Kami menoleh ke arah di mana suara tersebut berasal, yaitu sisi kiri ruangan.
Di tempat itu terdapat sebuah meja bar dari kayu dengan empat buah kursi. Dari balik meja tersebut, seorang lelaki tinggi dan tegap berdiri memunggungi kami. Dari gerakan tangannya, kuduga dia sedang mengelap gelas atau piring. Kemejanya yang berwarna hitam terlihat kontras dengan tali apron berwarna merah terang yang melingkar di kerah serta pinggangnya. Rambutnya yang agak kecokelatan mengilat terkena sinar lampu.
Namun yang membuat aku dan teman-teman tertegun adalah fakta bahwa pria itu seolah muncul begitu saja, tanpa permulaan dan proses alias tiba-tiba. Aku, Fiora, Olla, dan Orish mulai berkeringat dingin. Akan tetapi, badan kami tiba-tiba kaku tak dapat digerakkan lalu dengan cemas kami memandangi punggung pria tersebut.
Menyadari kesunyian kami yang ganjil, pria itu berbalik. Dan rasanya jantungku langsung berhenti. Bukan hanya karena takut dan cemas namun ada perasaan lain yang tak dapat aku jelaskan.
Pria itu memiliki pesona yang bisa seketika menjerat hati gadis mana pun yang dia temui. Dengan garis rahang yang bagus dengan kombinasi alis tebal, mata, hidung, serta mulut yang serasi satu sama lain. Dia mampu membuatku, Fiora, Olla, dan Orish terkesima. Seakan belum cukup, tatapannya yang tajam memberi kesan seolah dia karakter jagoan tanpa kostum yang merangkak keluar dari halaman buku komik. Melihat gelagat kami yang kikuk, dia tersenyum. Entah geli atau heran, aku tak peduli sebab yang ada di mataku hanyalah sepasang cekungan pada pipinya yang sungguh menawan!
“Halo??” Sapanya lagi, dengan suara rendah yang pada momen ini terdengar begitu seksi. “Apa yang bisa kubantu untuk kalian?”
Fiora ternyata telah berhasil mendapatkan suaranya kembali. “Ehm, selamat malam. Namaku Fiora, ini Olla, Orish, dan Laras. Kami mau makan malam di sini.”
Seketika jantungku kembali berdebar. Namun kali ini begitu keras seolah ingin menembus rongga dadaku. Kakiku juga belum berhenti gemetar. Apa yang tengah Fiora pikirkan? Sememikat apa pun pria di hadapan kami ini, kami sedang memasuki tempat yang dikenal sebagai sarang kanibal. Dan Fiora baru saja mengatakan sesuatu yang berisiko—apakah kami berempat akan menjadi korban selanjutnya?
Mata si pria tampan menyipit. “Baiklah,” Katanya kemudian. “Silakan duduk di mana pun kalian suka. Ngomong-ngomong kalian datang dari mana?”
“Dari kota sebelah,” Jawab Fiora spontan.
“Kalian tidak sedang berwisata, ya?” Tanya si tampan. “Kompleks tugu dan benteng peninggalan Belanda, kan sedang ditutup untuk dibersihkan.”
“Ya. Kami hanya berkunjung ke rumah kerabat yang tinggal di kota ini.”
“Kerabat?”
“Ya.”
“Dia tidak melarang kalian datang kemari?” Alis tebal pria itu bertaut. “Aneh sekali.”
Kami berempat kembali terdiam dengan ekspresi canggung. Hal ini membuat dahi si pria berapron bekerut lebih dalam.
“Saudara kami itu ternyata tidak sedang berada di rumah!”
Perkataan spontan Olla membuat aku, Fiora dan Orish terkejut sekaligus lega di waktu yang bersamaan.
“Itu benar!” Orish refleks menimpali. “Karena itu kami datang kemari sebelum naik taksi untuk pulang ke kota kami. Kalau macet, perjalanannya bisa memakan waktu lebih dari satu jam.”
Si pria tampan mengejap. “Oke,” Ujarnya kemudian dengan ekspresi yang tampak tak yakin.
“Kau bekerja sendirian?” Tanyaku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Sambil mengangguk pria itu menjawab, “Restoran ini merupakan bisnis keluarga. Tapi sayangnya untuk beberapa waktu terakhir, hanya aku yang punya cukup waktu untuk mengurus segalanya.”
Sebelum aku sempat bertanya lagi tentang mengapa dia masih bekerja jika tahu tak akan ada yang datang, Fiora menarik lenganku untuk duduk di salah satu meja yang terletak di dekat pintu. Pintar! Kalau ada apa-apa kami bisa langsung lari.
Si pria berapron melangkah mendekati kami dan menyodorkan empat buah buku menu. “Kalau mau yang spesial, silakan pilih yang tertulis di sana,” Katanya sambil menunjuk sebuah panel hijau pada dinding di dekat meja bar. “Panggil aku kalau kalian sudah menentukan pilihan.”
“Kau memasak semuanya sendiri?” Tanya Olla tanpa melepaskan pandangan dari si pelayan atau entah harus kami sebut apa dia.
Sambil menarik napas yang dalam pria itu menjawab, “Kalau wanita zaman sekarang bisa menjadi presiden atau kanselir, mengapa laki-laki tidak bisa memasak?”
Sejurus kemudian dia kembali ke belakang meja bar untuk melanjutkan kegiatannya yang tadi sempat tertunda.
“Kalian boleh menganggapku menyebalkan, tapi aku tidak akan berbohong untuk mengingkari bahwa meskipun sedikit menakutkan dia tetap memesona,” Bisik Orish yang memang selalu lemah terhadap pria-pria berwajah rupawan. “Ngomong-ngomong dia keturunan Raden Dewantara yang ke berapa, ya?”
Tanpa tertarik untuk menebak pertanyaan Orish, kubaca lembaran menu di hadapanku. Hutspot, bubble and squeak, roast meat, dan berjenis-jenis makanan berbahan dasar daging lainnya. Tiba-tiba aku merinding. Potongan sebuah adegan dalam salah satu film klasik tentang pembunuh yang memotong para korbannya hidup-hidup dengan gergaji mesin melintas. Daging apa yang digunakan dalam semua masakan ini?
“Fi, kamu yakin dengan semua ini?” Bisikku pada Fiora selagi rasa asin mulai memenuhi lidahku.
“Seperti rencana awal, kita tetap harus memesan sesuatu tapi tidak usah memakannya.”
“Kau yakin dia tak akan curiga?” Tanya Olla skeptis sambil mengedik pada si pelayan.
Fiora menarik beberapa lembar tisu dari dalam saku jaketnya. “Kita masukan makanannya dalam lembaran tisu ketika dia tidak melihat, lalu kita simpan dalam saku. Setelah pergi dari sini kita buang. Atau kita bawa ke laboratorium saja untuk diteliti.” Mata gadis ambisius itu seketika berbinar saat mengatakan hal ini.
“Kalau begitu kita pesan hutspot saja,” Saran Orish. “Dagingnya, kan sudah dipotong kecil-kecil.”
“Jangan!” Cegah Olla. “Steik akan lebih mudah dibungkus dengan tisu karena lebih kering.”
“Ehem!” Sebuah dehaman menyentakkan kami semua. Rupanya si pelayan yang lagi-lagi sedang mengelap gelas. Meski tak ada reaksi tambahan yang ditunjukkannya terhadap perdebatan kami, tak susah untuk mengerti bahwa yang diinginkannya adalah suasana yang tenang.
“Tunggu sebentar ya,” Teriak Fiora padanya sambil tersenyum sok polos. Lalu dia menoleh padaku, Olla, dan Orish. “Baiklah, kalian tunggu di sini.” berikutnya dia berdiri dan menghampiri meja bar, mengatakan pesanan yang tadi telah kami diskusikan, kemudian kembali duduk.
Si pelayan sempat mengangkat pundak sebelum mulai bekerja. Anehnya, dia begitu cekatan sebab tak lama berselang pesanan kami sudah diantarkan ke meja. “Ada lagi?” Tanyanya.
“Sudah cukup!” Jawabku cepat-cepat.
Alis si pelayan sedikit bertaut meski tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya.
“Ngomong-ngomong,” Kata Orish. “Kami belum tahu siapa namamu.”
Setelah terdiam cukup lama pria itu menjawab, “Alan. Alan Dewantara.”
“Oke.”
Kutatap steik dihadapanku dengan ragu-ragu. Kelihatan tak jauh berbeda dengan steik-steik lain yang pernah kumakan. Warnanya coklat kemerahan. Baunya pun normal, bahkan terkesan begitu lezat. Tapi aku masih belum ingin menyentuhnya. Kulirik ketiga temanku dan mereka pun menunjukkan sikap serupa.
“Ada masalah?” Pertanyaan Alan Dewantara mengagetkan kami. Keningnya bekerut dalam-dalam. Tatapannya yang tajam mulai menyapu kami berempat satu per satu, membuatku dan teman-teman semakin gelisah.
“Tidak ada,” Jawab kami pelan namun hampir serempak.
“Kalian yakin?”
Ada sesuatu yang membuat cara bertanya anggota keluarga Dewantara tersebut terasa begitu intimidatif. Entah intonasi tenangnya yang penuh penekanan atau sorot matanya yang seolah ‘menelanjangi’ pikiran kami. Maka aku hanya terdiam dengan gamang saat melihat Fiora mulai meraih garpunya. Lalu dengan hati-hati dia mengiris daging. Sambil melirik Alan Dewantara dengan cemas, didekatkannya potongan daging tersebut ke mulutnya.
Perutku mulai menggelegak. Adegan-adegan sensasional dalam film Jagal memang sangat memanjakan mata. Tapi dalam konteks kenyataan, semua itu sama sekali tak manusiawi.
Kemudian Olla dan Orish mulai menyentuh pisau dan garpu mereka sementara aku sendiri belum berminat melakukan hal serupa. Bulu tengkukku merinding. Dalam gerakan lambat kuperhatikan Fiora memasukkan makanannya ke mulut. Aku mulai sesak napas.
“Bagaimana?” Tanya Alan lagi setelah Fiora menggigit dagingnya.
Sambil mengunyah pelan-pelan temanku menjawab, “Rasanya luar biasa.”
Salah satu sudut mulut Alan tertarik ke atas sebelum dia berkata, “Kalau kalian membutuhkanku, pencet saja bel yang ada di meja bar. Aku ada di belakang, membuang sampah.”
Kami berempat memperhatikan pria itu melepas apronnya dan melemparkan benda itu ke sebuah kursi di balik meja bar sebelum akhirnya meninggalkan kami dengan langkah-langkah panjang.
Kami semua langsung menoleh pada Fiora.
“Fi?” Tanya Olla dengan tidak sabar. “Kau mau muntah? Sini, muntahkan!” Katanya sambil menyodorkan mangkuk saus.
Sambil menggeleng Fiora menjawab, “Rasanya tak jauh berbeda dengan daging-daging pada umumnya. Bahkan aku harus mengakui bahwa steik ini adalah yang paling enak yang pernah kumakan. Kalau tak percaya kalian coba saja.”
Orish mulai mengendus steiknya. “Baunya memang lezat. Baiklah, aku akan mencoba sedikit, kau benar, Fi. Enak sekali!” Detik berikutnya Olla pun melakukan hal yang sama. Dan reaksinya menunjukkan persetujuan terhadap opini Fiora dan Orish.
Aku sendiri masih melipat tanganku di bawah meja dan terus bertanya-tanya. Mungkinkah steik yang dimakan oleh teman-temanku berasal dari lembu biasa? Tapi bagaimana jika semua jenis daging memiliki rasa yang sama ketika sudah dimasak, termasuk daging manusia?
Ilusi perut yang terbelah oleh sebuah kapak tiba-tiba melintas di depan mataku. Bersamaan dengan itu, lambungku terasa seperti disodok dengan sebuah tongkat besi.
“Ras? Kau tak mau mencobanya?” Tanya Fiora.
Aku tersentak dan menggeleng pelan. “Tidak! kalian tahu, kan kalau aku tak terlalu suka daging?” Jawabku sebisanya. Aku merasa ada yang naik ke tenggorokan saat aroma daging bercampur saus merangsek ke dalam rongga hidung. Aku harus mencari tempat yang ideal untuk meredakan rasa sakit ini! Mendadak kutemukan sebuah ide. “Teman-teman, kurasa aku harus menelepon seseorang. Kutinggal sebentar, ya.”
“Pasti Eric,” Goda Orish sambil tersenyum lebar. “Pantas saja Laras terlihat galau sejak tadi. Menunggu telepon dari pacar rupanya.”
“Sampaikan salam kami ya,” Kata Fiora sementara aku melangkah ke arah yang sebelumnya dituju Alan Dewantara sambil mencari tempat ke mana seharusnya aku pergi.
Ketika membelok di sebuah lorong, kutemukan dua buah pintu di bawah tulisan toilet. Tanpa berpikir panjang kumasuki pintu di sebelah kanan yang berhiaskan gambar wanita. Sesampainya di depan wastafel, kumuntahkan suatu cairan kental meski belum ada makanan yang masuk ke perutku malam itu.
Mataku berkunang-kunang dan leherku tercekat. Namun lega rasanya. Setelah mencuci muka aku bergegas untuk bergabung kembali dengan teman-temanku guna mengajak mereka pergi. Akan tetapi, langkahku tiba-tiba terhenti.
Di ujung lorong di mana aku berada, terdapat sebuah pintu dengan suatu kaca buram pada bagian atasnya. Di bawah kaca tersebut terdapat suatu tulisan yang berisi larangan untuk masuk. Meski buram, tetap dapat kulihat betapa kaca tersebut berembun pekat. Keningku berkerut mengingat hawa di seluruh restoran terasa begitu hangat.
Setengah tak sadar, kudekati pintu itu. Kuputar pegangan yang terletak di atas lubang kunci. Sungguh aneh! Pintu ini terbuka begitu saja.
Aku dorong sedikit daun pintu untuk mengintip. Suatu ruangan bercat putih yang cukup lebar terlihat. Ruangan tersebut diterangi sebuah lampu gantung yang agak redup nyalanya. Kabut tebal entah dari mana asalnya melayang-layang di seluruh ruangan. Hawa dingin yang ditebarkan kabut itu membuat bulu tengkukku berdiri. Anehnya, tercium suatu bau anyir yang memenuhi udara.
Tempat apa ini? Tanyaku dalam hati. Seketika aku merinding namun bodohnya tidak segera lari. Justru sebaliknya, kubuka pintu tersebut lebih lebar sehingga dapat kulihat sejumlah bidang persegi panjang—yang tampaknya adalah lemari es—berjejer seperti domino dan memenuhi setengah lebar ruangan.
Aku jarang melakukan tindakan gegabah. Namun entah mengapa saat itu rasa penasaran membutakanku. Secara refleks aku melangkah memasuki ruangan aneh tersebut tanpa memikirkan fakta bahwa tempat itu terlarang. Yang kuinginkan saat itu adalah mengetahui apa yang terdapat di dalam sekumpulan lemari es besar tersebut.
Lucunya, aku tak segera membuka lemari pertama yang letaknya paling dekat denganku. Aku justru berkeliling, melihat-lihat kumpulan tempat penyimpanan tersebut satu per satu. Sesampainya di dekat sebuah lemari yang terletak pada baris kedua dari belakang, kulihat suatu pemandangan yang ganjil.
Pada lantai di bawah benda tersebut, terdapat suatu genangan berwarna merah yang tampak sedikit membeku karena suhu ruangan. Kuikuti aliran yang menuju ke arah permulaan genangan tersebut, yakni sekumpulan garis-garis berwarna merah yang terpotong oleh pintu lemari es.
Aliran darahku rasanya terhenti bersamaan dengan terciumnya anyir yang kian menguat. Otakku terasa berhenti bekerja, namun anehnya tanganku terulur perlahan.
Tak sampai sedetik setelah pintu lemari es terbuka, aku terpekik. Kedua lututku lemas dan sulit digerakkan. Dengan susah payah aku beringsut menuju pintu ruangan. Jantungku terus berdebar dan keringat dingin mulai membasahi kening.
Tapi pintunya terkunci!
Bersambung