Abdullah Mushabbir Mahasiswa antropologi UB, bercita-cita menuliskan buku etnografinya sendiri. Temui di Instagram @diniatkan_murojaah

Perpisahan Adalah Awal Mula: Ulasan Reflektif Novel Membunuh Commendatore

4 min read

Membunuh Commendatore terbit pada 2017, buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Gramedia setahun berikutnya. Menulis ulasan novel ini akan sangat terlambat, sebab sangat tidak menarik bagi para pecinta buku yang mencari rekomendasi novel-novel Asia. Untuk itu, tulisan ini tidak bertujuan untuk mengulas semua hal, melainkan hanya salah satu aspek saja dengan harapan satu aspek itu akan sangat penting untuk dikhidmati. Meskipun prolog novel ini langsung memberikan adegan pertemuan antara pelukis potret dan kliennya. Setiap cerita bermula dari bab pertama, sayangnya elemen penting dalam bab pertama itu malah yang sering terlupakan oleh banyak pembaca. Kisah pelukis potret tanpa nama itu tidak akan berjalan jika hanya dia seorang pelukis; aspek lain yang penting diperhatikan adalah titik di mana semua bermula.

Titik itu, bernama perceraian.


Perceraian dan Kenangan yang Menyertai

Secara sederhana, perceraian adalah salah satu bentuk perpisahan. Lema tersebut hanya berlaku untuk suami-istri yang sah diikat dalam hukum mau pun agama sehingga perpisahan antara pasangan dengan status pacaran tidak menggunakan lema perceraian. Tulisan ini berniat untuk mengeksplorasi bagaimana perpisahan membawa banyak orang menuju hal baru dan bagaimana kita bisa mengatasi kesedihan yang ditimbulkan olehnya. Contoh-contoh yang saya berikan tentu saja mengekor pada apa yang dilakukan oleh sang pelukis potret: pikiran-pikirannya, perilaku, tabiat, hingga bagaimana ia merespons tantangan-tantangan baru setelah ia berpisah dari sang istri.

Datang sebagai awan tenang, tawaran perceraian itu keluar dari mulut sang istri sendiri, tidak melalui perantara. Sang pelukis potret mendengarnya langsung di depan matanya, seolah-olah batu besar menggelinding dari atas bukit dan menimpa kepala. Hatinya memberontak tak percaya, namun ia masih bisa menahan diri untuk tidak meledak. Atas hal itu, responsnya berubah menjadi berkebalikan. Ia seolah-olah menjadi orang lain untuk sesaat.

Sang istri berniat pergi sendiri keluar dari rumah yang mereka tinggali bersama selama tujuh tahun, namun sang pelukis potret memaksa ia yang akan keluar untuk pergi secepatnya. Setelah bersiap-siap, ia membawa pula mobilnya dan berkendara hingga jauh. Sang pelukis menuju arah tak tentu. Seperti kita, tokoh utama linglung ketika berhadapan dengan perpisahan. Selayaknya manusia biasa, ia juga mencoba sibuk dengan dirinya sendiri selagi melupakan orang yang memilih pergi. Pertanyaan besar dan paling penting dalam kasus perpisahan (atau perceraian), mereka adalah bagaimana Yuzu, istri sang pelukis potret meminta suaminya untuk tetap berteman bahkan setelah ia sendiri yang mengajukan perceraian. Bagaimana bisa?

Sang pelukis potret kebingungan. Untuk apa? Benak Haruki mungkin juga tak menemukan jawaban. Ia hanya menyodorkan fenomena aneh yang jamak ditemukan dalam relasi antarmanusia. Fenomena itu mungkin terjadi pada dirinya, teman, atau keluarganya. Namun karena tetap aneh dan tak ditemukan jawabannya, ia memutuskan untuk tetap memberikannya pada pembaca alih-alih menemukan alasannya. Toh, Haruki adalah penulis. Ia bercerita. Ia tak harus menjawab semua kebingungan umat manusia. Posisinya sebagai penulis terkemuka tak serta-merta mampu menjawab setiap persoalan dalam karyanya. Mau sejauh apa pun manusia berlari dari nasib buruknya, ia musti menghadapinya juga. Dalam hal ini tokoh utama kita menjalankan nasibnya. Melakukan segala hal yang diinginkan dan mencoba untuk tak peduli pada masa lalu bukan berarti ia tak mengingatnya. Sampai saat ini, belum ada sains yang mampu menjawab keinginan manusia untuk menghapus ingatan atau kenangan-kenangan buruk yang bersemayam di kepala.

Oleh karena itulah sang pelukis mulai mengingat sang adik dalam kesendiriannya hidup di lembah bukit. Adik yang meninggal di usia ke dua belas. Adik yang selisih umurnya serupa dengan selisih umurnya dengan sang istri, sama-sama tiga tahun. Sang pelukis mau tak mau mengakui bahwa ada sedikit kemiripan antara keduanya, dan bisa jadi ada sedikit bagian dalam hatinya yang memilih Yuzu sebagai istri karena mirip dengan sang adik. Adik yang dadanya belum benar-benar tumbuh karena meninggal di usia yang sangat muda.

Mengingat sang adik yang telah lama tak ditemui, ia juga mengingat Yuzu, sang istri. Mengingat pengorbanan mereka meraih restu orangtua agar bisa menikah karena semua keluarga Yuzu dapat meraih kesuksesan dengan bekerja di bank. Lalu apa yang diharapkannya dari profesi melukis? Apakah kemampuannya dapat menghasilkan uang? Apakah profesinya bisa menjamin kehidupan pernikahan mereka? Hingga detik terakhir sang mertua juga tidak memberikan restu dan mereka saat itu pulang dengan rasa hampa. Namun hal itu tidak menyurutkan niat. Hanya saja, rasanya mertua sang pelukis akan sangat bahagia mendengar pernikahan yang tak direstuinya berakhir bubar.

Kenangan-kenangan semacam itu tak bisa dihindari, sekencang apa,pun manusia berlari darinya. Otak kita masih bisa mengasosiasikan berbagai penglihatan kepada ingatan. Sang pelukis mencontohkannya dengan baik: dada rata dengan sang adik, selisih umur dengan mantan istri, hingga perjuangannya menjadi pelukis potret yang tidak dianggap bonafide di hadapan masyarakat umum. Untuk sesaat, perpisahan bisa menghadirkan kebingungan namun selagi kita memilih langkah menuju arah sebaliknya, masih ada kenangan-kenangan seram yang menghantui. Dan sebagaimana sang pelukis potret mencontohkannya, kita memang sebaiknya menikmati saja kenangan-kenangan itu, tak perlu menolaknya.

Menangisinya juga bisa.


Kemungkinan-Kemungkinan Baru

Tak hanya menangisi atau meratapi nasib buruk yang menimpa. Perpisahan juga membawa sang pelukis potret pada kemungkinan-kemungkinan baru setelah meninggalkan rumah dan kenangannya. Tentunya ia akan bertemu dengan orang-orang baru, namun untuk pertama kali ia menghubungi kembali teman seangkatannya ketika kuliah seni rupa, Masahiko Amada. Kepada lelaki itu ia bertanya apakah bisa menyediakan sebuah tempat tinggal setelah ia luntang-lantung tak karuan di jalanan. Untungnya, Masahiko punya rumah tua bekas ayahnya—yang juga pelukis terkenal—dan tak ditinggali. Daripada tak terawat, alangkah baiknya jika sang pelukis potret bisa tinggal di sana.

Hidup sendiri sebagai seorang pelukis membuat Masahiko menawarkan sang tokoh utama untuk mengisi kursus melukis untuk anak-anak dan orang tua di balai kota. Hal itu dilakukan karena si pelukis potret bersikeras membayar biaya bulanan, padahal ia sendiri berhenti menerima permintaan melukis. Dari sana, ia kemudian berkencan dan kembali aktif berhubungan seksual dengan dua muridnya. Keduanya adalah istri orang dan sebenarnya kisah-kisah perselingkuhan tersembunyi seperti itu sudah menjadi ciri khas Haruki Murakami. Selain itu, ia juga berkenalan dengan Wataru Menshiki dengan segala keanehannya, begitu pula sosok ‘Idea’ yang muncul setelah mereka bekerja sama membongkar kuburan tua. Relasi-relasi baru yang terjalin dengan tokoh utama seharusnya membuat kita sadar bahwa perpisahan bukan akhir segalanya. Kiamat tak terjadi begitu saja setelah tawaran perceraian diajukan atau kita berpaling meninggalkan masa lalu. Masih ada orang-orang yang bisa kita temui setelah itu dan menjalani petualangan baru.

Dalam kasus si pelukis potret, petualangan baru yang dialaminya adalah sebuah perkembangan estetik. Ia tidak pernah membayangkan akan menerima penghidupan dari jenis lukisan potret, bahkan mencita-citakannya. Semua berjalan sesuai alur hingga akhirnya hal itu menjadi sebuah pekerjaan mapan. Setelah berhenti dan menyendiri di sebuah lembah, ia kemudian menerima tawaran lukisan potret dengan angka bayaran yang fantastis. Haruki maupun sang tokoh utama sama-sama tak menyebut nominalnya. Angka yang terlalu besar bahkan hingga sang pelukis potret bersedia mengambil pekerjaannya kembali.

Mengerjakan potret Menshiki memberikannya perkembangan estetika karena lukisan itu mengarah pada jalan tak terduga. Sang pelukis bimbang apakah lukisan itu termasuk dalam jenis potret atau bukan. Ia berhenti pada suatu titik di mana dasar-dasar garis wajah Menshiki telah terbentuk dan melukisnya sampai lengkap namun rasanya tidak sempurna. ‘Ketidaksempurnaan’ itulah yang nyatanya terasa pas, terasa sempurna. Cocok dengan sosok Menshiki yang berwujud misterius. Cocok dengan kondisi di mana sang pelukis tak benar-benar mengenal objeknya, tetapi hanya menerima informasi ala kadarnya sesuai dengan apa yang diceritakan. Lidah Menshiki sebenarnya penuh dengan kejujuran. Namun ada kebenaran lebih besar yang memilih untuk dipendam dan tak diceritakan.

Perkembangan estetika selanjutnya terjadi ketika ia mulai mengenang perjalanannya setelah menerima tawaran perceraian dari istrinya. Dalam momen luntang-lantung itu, ia bertemu dengan seorang perempuan tanpa nama di sebuah restoran tepi pantai lalu diajak menginap di sebuah motel. Sang pelukis menerima tawaran itu dengan penuh kebingungan namun yang dilukisnya adalah orang lain. Seorang lelaki dengan mobil subaru putih. Seorang lelaki yang hadir pula di restoran itu namun tak melakukan apa-apa. Tokoh utama berspekulasi bahwa lelaki itu mengikutinya, memperhatikan setiap gerak-geriknya. Karakter itu tak kalah misteriusnya dengan Menshiki, meskipun tanpa nama. Sang pelukis hanya perlu mengarangnya sendiri dan memperkirakan apa yang dilakukannya sehari-hari.

Lukisan terakhir bukanlah lukisan potret, namun dua lukisan yang dikerjakannya (dan diceritakan oleh Haruki), dalam jilid pertama Membunuh Commendatore adalah bukti perkembangan estetiknya. Akan ada lukisan-lukisan baru yang dikerjakannya nanti, apalagi hingga akhir jilid pertama sang pelukis potret diminta Menshiki untuk menjadikan Mariye Akigawa sebagai modelnya. Dan semua itu tidak akan terjadi kalau sang pelukis masih bertahan dalam pernikahan tanpa cinta dan romantismenya. Peralihannya melalui lukisan potret secara pelan-pelan adalah bukti bahwa ia sudah berdamai dengan masa lalunya, mencoba jalan baru yang ditemuinya sendiri.

Dan barangkali kita bisa mencontoh tindak-tanduknya itu, meskipun bukan sebagai pelukis.

Abdullah Mushabbir Mahasiswa antropologi UB, bercita-cita menuliskan buku etnografinya sendiri. Temui di Instagram @diniatkan_murojaah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.