Dengan sisa tenaga dan suara yang nyaris habis, aku menggedor-gedor pintu untuk beberapa menit. Tapi tak ada satu pun tanggapan. Aku harus bagaimana?
Visualisasi tentang adegan film di mana seorang psikopat menyalakan gergaji mesin untuk memotong lengan sanderanya yang terikat rantai di atas brankar, tersaji dalam pandanganku yang mulai nanar. Serta potongan video yang pernah ditunjukkan kekasihku Eric tentang seorang wanita yang dikuliti hidup-hidup dengan pisau daging yang videonya beredar di suatu situs terlarang. Aku mendongak, mencari tahu apakah ada semacam kamera tergantung di salah satu sudut langit-langit ruangan ini.
Pendingin ruangan yang tiba-tiba bertiup kencang membuatku menggigil hingga tubuhku merosot ke lantai. Dengan napas terengah-engah aku berdoa agar sahabat-sahabatku menyadari bahwa aku tak kunjung kembali dan berharap mereka segera mencariku. Tapi serangkaian halusinasi buruk semakin banyak bermunculan. Air mata mengalir ketika pikiranku mulai kosong.
Sebelum kesadaranku hilang, pandanganku menangkap suatu penampakan yang tidak biasa, yaitu sebuah tong plastik besar berwarna abu-abu yang terletak di samping pintu. Aneh. Seingatku, saat aku masuk di ruangan ini tadi, tong tersebut tidak terlihat ada di sana. Kekuatan kakiku mendadak berangsur-angsur kembali. Aku berdiri perlahan dan mengintip bagian dalam benda tersebut. Kosong dan agak basah. Baunya sedikit anyir dan dibandingkan dengan suhu ruangan yang siap membuat jari-jariku membeku dalam hitungan menit, permukaan benda plastik itu terasa hangat. Sejak kapan tong ini ada di sini? Siapa yang meletakkannya?
Hanya ada satu jawaban yang dapat kusimpulkan. Siapa pun yang telah membawa tong ini masuk, dia juga orang yang telah mengunciku.
Tanpa diduga pintu di belakangku mengayun terbuka. Disusul dengan kedatangan Fiora, Olla, Orish, dan Alan Dewantara. Ketiga sahabatku menunjukkan air muka yang merupakan kombinasi antara terkejut, takut, cemas, dan bingung. Di sisi lain, Alan menyorotkan pandangannya yang menghunjam sampai ke jantung dan membuatku tak berani menatap balik, samar-samar kucium aroma sesuatu yang terbakar dari pakaiannya.
“Ras, apa yang terjadi? Mengapa kau sampai berada di sini?” Tanya Fiora sambil memegangi kepalaku. Sentuhan kulitnya memberiku kehangatan namun aku tak sanggup menjawab pertanyaannya secara langsung.
“Tempat apa ini?” Tanya Orish sambil melayangkan pandangan ke seluruh ruangan.
“Cukup!” Bentak Alan. “Sudah cukup semua kekacauan ini. Sekarang aku ingin mendengar apa sebetulnya mau kalian,” Sambungnya sambil memberi tanda dengan tangannya agar kami segera beranjak ke ruang utama restoran. Seperti anak kelinci yang mendengar auman singa jantan, kami semua lekas-lekas beringsut mengikuti arah yang dia tunjuk. Fiora menarik lenganku sementara Olla dan Orish juga bergandengan di belakang kami. Sebelum meninggalkan lorong, sempat kutoleh Alan yang tengah mengunci pintu ruangan yang menyeramkan itu.
Beberapa saat setelahnya aku dan ketiga sahabatku tertunduk di tempat duduk kami sebelumnya, sementara Alan berdiri menjulang sambil memperhatikan kami satu per satu. Tangannya terlipat di atas dada dan kakinya mengetuk-ngetuk lantai sebagai tanda bahwa dia menunggu kami bicara.
“Siapa yang mau memberi penjelasan terlebih dahulu?” Tanyanya dengan nada suara yang mengingatkanku akan tiupan pendingin udara dari ruangan beku tadi.
Sekian detik berlalu dan masih tak ada satu orang pun di antara kami berempat yang mampu menjawab. Olla dan Orish menunduk semakin dalam, Fiora yang biasanya pintar berbicara juga terdiam seribu bahasa. Aku sendiri belum menemukan suaraku walau segelas air telah kuteguk. Pemandangan yang kulihat dari dalam lemari es masih membuat bulu kudukku tegak.
“Baik, kalau tak ada yang mau bercerita, terpaksa kulakukan ini.”
Kulihat Alan merogoh saku celananya dan beringsut ke arah pintu masuk. Dan yang berikutnya kudapati begitu dia berbalik adalah daun pintu yang terkatup rapat tanpa celah. Ia mengunci kami di dalam restoran!
“Tunggu, tunggu, tunggu!” Teriak Fiora pada akhirnya. “Tolong, apa pun yang kau pikirkan, jangan lakukan!”
Alan mengangkat bahu. “Aku berhak untuk tahu apa yang kalian inginkan dariku. Dan kalian menolak untuk memberikannya.”
“Bukan berarti kau juga berhak untuk mengunci lalu membunuh kami berempat!” Jerit histeris Olla yang tiba-tiba berdiri membuat telingaku berdengung. Aku menelan ludah dan melirik Orish yang duduk di kursi sebelah. Wajahnya pucat dan mulutnya terbuka tanpa suara. Seperti halnya diriku, semua ketegangan ini menimbulkan stres yang membuat tubuhnya seolah lumpuh untuk sementara waktu seperti gejala tonic immobility.
Alan Dewantara tersenyum sinis. Seketika perutku kembali mual begitu melihat sebuah seringai yang tersungging pada wajahnya.
“Membunuh,” Dia mengulang perkataan Olla dengan intonasi ringan tanpa beban. “Itu istilah paling frontal yang pernah ditujukan padaku secara langsung.”
“Apakah selain kanibal, kata ‘membunuh’ sering digunakan para warga kota yang suka membicarakan keluarga besarku?”
“Tidak, tidak! Semua ini salah paham.” Fiora yang sudah berhasil mendapatkan seluruh keberaniannya menjawab. “Baiklah, aku akan menjelaskan alasan yang membuat kami datang ke restoran ini.”
Alan kembali melipat kedua tangannya di depan dada lalu bersandar pada permukaan pintu kaca. Mulanya dengan agak terbata-bata, Fiora bercerita tentang Salim si penjaga pintu air dan hubungan dari kasak-kusuk tersebut dengan kompetisi buletin kami. Semakin lama, kata-kata yang keluar dari mulut sahabatku yang paling dekat itu meluncur dengan lancar.
Selama menyimak cerita Fiora, mimik wajah Alan terlihat datar bahkan terkesan menyepelekan cerita yang disampaikan Fiora. Namun saat penjelasan sampai pada bagian di mana kami berdebat tentang harus masuk atau tidak begitu mendapati tak ada pelanggan lain yang datang di restoran ini, pria itu menggigit bibirnya. Sepasang lesung pipitnya yang dalam kembali terlihat, seandainya situasi kami tidak sedang tegang seperti saat ini dia bisa membuatku juga ketiga gadis lainnya jatuh cinta padanya. Begitu Fiora selesai bercerita, sikap garang pria muda tersebut pelan-pelan melunak.
“Begitu, ya,” Gerutunya. “Pantas saja sikap kalian aneh sejak detik pertama menjejakkan kaki di restoran ini. Selama lebih dari satu abad keluarga besarku harus menanggung suatu reputasi yang dilebih-lebihkan. Seluruh warga kota ini, kecuali Kakek Ajidharma, selalu memandang kami dengan sebelah mata. Ya. Selalu seperti itu.”
Aku terkejut mendengar nama Kakek disebut-sebut. “Kau kenal kakekku?” Tanyaku kemudian.
“Kau cucu beliau?” Alan balik bertanya dengan nada tidak percaya.
Sekian detik berikutnya kami berlima kembali terdiam. Tak lama berselang Alan menarik sebuah kursi dari meja sebelah dan mendudukinya tanpa diputar sehingga kedua lengannya tertumpuk pada sandaran kursi tersebut. Sambil menatapku dan yang lainnya secara lekat-lekat dia berkata, “aku tetap tersinggung karena kalian menjadikan bisnis keluargaku sebagai bahan berita untuk buletin kampus kalian. Hal ini jelas-jelas melanggar privasi kami. Tapi aku pikir, aku perlu berbagi sebuah rahasia dengan kalian karena sudah saatnya ada anggota keluarga yang berdiri membela nama baik klan kami. Hanya satu pesanku. Ketika kalian menuliskan cerita ini dalam buletin, tulis apa adanya sesuai dengan apa yang kuucapkan. Jangan ditambah atau dikurangi karena kami benci kebohongan. Paham?”
Sambil menatap pria itu dengan takut-takut, kami berempat mengangguk perlahan.
“Di antara semua kisah tentang restoran kami, versi dari Pak Walikota dan pensiunan tukang pos adalah yang paling terkenal, bukan? Tentang noni Belanda dan tiga kempeitai itu? Kalian mungkin sulit untuk percaya, namun fakta yang sebenarnya, tanpa noni Belanda itu aku tidak akan ada di hadapan kalian malam ini. Noni Belanda itu adalah nenek buyutku.”
Bersambung