Perempuan seputih salju itu datang sesaat setelah gerimis reda dan hanya menyisakan titik-titik air yang menggantung di ujung daun. Dia mengetuk pintu rumah, di minggu pagi yang damai setelah aku dan suamiku berkasih-kasihan. Perempuan yang pipinya sesegar tomat matang itu berdiri kaku di depan pintu sambil menyunggingkan senyum tipis nyaris tak kentara dari bibirnya yang merekah seperti kelopak mawar. Aku tidak menemukan alasan untuk tak menyambutnya dengan ramah, kupersilakan dia masuk dan duduk di sofa merah kesayangan. Dia mulai bercerita tanpa kuminta, dengan suara yang lembut melenakan, raut wajah yang tenang dan gerakan tangannya yang teratur. Perempuan seputih salju itu adalah penyelamat dan aku bersyukur dia menjejakkan kakinya di teras rumahku enam bulan lalu.
Kopi itu masih mengepul di atas meja tempat biasa aku meletakkannya untuk Bima. Tujuh hari yang lalu dan ribuan hari sebelumnya, hanya aromanya yang dapat memantik saraf lelaki yang menikahiku tujuh tahun lalu itu. Tetapi sudah satu minggu ini dia memilih untuk terus bergelung, dipeluk mimpi atau mungkin sisa-sisa kemarahannya yang ia pendam.
Seperti pagi yang lain sebelum ini, perselisihan panas dengan Bima tidak mengubah kebiasaanku. Aku akan tetap bangun lebih pagi dari Bima, membuatkannya secangkir kopi, membuka jendela dan memberi kesempatan udara pagi yang bersih menelusup ke dalam kamar. Aku masih berdiri di balkon menunggu Bima terbangun, sambil menatap lurus langit sebelah timur yang berhias serabut merah yang menjalar dari kakinya. Kusesap kopi hitam yang dibeli Bima satu bulan lalu saat menghadiri peluncuran rumah makan baru di Bali. Ini pagi yang sempurna untuk hidupku yang sudah koyak.
Sore kemarin aku sudah menghubungi agen properti dan rencananya hari ini papan plang penjualan rumah akan dipasang. Itu artinya, kami hanya memiliki sedikit waktu untuk berkemas dan membuang seluruh kenangan di dalam rumah ini. Koper-koperku sudah siap sejak dini hari tadi. Tetapi aku masih butuh waktu untuk menguatkan kaki melangkah keluar dari rumah ini. Hatiku ngilu, apalagi jika mengingat kemeriahan pesta pernikahan kami yang digadang-gadang menjadi pesta terbaik di kota ini.
Usai resepsi pernikahan yang menghabiskan dana ratusan juta, kehidupan kami seindah bunga-bunga yang menjadi dekorasi malam itu. Terlihat segar, bewarna, dan harumnya menebar ke mana-mana. Tiada hari yang dibiarkan tanpa saling meluapkan rasa cinta dan kekaguman. Manis, manis sekali. Tetapi bukankah terlalu manis justru akan menyebabkan sakit gigi hingga diabetes?
Setelah lima kali merayakan ulang tahun pernikahan, halimun itu datang merayapi hati Bima yang kemudian dia tularkan padaku. Rumah kami yang berukuran 100 meter persegi dan terdiri dari dua lantai bak pulau terpencil yang jarang disinggahi manusia. Sunyi dan sepi. Tidak ada orang lain selain kami berdua membuat kesunyian itu semakin mencekam. Tak butuh waktu lama ia mulai menggerogoti bunga-bunga dan taman indah yang kami bangun dalam hati.
Pertanyaan mengapa Raisya tak kunjung mengandung penerus keluarga Prakoso, kemudian menjadi sembilu yang diiriskan berkali-kali dalam hati ini. Dan Bima menggaraminya dengan tuduhan yang dia lontarkan kepadaku.
“Kamu terlalu lelah bekerja dan ini akibatnya. Apa aku kurang cukup menafkahimu hingga kamu tidak punya waktu luang lagi untuk diam di rumah?”
“Kamu seharusnya mengurangi bobot tubuhmu sepuluh kilo lagi. Ini masih belum cukup ideal. Barangkali lemak-lemak itu yang membuat rahimmu sulit dibuahi.”
Aku masih ingat kalimat-kalimat yang terdengar jelas dan lugas itu. Tanpa berpikir panjang, dengan air mata yang mengalir aku menggantung stetoskopku dan melepaskan jas putih itu. Aku memilih diam di rumah, sibuk berolahraga, merawat bunga-bunga, menyiapkan sarapan dan makan malam untuk Bima. Aku mencintai Bima dan ingin terus ada di rumah ini bersama bunga-bunga yang kami tanam sejak pertama pindah ke rumah ini.
Satu tahun, dua tahun, pantai itu masih tenang. Aku hanya berdua dengan Bima menikmatinya. Akan tetapi seindah apa pun pantai, tak ada jaminan gelombang besar tak akan datang. Aku dan Bima yang telah puluhan purnama menikmati ketenangan pantai, tiba-tiba saja harus dikejutkan oleh suara gelombang yang memukul-mukul batu karang. Bima tidak lagi mau bersabar menghadapi kesunyian itu. Acara minum kopi di balkon kamar kerap berubah menjadi persidangan, di mana aku sebagai terdakwa dan Bima jaksa penuntut umum. Bima merasa dia lelaki yang sehat, makanannya terjaga begitu juga olahraganya. Dia menuduh rahimku lah yang bermasalah.
“Aku menikah untuk memiliki keturunan, jika tidak mungkin sebaiknya kita berpisah,” Ucapnya tujuh hari lalu.
Aku tidak terkejut, karena kami sudah saling memunggungi sejak dua bulan lalu. Aku hanya tidak menduga Bima akan mengatakannya dengan dingin dan datar, seolah tak tersisa sama sekali perasaan untukku. Aku merasa diselamatkan oleh seorang perempuan yang membunyikan alarm bahaya sehingga memberiku kesempatan untuk bersiap.
Malam itu, enam bulan lalu—tepat dua tahun setelah aku berhenti dari pekerjaanku—perempuan itu datang dan mengetuk pintu rumah. Bima yang masih kelelahan masih lelap di lantai atas. Setelah duduk di sofa kesayanganku, dia mulai menunjukkan beberapa pesan dan foto yang membuat darahku terkesiap. Aku menarik napas panjang, sebisa mungkin untuk mengendalikan pikiran dan perasaanku.
“Menyerahlah, jangan memaksakan diri. Rahimmu tandus,” Ucapnya dengan pelan, datar dan dingin.
Aku tak memberi reaksi apa pun, meski dalam dada ada yang meronta-ronta minta diluapkan. Aku hanya menatapnya dingin, sedingin ucapannya yang menusuk hatiku. Aku bergeming, membekukan diri. Melihatku tak merespons perkataannya perempuan itu berdiri dengan gusar.
“Untuk apa bersama, jika tak bahagia? Bima akan lebih bahagia bersamaku.”
Perempuan seputih salju itu mengusap perutnya pelan, kemudian melangkah ringan dengan keanggunan putri kerajaan, keluar dari rumahku. Aku terdiam cukup lama untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Rasa sakit itu kemudian menjalar pelan-pelan, menyesaki rongga dada.
Setelah itu, tidak ada yang berubah. Kehadiran perempuan itu tak berdampak apa-apa pada hubunganku dengan Bima. Aku masih tidur dalam pelukan Bima, membangunkannya dengan aroma kopi di pagi hari, menemaninya di balkon kamar sambil melihatnya berolahraga, menyiapkan pakaian kerja dan sarapan, menyambutnya dengan senyum paling manis saat dia pulang bekerja, kemudian memeluknya dengan hangat hingga matahari pagi kembali membangunkan kami.
Aku berpura-pura tidak terjadi sesuatu, sama sekali tak membahas perempuan itu dengan Bima. Kami sama-sama bermain peran, Bima yang sangat rapi menyembunyikan perempuan berkulit salju itu selama dua tahun dan aku yang menahan marah selama enam bulan. Aku hanya ingin tahu, sejauh mana Bima akan kuat bertahan. Ternyata daya sabarnya hanya sampai enam bulan dan mungkin dia melupakan sesuatu, perjanjian yang kami buat sesaat sebelum ijab kabul diucapkan.
Aku sudah menyiapkan semuanya jauh-jauh hari. Meski awalnya aku sangat marah tetapi hari ini aku bersyukur. Setidaknya, perempuan berkulit salju dengan pipi merona itu memberiku tanda akan datangnya badai. Hanya orang-orang bodoh yang tak bersiap jika telah tahu badai akan datang, bukan?
Aku menarik napas panjang, berjalan meninggalkan balkon kamar, meraih koper bewarna hitam pekat yang sudah setia berjajar sejak jam tiga dini hari tadi. Sebelum menutup pintu, aku menoleh pada sosok Bima yang masih tidur dengan lelap.
“Selamat tinggal, Sayang. Selamat menikmati badai.”
Aku menutup pintu dan berjalan dengan tenang menuju garasi. Kunyalakan mesin kemudian melaju meninggalkan rumah kami yang penuh kenangan. Ponselku berdering.
“Ya, Pak. Semuanya sudah selesai, kan?” Tanyaku datar.
“Sudah, Bu. Surat pisah harta dan perjanjian pranikah menyelamatkan semua aset ibu.”
Aku tersenyum menutup telepon. Aku sudah merelakan Bima dan hatinya. Aku akan kembali memakai jas putihku dan melanjutkan hidup seperti biasa, seperti tak terjadi apa-apa. Dan memang tidak terjadi apa-apa. Bima hanya perlu mencari pekerjaan baru, rumah baru, surat nikah baru dan tentu saja mulai bekerja keras mengumpulkan aset-aset baru.
Bagus sekali. Sangat menyentuh.
Terima kasih
keren di ending. kejutan luar biasa