Telingaku rasanya seperti baru saja disengat kalajengking. Ketiga sahabatku saling lirik dengan raut wajah bingung dan gelisah.
“Apa katamu?” Tanya Fiora sambil menatap wajah datar Alan Dewantara dengan tegang. Jantungku terus mengentak. Aku bahkan dapat merasakan ritmenya yang melebihi alunan musik tekno di ruang dansa. Dan yang terjadi berikutnya sungguh di luar dugaan. Alan terbahak-bahak hingga suaranya yang berat menggema di seluruh penjuru ruang bawah tanah. Aku, Fiora, Olla dan Orish lagi-lagi tertegun. Apa maksud semua ini?
“Maaf tapi apa yang lucu?” Olla memberanikan diri untuk bertanya dengan raut wajah yang menandakan bahwa dia sama sekali tak punya petunjuk.
Namun pertanyaan ini agaknya berhasil mengembalikan fokus Alan sebab kemudian tawanya terhenti. Masih dengan ekspresi geli dia menatap kami berempat secara bergantian. Lalu dia menggelengkan kepala seolah tidak mempercayai apa yang tengah dia lihat. Dan kalau boleh jujur, aku dan ketiga gadis lainnya menjadi semakin bingung.
“Kalian tidak ada yang suka membaca cerita misteri, ya?” Tanya Alan yang membuat kami berempat semakin terheran-heran.
Lagi-lagi dia tergelak namun kali ini tanpa suara. Cekungan pada pipinya yang diterangi cahaya temaram lampu neon terlihat seperti ceruk dinding sebuah kastil tua berhantu.
“Gunakan logika kalian, Nona-nona. Kalau aku seorang kanibal dan berniat menjadikan kalian korban, lalu menggunakan metode pembunuhan seperti yang kusebutkan tadi, apakah mungkin tidak ada satu orang pun di antara kalian yang memiliki pikiran untuk melempar kepalaku dengan salah satu ornamen di ruang makan selagi aku sibuk mengejar-ngejar yang lain dengan pisau? Kalian berempat, ingat? Sementara aku sendirian. Dengan usia sedewasa ini kalian seharusnya sudah bisa berpikir jernih di tengah tekanan.”
Aku menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiran yang tidak keruan selagi terus memperhatikan Alan. Kuakui, sekalipun pria ini memiliki skenario yang sinting di dalam kepalanya, argumennya sering kali masuk akal. Kutoleh ketiga sahabatku yang terlihat sama bimbangnya.
“Kalau aku menggunakan racun dalam makanan kalian, ceritanya lain lagi.”
“Hei, jangan terus-terusan bicara seperti itu! Kita ada di ruang bawah tanah yang gelap, dan semakin lama kita di sini aku bisa terserang depresi dalam hitungan menit!” Orish yang biasanya jarang bersikap reaktif mengejutkan kami semua dengan protesnya.
Tapi tak bisa dimungkiri bahwa hal itu membuatku lega sebab kini aku tahu kapan harus mengambil momentum. “Itu benar,” Ujarku. “Ayo kita keluar dari sini!”
Aku mulai menaiki tangga saat kudengar Fiora berseru, “Tunggu dulu! Aku harus mengambil foto.” Berikutnya kulihat dia mengeluarkan gawai dari dalam saku jaketnya dan kemudian ia memotret ruangan tersebut.
***
Beberapa menit kemudian kami semua kembali duduk mengitari meja di dekat pintu masuk sambil menikmati tiupan udara hangat dari pengatur suhu ruangan.
“Bisa kubilang kalian kuperlakukan dengan istimewa,” Ujar Alan sambil memainkan gelas berisi air putih dalam terpaan sinar lampu seolah dia tengah mengamati molekul bulir-bulir air. “Selama ini aku selalu mengelak jika ada pengunjung yang menanyakan resep masakanku. Pasalnya, seluruh keturunan Klan Dewantara sudah berjanji bahwa resep tersebut tak boleh dibocorkan pada siapa pun. Tapi gara-gara kekacauan yang sudah kalian buat, aku terpaksa melanggar janji itu.”
Fiora angkat bicara, “Kami benar-benar minta maaf. Begini saja, kami janji tidak akan menyertakan resep rahasia tersebut dalam tulisan, dan kami juga tidak akan mengatakannya pada siapa pun. Dengan begitu resep kalian akan tetap terjaga kerahasiaannya. Bagaimana?”
“Kau benar-benar pandai berbicara, ya,” Komentar Alan sambil tersenyum sekali lagi.
Aku terpana. Cekungan pipi pria tampan itu menimbulkan kesan yang sama sekali berbeda dengan saat dia tersenyum di ruang bawah tanah beberapa menit yang lalu. Hatiku berdesir dan timbul sebuah sensasi seolah sesuatu tengah membara di dalam rongga dadaku. Nampaknya Fiora juga agak tersipu.
“Baik, aku setuju.” Suara Alan membuatku tersentak dan salah tingkah sendiri.
“Sisi baiknya, lewat tulisan kami nanti, orang-orang tak akan lagi memandang negatif keluargamu,” Timpal Orish.
Senyum Alan yang semakin lebar kian menawan hingga aku yakin bahwa ketiga sahabatku juga merasakan suatu getaran aneh dalam perut mereka seolah ribuan kelopak mawar tengah bermekaran di dalam sana.
“Orang-orang itu hanya tidak paham,” Kata pria tampan itu tak lama berselang, “Terlepas dari kenyataan bahwa manusia adalah makhluk yang paling sempurna, binatang memiliki kelebihan yang tidak ada dalam diri mereka.”
“Apa maksudmu?” Tanyaku setelah kami berempat merasa tak yakin akan arti dari perkataan tersebut.
“Binatang bisa menjadi garang dan buas karena mereka menginginkan makanan. Sesudah perut mereka terisi, mereka akan berbaring dengan tenang menunggu rasa lapar berikutnya datang. Tapi manusia tidak seperti itu. Mereka rakus dan tak pernah puas. Sebelum makanan pertama habis, mereka sudah meminta yang lain. Bahkan terkadang, mereka rela saling melukai. Saling membunuh. Semua hanya untuk menumbuhkan daging pada tulang belulang mereka. Daging yang busuk! Bahkan anggur terlezat sekalipun tak akan mampu memperbaiki cita rasa mereka.”
Mendadak aku merasa sedikit kedinginan. Kutoleh pintu kaca yang ternyata tidak terbuka barang satu senti pun.
“Pelangganmu,” Kata Olla kemudian, “Mereka semua pasti sering kembali. Masakanmu enak sekali.”
“Sebagian kembali, sebagian lagi tidak,” Jawab Alan singkat.
Aku memiringkan kepala.
“Ya, tidak semua orang harus jadi pelanggan tetap sekalipun mereka puas dengan rasanya, kan?” Pundak pria itu terangkat ringan.
“Sekali lagi, kami minta maaf,” Timpal Fiora. “Kalau bukan karena ingin mendapatkan liputan terbaik untuk mengalahkan si Moira yang sok tahu itu, kami tidak akan mengganggumu. Dan kami sangat berterima kasih karena kau sudah bersedia untuk berbagi cerita, juga tidak marah.”
Orish menyenggol siku sahabat kami yang ambisius itu dan aku dapat mendengar dia berbisik, “Jaga sikapmu! Pria mana pun tidak akan suka pada perempuan yang bicaranya kasar.”
Dengan setengah tak sadar, aku bangkit dari kursi. “Teman-teman, kurasa kita harus pulang,” Kataku lugas. “Sudah malam.”
“Ah, benar,” Sahut Olla sambil menengok arlojinya. “Baiklah, berapa yang harus kami bayar?”
“Untuk kalian, semuanya gratis,” Jawab Alan.
“Sungguh?!” Mata Fiora tampak berbinar-binar.
Alan mengangguk. “Sebagai gantinya, aku mau kalian mempromosikan restoran ini. Kalau perlu, bawa teman-teman kalian kemari, siapa saja bahkan saingan kalian di klub buletin kampus itu.”
“Ya, mengapa tidak?” Cetus Olla diikuti senyum persetujuan Fiora dan Orish. “Kami akan melakukannya.”
“Baiklah,” Ucapku sambil menarik lengan Fiora yang jaraknya paling dekat denganku. “Sampai jumpa lagi.” Aku mengangguk pada Alan Dewantara sambil lekas-lekas beranjak ke arah pintu.
Angin malam yang dingin langsung menyambut begitu aku, Fiora, Olla dan Orish menjejak halaman depan restoran. Setelah mengucapkan selamat tinggal dan melambai pada Alan, kami segera menyeberang jalan.
Sesaat sebelum kakiku menyentuh aspal, aku perhatikan kembali pintu kaca Restoran Vlees, Alan Dewantara masih bersandar pada salah satu ambang dan tersenyum, memperlihatkan cekungan pipinya yang indah. Meski wajahku kembali menghangat, aku tetap merasa ada yang tidak semestinya. Entah apa itu.
***
RESTORAN VLEES: MISTERI SEPULUH DEKADE YANG AKHIRNYA TERJAWAB
Setelah menjadi polemik yang menimbulkan perdebatan lintas generasi, rumor kanibalisime yang menyelubungi klan Dewantara akhirnya terkuak. Satu demi satu jawaban muncul ke permukaan untuk mengungkap kepingan kisah yang tak utuh itu
TEKA-TEKI KELUARGA KOKI YANG PENUH SPEKULASI
Restoran Vlees yang berlokasi di Jalan Kuldesak agaknya menjadi topik perbincangan yang hangat dalam beberapa hari terakhir. Terbitnya artikel berjudul ‘Mengungkap Tabir Restoran Kanibal’ dalam buletin Iluminasi yang ditulis oleh empat mahasiswi Universitas Kultivasi agaknya menjadi titik balik restoran yang selama ini dihindari para warga kota. Beberapa orang yang penasaran dan ingin membuktikan keakuratan laporan tersebut mulai mendatangi restoran dan …
RESTORAN VLEES DALAM KACAMATA PARA SAKSI
Madi Bharata, pensiunan tukang pos yang juga mantan anggota gerilya Jepang membuat pernyataan mengejutkan mengenai pengalamannya dalam barisan pejuang kemerdekaan.
“Kisah tiga pasang tangan dan kaki kempeitai Jepang tidak pernah diceritakan dalam versi yang utuh. Kalaupun selama ini saya menjawab ‘ya’ ketika ada yang menanyakan hal tersebut, nyatanya saya selalu bungkam untuk mengisahkan keseluruhan kronologinya. Alasannya, tak lain dan tak bukan adalah adanya janji antar sesama anggota gerilya untuk menjaga rahasia mengenai penemuan karung berisi sisa-sisa tubuh para kempeitai di sebuah jurang dekat markas persembunyian. Fakta ini kami tutupi karena dari penemuan aneh tersebut, terdapat sejumlah senjata yang pada akhirnya kami gunakan untuk berperang. Pada masa mencekam itu, sangat berbahaya jika pihak Jepang tahu.”
Alan Dewantara melempar tiga eksemplar koran yang terbit dalam waktu berlainan selama dua minggu terakhir ke belakang meja bar. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam dan situasi restoran yang telah tutup membuatnya leluasa membaca kabar-kabar terkini. Berita mengenai Restoran Vlees masih menghiasi berbagai media lokal. Namun Alan tak lagi tertarik untuk menelaah secara detail. Yang terpenting baginya sekarang adalah sikap sejumlah warga kota yang mulai berubah terhadap restoran. Walau jumlah pengunjung belum mencapai setengah popuasi kota, setidaknya pandangan mereka terhadap klan Dewantara tak lagi sama.
Alan hampir melemparkan koran ke empat ketika matanya menangkap suatu judul di kolom kriminal.
HILANGNYA JEJAK SANG PRAMUGARI
Kasus Diana Alexandra (24) salah satu pramugari maskapai Elang Airlines yang dilaporkan hilang sejak tiga hari lalu mulai mendapat perhatian khusus dari Interpol. Diana yang kali terakhir terlihat oleh sejumlah saksi tengah berada di sebuah taman di Jalan Kuldesak bersama tunangannya, Rico Canberra. Diana diduga sering mendapat perlakuan kasar dari lelaki tersebut.
Alan menghela napas. Tanpa sadar tangannya merogoh ke dalam saku apron merah yang masih dia kenakan. Mendadak dia tersenyum saat ujung jarinya menyentuh sesuatu yang padat. Sebuah lingkaran berukir halus yang tentu saja tak akan muat bahkan untuk jari kelingkingnya.