudah berapa kali direproduksi oleh penulis untuk digunakan dalam teks lain, termasuk digunakan oleh seniman dari disiplin berbeda dengan pemaknaan yang mungkin masih terikat pada keseluruhan isi puisi, atau bahkan lepas secara keseluruhan. Semisal dalam beberapa artikel dapat kita baca “bertukar tangkap dengan lepas” digunakan sebebas-bebasnya untuk merepresentasikan berbagai pembacaan—bahkan terkadang diparafrasa. Atau kita bisa menengok kembali baris “bertukar tangkap dengan lepas” digunakan oleh Teater Garasi menjadi tajuk ulang tahun ke-20 kelompok teater tersebut (2014). Tajuk tersebut kemudian juga digunakan untuk judul buku berisi ulasan-ulasan mengenai proses perjalanan Teater Garasi selama dua dekade: Bertukar Tangkap dengan Lepas: Sesilangan dan Lintasan 20 Tahun Teater Garasi dalam Esai!

Penggunaan sebaris kalimat dari puisi Amir Hamzah tersebut mungkin akan terus berlangsung dan tak sudah-sudah direproduksi selagi teks tersebut teringat dan dirasa ‘mengena’ untuk dijadikan sumber penciptaan. Terbaru, mungkin kita dapat menonton sekaligus mendengar lagu berjudul “Padamu Jua” di laman Youtube yang dinyanyikan Eross Ode (dipublikasikan 10 Juli 2022). Dalam lagu yang disebut mengutip puisi Amir Hamzah tersebut bahkan tidak menggunakan dua bait terakhir dari tujuh bait yang terdapat dalam puisi. Dari ilustrasi puisi Padamu Jua tersebut, saya mengira bahwa teks tertulis mungkin tidak akan terbatas dan tidak dapat dibatas medium akhirnya. Ia bisa dihadirkan, dikutip, disulih, dan diberbagaimacamkan.

Dan apakah seketika tersebut bersalin rupa, beralih wahana, ia akan dipandang sebagai medium baru dalam memasarkan sastra? Belum tentu juga. Berangkat dari ilustrasi mengenai puisi Amir Hamzah di atas, bahwa upaya untuk menghadirkan karya tersebut tidak dalam rangka memperkenalkan Amir Hamzah dalam dunia kesusastraan, atau tidak dalam rangka memperkenalkan kembali puisi Padamu Jua pada pembaca. Proses penghadiran puisi tersebut ke dalam medium baru, baik mengutip atau memakai seutuhnya itu adalah respons dari kehendak orang-orang di luar distributor sastra (penerbit).

Proses penghadiran medium baru berangkat dari karya sastra dalam rangka memasarkan sastra tentu saja ada. Namun patut dicatat, sebagian dari proses ini, penghadiran teks turunan tidak sepenuhnya dalam rangka memasarkan teks utama. Kita dapat melihat bagaimana kolaborasi M. Aan Mansyur dengan ilustrator Muhammad Taufiq (Emte) dalam menghadirkan buku puisi Melihat Api Bekerja (Gramedia). Proses kolaborasi tersebut, meskipun pada dasarnya telah rampung dalam bentuk buku, kemudian menjadi  titik tolak untuk menghadirkan pameran di Edwin Gallery, Jakarta Selatan, 15-26 April 2015.

Baik proses penyatuan ilustrasi dalam buku, atau proses penghadiran ilustrasi dalam pameran adalah proses penyatuan dua tafsir berbeda dari sebuah gejala penghadiran puisi. Ilustrasi Emte berada pada lapis kedua proses tafisr tersebut, proses yang berlangsung setelah M. Aan Mansyur tuntas menuliskan puisi. Pameran pun menjadi sebuah ruang memungkinkan untuk mendorong ketertarikan orang-orang untuk melihat kembali puisi M. Aan Mansyur sebagai teks utama penghadiran ilustrasi Emte. Kemungkinan, pembacaan ini ditangkap oleh penerbit, dan pameran menjadi salah satu jalan lain untuk lebih memperkenalkan lagi puisi-puisi M. Aan Mansyur, khususnya buku Melihat Api Bekerja pada pembaca berbeda.

Sedikit berbeda dengan proses pameran Melihat Api Bekerja, proses penghadiran buku Manuskrip Sajak Sapardi Djoko Damono (Gramedia, 2017) terlebih dahulu melawati proses pameran. Kumpulan tulisan tangan penyair tersebut untuk kali pertama dipamerkan kepada publik di Rumata’ Artspace, Makassar, pada 16-23 Mei 2017, dan beberapa bulan sesudahnya digarap menjadi buku. Dalam penggarapan buku pun visualisasi mendominasi, dalam artian teks tulisan hanyalah timpalan kedua, setelah kekuatan visualisasi arsip dengan goresan pulpen di atas kertas buku bergaris. Visualisasi tersebut mungkin mendorong orang (pembaca) untuk melihat bagaimana rupa tulisan dan arsip puisi Sapardi Djoko Damono.

Dorongan untuk menghadirkan sastra ke dalam medium lain untuk memperkenalkan sastra ke khalayak lebih luas juga dapat dilihat melalui album Komposisi Delapan Cinta garapan Ubiet dan Dian HP. Dalam album ini terdapat delapan puisi, terdiri dari puisi Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge yang dilagukan. Bahkan pada saat album ini rilis, masing-masing lagu tersebut tersedia dalam bentuk nada sambung pribadi (NSP), dijual dalam bentuk compac disk, dan tersedia di beberapa kanal musik.

Pameran Teks dan Identitas Seni

Jika melihat beberapa ilustrasi mengenai reproduksi hingga pameran teks di atas mungkin kita dapat mengindikasikan bahwa upaya untuk menghadirkan teks-teks tulisan ke dalam ruang pameran sudah banyak dilakukan dengan berbagai model—salah satunya dengan menyandingkan tulisan dengan ilustrasi. Jauh sebelum ini, proses pembatasan kerja-kerja disiplin seni barangkali telah membatasi cara pandang banyak orang bahwa ruang pameran adalah milik disiplin seni rupa saja. Namun belakangan, kesadaran pentingnya proses kerja lintas disiplin telah membuat leluasa antar-pekerja seni, termasuk penulis dan institusi yang berhubungan dengan dunia tulisan untuk berani melakukan kerja-kerja kolaborasi dalam bentuk pameran.

Seajuh ini mungkin para penulis mengenal ruang pameran untuk sebuah tulisan atau buku secara utuh, barangkali adalah book fair. Atau ruang-ruang lain yang barangkali tanpa kita sadari sudah menjadi tempat pameran tulisan (atau buku) adalah toko buku. Di toko buku, misalnya berjejer sampul-sampul buku, terkadang mengikuti sinopsis dari buku, bahkan dihadirkan kutipan penting atau ‘mengena’ dari isi buku tersebut.

Konsep pameran memang terdapat keberbedaan dengan konsep penghadiran teks dalam sebuah buku atau medium tulisan lain. Jika dengan buku kita berhadapan dengan teks tertulis, pameran lebih mengedepankan visualisasi, mulai dari visualisasi dari teks buku (tipografi), ilustrasi, atau respons terhadap teks itu sendiri. Kita mungkin dapat melihat salah satu pameran yang terasa asing bagi kita di mana karya sastra menyatu dengan karya-karya seni lain dalam sebuah ruang pameran. Seperti pameran yang diselenggarakan oleh Christie’s London (6 Juni-14 Juli 2022), melalui tajuk pameran The Art of Literature, dengan menghadirkan lintasan karya sastra modern, manuskrip iluminasi abad pertengahan, puisi epik kuno, hingga lukisan kontemporer—saya melihat melalui virtual tur di Art of Literature. Pameran ini mengungkapkan bahwa sejarah seni dan sastra saling terikat kuat dan saling berjalin-berkelindan. Dalam pameran ini dieksplorasi dan ditawarkan sebuah wawasan menarik mengenai karya-karya seniman dan penulis-penulis mulai dari Marlene Dumas, William Shakespeare, Peter Paul Rubens, Lucian Freud, Joan Mitchell, James Joyce , Pablo Picasso, dan Peter Doig.

Christie’s mengungkapkan bahwa dari barang antik, lukisan Guru Tua hingga perhiasan dan seni kontemporer, karya-karya dalam pameran ini memperlihatkan dan menggarisbawahi keterkaitan antara pelukis dan penyair, pematung dan novelis, dramawan dan pengrajin yang telah ada selama ribuan tahun. Dan di pameran ini kita dapat melihat manuskrip fabel Aesop terpajang bersebelahan dengan lukisan Michaël Borremans, lukisan Marlene Dumas bersebelahan dengan karya patung Aguste Rodin, hingga terbitan buku puisi The Waste Land (Boni & Liveright, 1922) karya T.S. Eliot terpajang bersebelahan dengan lukisan seri Radical Writing: Poème quotidien karya Irma Blank dan fragmen papirus Mesir dari Book of The Dead. Dari pameran ini kita dapat melihat bahwa kelindan karya sastra dengan karya seni lain bahkan jauh lebih tua dari itu dan dimungkinkan untuk ditarik ke dalam sebuah pameran.

Pameran Teks dan Publikasi Karya

Beberapa contoh pameran terkait dengan tulisan, atau teks sastra khususnya, memungkinkan kita untuk tidak hanya melihat pameran tersebut sebagai sebuah medium untuk publikasi karya, bahkan bisa lebih jauh dari itu. Selama ini, mungkin kita kerap memandang pameran teks melulu berbentuk pameran arsip. Padahal pemaknaannya bisa jadi sudah berbeda. Salah satu contoh, pameran ilustrasi cerpen yang diselenggarakan oleh Kompas untuk merayakan terbitan buku cerpen pilihan Kompas—cerpen dan ilustrasi yang terbit setiap Minggu. Secara pameran tersebut, selain untuk mempromosikan buku cerpen yang akan dipasarkan juga untuk mengukuhkan konsistensi media tersebut (misalnya) dalam menyediakan ruang untuk sastra berdampingan dengan rupa—terdapat dua karya seni sekaligus direpresentasikan dalam pameran tersebut. Selain itu pameran-pameran arsip yang sejauh ini diselenggarakan sudah meluas ke dalam pewacanaan berbeda, tidak melulu arsip kertas berisi tulisan, atau berisi gambar. Melainkan melebar ke bentuk-bentuk yang lebih luas.

Untuk itulah, sebuah pameran teks, atau pameran penunjang teks tidak mesti dipahami sebagai sarana untuk mempromosikan sebuah karya tulis saja. Ia hanya representasi dari karya teks yang ditampilkan, sebab teks tersebut juga tidak mesti utuh dihadirkan di dalam pameran, bisa saja hanya bagian tertentu dari teks tersebut. Untuk puisi, mungkin bisa jadi menghadirkan keseluruhan larik-lariknya, tapi bagaimana dengan novel? Sebab pameran hanya ruang lain untuk merepresentasikan sebuah teks. Ruang yang semestinya memang tidak memberondong para pengunjung dengan limpahan teks seperti di dalam buku atau sebuah terbitan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.