Intanera Penulis cerita misteri, thriller dan suspense. Novel perdana Drama Vendetta diterbitkan oleh Laksana, Diva Press Group. Follow Instagram: @intaneraauthor

Restoran Vlees (Bagian Empat)

8 min read

Restoran Vlees - Kolonian

Terdapat suatu jeda yang menyambut pembukaan cerita Alan. Aku dan ketiga sahabatku bertukar tatap keheranan dan mulut kami terbuka tanpa kata-kata.

“Namanya Helena Maria van der Voort,” Lanjut pria dari klan Dewantara tersebut sambil menatap lurus ke arah dinding di seberang ruangan, tepatnya ke sebuah lukisan punggung seorang lelaki yang tengah memilah-milah topeng opera dalam beragam ekspresi. “Pada usia delapan belas tahun, dia jatuh cinta pada kakek buyutku yang dua tahun lebih muda darinya, yaitu Panji, putra pertama Raden Dewantara. Sekalipun keluarga kami menjalin hubungan baik dengan orang-orang Belanda, kami tidak menafikan fakta bahwa seorang noni berkulit putih tidak akan diizinkan bersanding dengan pemuda bumiputra. Tapi kakek canggahku sangat menyukai Helena yang manis dan baik hati. Oleh sebab itulah beliau bersedia menikahkan kakek buyutku dengannya secara diam-diam. Mereka bertiga mulai mengatur siasat. Helena menulis surat pada keluarganya yang mengatakan bahwa dia ingin kembali ke Rotterdam karena tak lagi betah tinggal di Hindia Belanda. Dan pada hari di mana dia seharusnya berlabuh dengan kapal Sibajak MS, dia pergi diam-diam ke restoran ini dan menunggu hingga malam tiba untuk kawin lari dengan Eyang Buyut Panji ke pulau seberang, tempat di mana mantan pengasuh Helena tinggal dan mereka bersembunyi di rumah wanita tua itu hingga tahun proklamasi kemerdekaan.”

Lagi-lagi aku menelan ludah. “Jadi kisah tentang noni Belanda yang menjadi persembahan ritual…”

“Omong kosong!” Alan memotong kalimatku dengan nada suara tanpa beban, seringan raut wajahnya yang dihiasi senyuman tipis ketika memalingkan tatapannya padaku. Aku terkesiap. Walau senyuman itu membuat paras pria berlesung pipi tersebut semakin tampan, sinar matanya cukup intimidatif yang membuatku menunduk cukup dalam ke arah permukaan meja.

 “Kalau Helena mati dengan tubuh terpotong-potong, aku tak akan ada di hadapan kalian sekarang.” Suara Alan kembali terdengar. “Inilah sifat negatif dari warga kota ini—mereka suka menyebar gosip. Seseorang selalu salah di mata orang lain dan begitulah seterusnya. Itu sebabnya keluarga kami tak terlalu suka bergaul dengan orang-orang seperti ini dan lebih memilih untuk bersikap masa bodoh.”

“Lalu bagaimana dengan tiga orang kempeitai Jepang?” Tanya Fiora dengan tidak sabar.

Antusiasme gadis itu membuat salah satu sudut bibir Alan terangkat membentuk senyuman yang lebih kentara dari sebelumnya dia tujukan padaku. Orish yang duduk di sebelahku menjatuhkan sikunya dari atas meja demi melihat cekungan menawan yang muncul pada pipi pria tersebut.

“Seperti yang mungkin sudah kalian dengar dari banyak orang, keluarga kami dekat dengan orang-orang Belanda semasa Eyang Raden Dewantara hidup,” Ujar Alan setelah menarik sebuah napas dalam. “Pada masa invasi Jepang, Belanda mulai terdesak dan ruang gerak mereka terbatas. Demi membalas jasa orang-orang yang pernah membantu perkembangan bisnis beliau, Eyang Raden merelakan restoran ini menjadi salah satu tempat persembunyian sejumlah warga Belanda dari kebrutalan Jepang. Dan ruangan yang tadi kita masuki dulunya difungsikan sebagai kamar para serdadu. Selain itu, masih ada ruang bawah tanah yang digunakan untuk menampung wanita dan anak-anak.”  

Sontak aku tertegun. “Apa? Ada ruang bawah tanah di dalam bangunan ini?”

Alan mengangguk. “Pada malam kedatangan tiga kempeitai tersebut, salah satu serdadu Belanda terserang penyakit kuning dan sedang muntah-muntah di toilet. Para kempeitai mendengar suaranya dan segera menyergap serdadu tersebut setelah memukul kepalanya dengan popor senapan laras panjang Arisaka. Tapi serdadu itu tidak kehilangan akal. Dia berteriak sekencang-kencangnya untuk meminta tolong para rekannya yang masih berada di kamar persembunyian. Dalam sekejap semua serdadu bersenjata mengepung ketiga kempeitai, dan selanjutnya aku tidak perlu menjelaskan bagaimana detailnya mereka membantai orang-orang Jepang tersebut, bukan?” Pertanyaan retorik Alan yang terlontar dalam nada geli ditujukan secara khusus padaku dan Olla yang terlihat menahan napas untuk bagian cerita ini

“Apa Raden Dewantara mengetahui peristiwa itu?” Tanya Fiora.

Alan tak langsung menjawab. Namun sepersekian detik berikutnya dia mengangguk ringan seolah tak ada yang mengganggunya terkait pertanyaan Fiora. “Tentu saja beliau tahu. Dan hal ini sebenarnya hanya akan menjadi rahasia antara beliau dengan para serdadu Belanda andai suatu kesalahan tak pernah terjadi.” Sekilas Alan melirik kepadaku sehingga keningku berkerut karena terheran-heran. “Ceritanya begini, setelah pembunuhan, tiga orang serdadu diserahi tugas untuk membuang mayat para kempeitai ke jurang pada tengah malam. Sayangnya, karung yang mereka gunakan terlalu kecil sehingga tidak mampu memuat beban yang cukup banyak. Akibatnya, beberapa potongan tubuh yang berupa tangan dan kaki tercecer dari lubang robekan karung. Para serdadu tak punya opsi selain meninggalkan saja potongan-potongan tersebut dan bergegas menuju jurang yang masih empat kilometer jauhnya, sebab mereka khawatir akan tertangkap oleh petugas fusimban yang selalu berpatroli pada malam hari. Keesokan harinya potongan-potongan tubuh tadi ditemukan oleh para penduduk.”

“Dari peristiwa itu kemudian lahirlah cikal bakal rumor yang lain setelah si noni Belanda.”

Alan mengangguk sebagai tanggapan atas kesimpulan Olla sebelum kembali menatapku, “Hanya kakekmu yang tidak percaya akan rumor tersebut, bukan? Pasalnya, pada saat tiga serdadu berjalan menuju jurang, Kakek Ajidharma yang saat itu baru beranjak remaja tengah berkeluyuran di hutan setelah berburu musang bersama teman-temannya. Beliau melihat seluruh kronologi lubang karung yang kuceritakan tadi tapi memilih untuk tutup mulut. Namun keesokan harinya saat kabar tentang keluarga kami yang memakan tiga orang kempetai hidup-hidup mulai berembus, beliau menemui Eyang Raden dan mulai menceritakan apa yang terjadi di hutan. Dengan pertimbangan bahwa Kakek Ajidharma adalah anak yang baik dan bisa menjaga rahasia, Eyang Raden pun akhirnya memberitahu bahwa ada sejumlah orang Belanda yang bersembunyi di restoran ini. Tapi beliau berpesan agar kakekmu tetap diam dan membiarkan berita ritual itu merebak, sebab kalau ada yang tahu kejadian sebenarnya, para tentara Jepang akan mendatangi restoran kami dan membantai orang-orang Belanda—bahkan keluarga kami juga—dengan cara yang lebih kejam. Dan hal ini juga yang kemudian membawa keuntungan bagi kami sebab tak ada satu pun tentara Jepang yang berani datang ke restoran ini setelahnya. Begitu pula dengan warga pribumi. Dan inilah yang menjadi masalah sesungguhnya bagi bisnis restoran kami di kemudian hari.”

“Tapi mengapa tak ada anggota keluarga kalian yang meluruskan semua hal yang baru saja kau ceritakan sampai hari ini?” Tanya Orish keheranan.

Dengan ekspresi yang sangat serius Alan berkata, “Keluarga kami tak suka banyak bicara dan sangat benci dengan yang namanya rumor. Kami lebih memilih bungkam daripada repot-repot membuka rahasia masa lalu yang bisa memancing perdebatan.”

“Tapi kalau aku ada di posisimu, aku lebih memilih untuk membeberkan semua fakta di hadapan orang-orang yang selama ini membicarakan keluargaku,” Ujar Fiora secara berapi-api.

Lagi-lagi Alan hanya tersenyum dengan salah satu sudut mulutnya. Kini tatapannya menerawang ke arah jam dinding digital yang dilengkapi hari dan tanggal. “Setelah Jepang ditaklukan dan Sekutu datang, kami kira restoran ini akan kembali ramai oleh orang-orang Eropa. Tapi kenyataannya tidak demikian. Setelah proklamasi kemerdekaan, perang yang berkobar di berbagai daerah berlangsung dengan lebih dahsyat, menyebabkan banyak orang terluka dan jatuh miskin. Restoran ini sendiri tutup selama beberapa tahun sebab kami kehilangan sejumlah modal. Baru pada akhir tahun enam puluhanlah kami berhasil membukanya kembali.”

“Dan karena kalian masih memilih untuk bungkam, warga kota ini tetap tak mau datang kemari?” Tanya Olla.

Alan hanya mengangkat bahu. “Orang-orang dari luar kota nyatanya lebih berpikiran terbuka dan tidak menelan mentah-mentah segala berita yang belum terbukti kebenarannya.”

Sekalipun semua penjelasan ini begitu rinci dan sinkron dengan sikap Kakek selama ini, aku masih belum puas. “Tapi kalau kakekku tahu kejadian yang sebenarnya tentang tiga kempeitai, mengapa beliau tak pernah makan di tempat ini alih-alih cuma mengingatkan kami agar tidak begitu saja percaya dengan kabar burung?”

Pertanyaan ini membuat Alan menatapku lekat-lekat. Walau raut wajahnya menunjukkan kegelian, sesuatu dalam sorot matanya membuat jantungku berdegup kencang.

“Kau kan cucunya,” Suara pria itu membuatku tersentak. “Dibandingkan aku, kau seharusnya lebih mengenal kakekmu.”

Mendadak kusadari sesuatu. “Kakek tidak suka daging.”

Kulihat Alan tergelak tanpa suara. “Aku pernah mengobrol dengan kakekmu sewaktu kami bertemu di taman dekat kawasan kota tua. Saat kami membicarakan riwayat Eyang Raden, beliau mengatakan padaku bahwa sejak kejadian di hutan itu, beliau tak mau makan atau bahkan menyentuh apa pun yang berhubungan dengan daging,” Jelasnya dengan suara dalam sambil kembali menatap ke arah lukisan.

“Kalau ceritanya seperti itu,” Gumam Orish, “Itu artinya selama bertahun-tahun kota kita hidup dalam lingkaran gosip.”

“Tapi,” Sela Fiora, “Apa yang tersembunyi di ruangan yang tadi? Yang membuat Laras sangat ketakutan?”

Aku pun langsung tersadar. “Ya, bagaimana penjelasanmu terhadap isi lemari es yang kulihat tadi?”

“Memang apa yang sudah kau lihat, Ras?” Sahut Olla.

Kulirik Alan Dewantara yang masih bergeming. Namun detik berikutnya, pria itu bangkit dari kursi dan mengacungkan kunci-kunci yang semula dikantonginya. “Kalau kalian tertarik, aku bisa menunjukkan sebuah rahasia yang membuat masakan leluhurku disukai oleh para kompeni,” Katanya.

Aku, Fiora, Olla, dan Orish saling lirik satu sama lain.

“Tidak? Ya sudah! Kalau begitu kalian boleh pulang sekarang karena ceritaku berakhir sampai di sini.” Alan menunjuk pintu kaca lewat gerakan dagunya.

“Mengapa tidak kau sebutkan saja resepnya?” Usul Fiora.

Alan menyeringai. “Aku jadi ragu apakah kalian berempat bisa jadi jurnalis profesional di masa depan. Sedari tadi aku berbicara, tak satu orang pun berpikir untuk meminta foto sebagai barang bukti. Apa yang membuat kalian sebegitu yakinnya bahwa aku tidak sedang berbohong? Aku bisa saja mengada-ngada cerita tadi demi memenuhi rasa penasaran kalian.”

Bagai ditampar, aku dan ketiga sahabatku tersentak akan kebodohan kami. Tapi apa kami perlu mengikuti pria ini untuk masuk ke ruang pendingin yang menyeramkan itu?

“Aku rasa kalian perlu memastikan bahwa aku tidak membawa senjata apa-apa?” Untuk kali ke sekian Alan membuat kami semua tertegun dengan bersikap seolah dia bisa membaca isi pikiran orang lain. “Kalian bisa menggeledahku sekarang juga!”

Entah mengapa, kalimat tambahan itu membuat wajahku seketika memanas. Kulirik ketiga sahabatku dan sikap mereka juga terlihat salah tingkah. Pipi Orish bahkan merona sehingga dia sontak membuang muka ke arah jendela.

“Tidak. Tak perlu ada penggeledahan, kami sudah terbuai atas ceritamu tadi.” Fiora beranjak dari tempat duduknya.

Walau ragu, aku beserta Olla dan Orish melakukan hal yang sama dan berikutnya kami semua mengekor Alan Dewantara seperti kawanan dalam pack serigala yang mengikuti jejak-jejak alpha di atas tanah bersalju.

“Ras,” Bisik Fiora selagi kami menyusuri lorong. Ia dan aku berjalan paling belakang, “Kau belum bercerita tentang bagaimana bisa kau berada di ruangan itu tadi.”

“Tadinya aku ke toilet. Lalu kulihat pintu ruangan itu dan aku jadi penasaran. Ternyata pintu itu tidak terkunci. Sampai sekarang aku pun tidak mengerti mengapa aku memasukinya begitu saja.”

“Kami tadi curiga karena kau tak juga kembali. Olla dan Orish menyusul ke toilet tapi mereka bilang tidak menemukanmu. Aku tidak percaya dan mencoba melihat dengan mata kepalaku sendiri. Ternyata kau memang tidak ada. Kami pun berlari ke lorong lain yang berlawanan arah, yang rupanya menuju halaman belakang. Di sana kami hanya melihat dia yang sedang merokok,” Jelas Fiora sambil melirik ke arah Alan. “Kami menjadi begitu panik sebelum akhirnya dia mengajak kami untuk mengecek ruangan itu.”

Seketika aku teringat satu hal. “Fi, sewaktu aku hendak keluar dari tempat itu—karena ketakutan setelah membuka lemari es, pintu ruangannya terkunci. Padahal ketika aku masuk, aku hanya menutupnya. Dan ada sebuah tong.”

“Aku yang mengunci pintu,” Sahut Alan yang membuatku serta Fiora terkejut karena ternyata dia bisa mendengar pembicaraan kami. “Tadi sudah kubilang, kan bahwa aku ingin membuang sampah. Yang aku maksud sampah adalah sisa-sisa daging beku yang sudah tidak berguna dan kukumpulkan dalam tong plastik di ruang penyimpanan. Tong itu tadi kubawa ke luar untuk dikosongkan. Lalu setelah kucuci, kukembalikan lagi ke tempatnya. Dan seperti biasa, pintu ruangan pendingin kukunci sebelum ditinggalkan dan aku kembali ke halaman belakang untuk merokok. Mana aku tahu kalau kau berada di dalam sana?”

Sambil mengatakan kalimat terakhirnya, Alan membuka kunci pintu dan meminta kami untuk mengikutinya memasuki ruangan. Hawa dingin langsung menyergap. Jantungku kembali berdebar kencang melihat tempat tersebut dan tenggorokanku tercekat mengingat isi dari lemari es yang membuat lututku lemas.

“Mengapa kalian diam saja? Kalian sedang mewawancaraiku, kan?” Kata Alan pada kami semua yang menatap deretan lemari es dengan ketakutan dan berusaha tetap waspada. Perlahan, kami mengikuti langkahnya menuju lemari yang telah membuatku ketakutan setengah mati. Sesampainya di depan benda tersebut, dengan santai dia membuka pintu.

Ketiga temanku langsung menjerit begitu melihat potongan-potongan daging serta tulang belulang yang berlumuran suatu cairan merah kehitaman, mirip dengan reaksiku beberapa saat yang lalu. Cairan itu begitu pekat dan melumuri daging-daging dalam jumlah melimpah, bahkan hampir-hampir mengotori seluruh permukaan lemari es bagian dalam. Daging-daging ini mengingatkan kami akan tampilan potongan tubuh korban pembunuhan dalam film-film horor jagal. Aku sendiri tetap berjingkat begitu pintu lemari es terbuka walau sebelumnya pemandangan mencekam ini telah kulihat.

“Semua ini daging lembu. Dan cairan merah itu adalah anggur yang telah dicampur dengan rempah-rempah,” Jelas Alan cepat-cepat sebelum ada yang pingsan. Lalu sambil mengguncang-guncang pintu lemari es dia menggerutu, “Oh, lagi-lagi engselnya. Padahal baru kuperbaiki kemarin malam.”

“Tunggu dulu!” Aku menyela, sementara teman-temanku masih terdiam dengan mulut ternganga, “Anggur? Mengapa kau melumuri daging-daging ini dengan anggur?”

Alan menyeringai lebar. “Itulah resep temuan Raden Dewantara yang diwariskan secara turun-temurun. Anggur yang berasal dari fermentasi ketela pohon yang dicampur rempah-rempah membuat daging lebih empuk dengan rasa yang kuat, juga mengurangi aroma anyir. Resep ini tak sengaja tercipta ketika kakek canggahku menumpahkan sebotol anggur ke dalam wajannya saat menyiapkan makanan untuk pesta yang diadakan oleh salah satu keluarga petinggi VOC. Ternyata pencampuran tersebut memberikan hasil yang lezat. Beliau pun mulai melakukan inovasi dan terbukti berhasil. Sejak saat itu, masakan kakekku menjadi favorit orang-orang Belanda. Oh iya, tentang karung besar yang kumasukan ke bagasi mobil dan terlihat oleh penjaga pintu air tempo hari, itu adalah karung berisi batang-batang ketela pohon yang akan kubuang karena sudah tidak dipakai. Kalau kalian mau, aku bisa menunjukkannya setelah ini. Karung itu masih ada di dalam bagasi mobilku di tempat parkir. Tapi sebelumnya, lihat ke mari!”

Aku dan teman-teman kembali mengikuti Alan yang menghampiri sepetak papan di lantai yang ternyata adalah sebuah pintu. Dengan hati-hati dia membuka pintu tersebut dan menuruni sebuah tangga kayu. Begitu dia berada di bawah, sebuah lampu neon menyala dan kami semua dapat melihat suatu ruangan yang dipenuhi oleh tong-tong kayu besar.

“Ayo turun!”

Aku dan teman-teman berpandangan sejenak. Akan tetapi, Fiora bergerak turun, lalu Olla menyusul, berikutnya Orish, dan setelah berhasil mengumpulkan keberanianku, aku ikut memasuki tempat entah apa itu namanya. Belakangan setelah berada di bawah, kulihat empat buah ranjang bertingkat yang sudah karatan teronggok di salah satu sudut ruangan.

“Inilah ruang bawah tanah yang kuceritakan tadi. Raden Dewantara membangunnya begitu mengetahui bahwa orang-orang Eropa menyimpan anggur di bawah tanah agar tetap terasa lezat. Pada masa persembunyian, anak-anak Belanda tidur berimpitan di sebelah deretan tong kayu ini agar tetap merasa hangat. Dan sampai sekarang, bahan rahasia kami masih tersimpan di dalam tong-tong tua ini.”

“Kalau daging?” Tanyaku sambil menggigil menahan tiupan udara dingin dari Freon pada ruangan atas. “Dari mana kau mendapatkan daging-daging itu?”

Alan tersenyum tipis sebelum menjawab, “Kau masih curiga kalau-kalau aku menjual daging manusia, ya?”

Aku langsung membuang muka. Andai kata ruang bawah tanah ini tidak gelap, semua orang pasti bisa melihat wajahku yang memerah.

“Kami memiliki pemasok langganan dari luar kota yang selalu mengirimnya setiap dua kali seminggu pada tengah malam setelah restoran tutup. Aku bisa memberikan nomor kontak mereka untuk konfirmasi,” Jawab Alan sambil tetap tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang membuatku merasakan suatu sensasi panas yang tiba-tiba menjalari wajah dan leher.

“Sekarang kalian sudah tahu bagaimana lucunya diri kalian, bukan? Kalau aku berniat untuk memakan kalian malam ini, semua pintu dan jendela restoran akan kututup dalam hitungan detik setelah kalian berempat masuk, lalu kucincang kalian satu per satu,” Tambahnya ringan dengan ekspresi datar.

Bersambung

Intanera Penulis cerita misteri, thriller dan suspense. Novel perdana Drama Vendetta diterbitkan oleh Laksana, Diva Press Group. Follow Instagram: @intaneraauthor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.