Abdullah Mushabbir Lulusan antropologi UB. Menulis di Sediksi.com dan Kolonian.is. Cerpennya "Musa dan Nabi Lain yang Memberinya Topi" mendapat penghargaan Koloni Sastra Awards 2023 Kategori Cerpen. Terpilih pada berbagai workshop kepenulisan seperti Kelas Bunga Matahari untuk kritik film Sewon Screening 9, Pelatihan Menulis Esai tentang Kayutangan dan Lokakarya Menulis Cerpen Festival Sastra Kota Malang 2023. Saat ini tertarik membaca sastra Rusia dan mendalami kritik film.

Musa dan Nabi Lain yang Memberinya Topi

7 min read

Musa dan Nabi Lain yang Memberinya Topi-Kolonian

“Yang kuceritakan adalah kehidupan, bukan berarti yang tidak kuceritakan adalah kematian,” Ia mengatakannya seolah-olah bersabda menjawab pertanyaanku tentang kelanjutan ceritanya. Namun perbincangan kami mesti berakhir. Sesuai perjanjian kami sebelumnya, dia hanya akan menemaniku selama seratus hari pertama di Neraka. Selanjutnya ia akan meneruskan langkahnya sendiri. Ia mesti terus berjalan menuju pintu Tuhan, jutaan hari dari sini. Untuk itu ia beranjak dari duduknya, melompati kepala-kepala yang terendam dalam lautan darah.

“Kalau ingin mendengarkan ceritanya, ikutilah aku.”

Maka, aku mengikuti tengkorak berjalan itu. Tapi ia hanya rangka kepala. Tengkorak berjalan itu ditopang tongkat panjang. Ia bertahan dari panas api Neraka dengan bantuan tongkat itu.

***

Kisah tongkat itu sendiri diceritakan pada hari ke-72 ketika ombak api meluncur ke arahku. Namun hanya mengenai sebagian kaki kanan—dari bawah lutut hingga ujung jari dan tumit. Kulitku terkelupas, menampakkan otot daging mencair dan remuknya tulang belulang. Butuh dua hingga tiga hari sebelum kaki kananku ke wujudnya yang semula. Itu pun mesti kujauhkan dari pantai Neraka dengan batu-batu bara sebagai pasirnya. Selama waktu menyembuhkan kakiku, sang Tengkorak menceritakan asal mula tubuh tongkatnya.

“Nabi Musa memukul laut dengan amat keras,” Ia memulai semua kisahnya dengan nama Nabi. “Otot-ototnya sepadat batu meteorit, lengannya sebesar semangka ranum,” Begitu ia menggambarkan. Sang Tengkorak hanyalah sebutir pasir di masa itu belum mendapatkan kekuatan apa pun, tidak seperti bayi manusia yang sudah bisa menangis. Oleh karenanya ia hanya bisa menyaksikan dunia dan berjanji pada diri sendiri akan menceritakan peristiwa itu.

“Bukankah ia hanya memukul batu di tepi pantai?” Tengkorak itu menggeleng, menolak pemikiranku. “Tapi orang-orang menceritakannya seperti itu!”

“Lalu laut akan membelah begitu saja? Tidak mungkin! Nabi Musa tidak selemah yang orang bayangkan. Kalau ia hendak kabur ke pulau di seberang, ia mesti memukulkan tongkatnya tidak hanya mencelupkan sepucuk kayu lalu Tuhan membantunya. Tidak begitu! Aku saja sampai terombang-ambing melihat kehebatannya.”

“Lalu bagaimana selanjutnya?”

“Seperti yang orang katakan, sang Raja Kafir mengejarnya di belakang dengan kereta kudanya yang gagah. Namun keputusasaan Bani Israel sudah begitu kalut membuat mereka berlari tunggang-langgang agar tak tertangkap.”

“Nah itu,” Aku mencoba rasa penasaranku, mengipasi kaki kananku yang mulai tumbuh tulang dan otot-ototnya, “Bagaimana cara Musa menutup kembali lautnya?”

“Ha? Untuk apa dia menutup laut? Toh, air laut akan kembali lagi seperti biasa. Fisika! Fisika!” Tengkorak itu mengarahkan tangan ke kepalanya, yang sangat kuyakini tak ada apa-apa di sana, bahkan pangkal otak sekalipun! “Kau tak tahu bahwa air akan selalu memenuhi ruang yang ditempatinya? Kau tak tahu bahwa air akan selalu turun mengikuti gravitasi? Ya seperti itulah gambarannya. Sayang, sang Raja terlalu lambat. Maka tenggelamlah ia dalam kesombongannya.”

“Kalau begitu ia bukan sombong,” Aku memprotes. “Ia hanya salah perhitungan saja.”

“Apa bedanya salah perhitungan dengan bodoh?” Tengkorak itu menimpali. “Apa bedanya kebodohan dengan kesombongan?”

Aku terdiam. Tengkorak itu melanjutkan.

“Namun aku bersyukur tidak hanya bisa menyaksikan kejadian hebat itu,” Ia mencelupkan jari-jemari kurus tanpa dagingnya ke dalam lava, lalu kaget ketika salah satu balonnya meletup. Aaahhhh! “Aku yang hanya sebutir pasir ternyata ikut tersangkut dalam sela-sela jemari kakinya. Lalu kusaksikan sendiri bagaimana sang Nabi juga bertahan di sisi lain padang pasir meminta Penglihatan kepada Tuhan namun pingsan di atas gunung dan menyendiri hingga 400 tahun.”

Mungkin hingga hari ke-75 ia menyelesaikan kisah Musa-nya lalu berganti pada nabi lain yang tak kukenal namanya semasa hidup. Nabi tanpa nama itulah yang memberinya sebuah topi dari kain kambing untuk melindungi rangka kepalanya—tengkorak tanpa isinya.

***

Pada hari itu ia mengeluarkan sekotak rokok dari saku jubahnya, mendekati sebuah lubang kecil di lantai Neraka untuk sekadar mendapatkan apinya lalu menghisapnya kencang dalam satu napas. Aku memperhatikan asapnya berhamburan tidak hanya dari rahang giginya, tapi juga lubang mata, hidung, hingga retak-retak kecil di ubun-ubunnya. Tulangnya agak menonjol di atas hingga asap-asap itu membentuk sebuah kalimat aneh dalam bahasa yang tidak kumengerti.

“Kau mau juga?” Aku menggeleng. Bahkan hingga kupijak lantai Neraka dan lubang-lubangnya aku mungkin tak akan pernah mencobanya. Lagi pula tawaran itu bukan pertama kali. Aku sudah menolaknya sejak kami bertemu. Yang menarik adalah potret dirinya tergambar di kotak kardus rokok itu. “Ini dirimu?” Aku bertanya meskipun aku tahu ia narsistik najis. Senyum lebar yang menunjukkan gigi gerigi rapinya menjawab semua. Rasa bangganya memulai cerita itu tentang seorang Nabi tanpa ketenaran karena Tuhan menolaknya menjadi Rasul.

“Bani Israel tak cukup baginya,” Ia menyebut para penganut Yahudi itu di awal karena mereka adalah kaum para Nabi, begitu alasan lainnya. “Ia butuh bangsa-bangsa lain untuk mengikuti jalan Tuhan, membimbing mereka pula dalam keimanan. Namun lelaki itu tak sadar bahwa yang mencegahnya datang kepada bangsa-bangsa lain bukanlah Tuhan, tetapi kemampuannya sendiri. Ia tidak memiliki kekuatan untuk menggerakkan Bani Israel. Tak mampu menyuruh mereka membuat kapal agar tak terjebak pada gurun pasir dan oase-oase rindang. Keturunan Ibrahim ini terlalu nyaman berada dalam kenikmatan.”

“Maka Tuhan menguji mereka. Ditambahkannya air-air dalam oase itu, gemuk-gemuk unta yang mereka pelihara. Pohon kurma dan buah-buahan lainnya tidak hanya memenuhi perut, tetapi juga menjadi modal untuk bertukar barang. Kehidupan mereka semakin lama semakin baik. Mereka percaya tanah yang mereka tempati, bumi yang mereka pijak selama ratusan generasi diberkahi Tuhan. Dan karena sang Nabi gagal membujuk mereka untuk pergi ke tempat lain membawa mereka, membantunya mendakwahkan perintah Tuhan, tenggelamlah tanah mereka. Memang tak separah bangsa Sodom yang dibolak-balik seperti nasi dalam penggorengan. Namun kenikmatan dunia tetaplah bencana bagi siapa pun yang terlalu nyaman.”

“Lalu di mana dirimu dalam cerita itu?”
“Aku?” Ia menoleh, mengernyitkan dahinya seolah-olah akan membuat lipatan-lipatan keraguan. “Akulah buah kurma mereka! Yang menjadi saksi kenikmatan tak terhingga namun penuh muslihat. Akulah saksi kehancuran mereka! Tenggelam dalam banjir nikmat dunia namun tak mau bergerak hanya untuk menyeberangi laut. Sayangnya sang Nabi juga tak sekuat Musa. Sebelum diberi wahyu, ia hanya seorang penjahit kecil di sudut kota. Meskipun Bani Israel mempercayai kenabiannya, mereka tak bergerak terhadap perkataan nabi itu. Iman tidak bisa menjadi modal satu-satunya penghidupan mereka.”

Aku terdiam, memikirkan bagaimana ia menjadi pasir dalam kehidupan Musa, lalu berubah menjadi kurma di babak selanjutnya. Tengkorak itu mengambil kembali kotak rokok dari tanganku memperhatikan detail gambar wajahnya.

“Rapi, kan?” Ia menungguku menjawab lalu menatapku. “Kalau aku seberbakat lelaki itu, mungkin aku juga bisa menebak masa depan rupamu.”

“Ah, jadi Nabi itu sudah tahu bahwa kau akan memiliki rupa seperti ini?” Aku merebut kembali kotak rokoknya, menyandingkan gambar itu di samping wajahnya. Hmm, bukan wajah tepatnya. Tengkorak tanpa daging itu benar-benar hanya tulang. “Bukankah kau akan mendapatkan kembali tubuhmu? Kenapa Nabi itu tak menggambar wujud aslimu saja?”

Kalau memang benar gambar itu adalah masa depannya, maka dia tak akan pernah mendapatkan kembali tubuhnya. Sang Tengkorak tak mampu memenuhi tugas yang ia emban selama di bumi, sama seperti sang Nabi yang tak mampu naik ke level rasul. Ah, seharusnya sang Nabi juga bersamanya, namun tak mungkin ia berjalan-jalan di atas lantai neraka.

“Ya, mungkin ini salah satu prediksinya.” Tengkorak berusaha menenangkan diri. Dalam hati ia mungkin beharap bisa mencapai Pintu Tuhan karena memang itu cita-citanya. “Toh, ia benar. Ia benar ketika memprediksi kondisiku ini.”

Kami sama-sama terdiam. Aku sedikit merasa tidak tega untuk bertanya. Tapi perjalanan adalah tentang pertanyaan. Tanpa satu hal yang dipertanyakan, hari-hari kami tidak akan berlanjut. Maka aku bertanya lagi bagaimana ia mendapatkan topi dari sang Nabi.

“Ia memakan setengah diriku, lalu meletakkan sisa tubuhku di piring.” Tengkorak mengingat-ingat kembali kejadiannya, membayangkan negeri penuh pasir, angin kencang dan badai setiap delapan bulan sekali. “Sepertinya ia berniat puasa, lalu memakanku untuk sahur sekaligus berbuka.”

“Sekaligus?” Selaku.

“Ya, sekaligus,” Si Tengkorak merasa yakin. “Ia sahur dan membuka puasanya di waktu yang sama.”

Ah, aku paham. Nabi itu hanya makan sekali sehari, “Jadi ketika tubuh dagingku habis ia sudah berniat puasa untuk hari ke dua,” Timpal Tengkorak memberikan penjelasan lengkap. “Dan hari itu, setelah ia meletakkan topi kulit kambing di atas piring, Tuhan memanggilnya. Air-air di oase surut. Tanaman-tanaman di kota Israel mati dan buah-buahnya tidak bisa dipetik. Mereka akhirnya sadar bahwa sang Nabi telah tiada. Tapi, toh Tuhan akan mengirimkan pengganti secepatnya, begitu pikir mereka.”

Aku tiba-tiba teringat dengan sebuah legenda dari agama lain yang mungkin tak mempercayai keberadaan Surga atau Neraka di hadapanku yang serupa dengan nabi-nabi Israel. Mereka para penganut agama itu, menyebutnya avatar yaitu perwakilan kekuatan baik alam di antara manusia. Entah bagaimana dengan pemeluk agama itu, toh saat ini semua orang berada di hadapanku—di Neraka.

“Ah, jadi kau menganggap topi itu sebagai pemberian?” Tanyaku lagi.

“Ya, tentu saja,” Jawabnya dengan yakin. Ia memperlihatkan kembali sosoknya yang digambar di kotak rokok. “Toh ada gambar diriku saat ini di topinya.”

Aku mengangguk saja, lalu memalingkan wajah kepada lautan manusia yang bermandikan darahnya sendiri. “Kau bukan Nabi itu, kan?”

“Bukan! Perlu kubilang berapa kali lagi?”

“Ya, mungkin saja. Lagi pula aku tak benar-benar tahu.”

***

Lebih tepatnya, aku benar-benar tak percaya.

Tapi siapa lagi yang akan menafikan hal-hal tak masuk akal, hal-hal gaib penuh misteri ketika kiamat sudah terjadi? Siapa lagi yang akan memejamkan mata, menutup telinga hingga tak mau lagi melihat siksa Neraka? Orang-orang di Surga sudah memanen kebaikan mereka, begitu pula para bajingan di hadapanku, di bawah kakiku, hingga mereka yang berteriak dari jauh. Beberapa di antaranya mengingatku, menyebut namaku nyaring-nyaring beharap aku akan menoleh. Tapi Tengkorak sudah melarangku di awal, “Jangan mencoba menyelamatkan siapa pun. Kau akan tertarik juga ke dalam lubangnya.” Maka aku diam, berjalan lurus melihat titik cahaya di ujung, mengikuti si Tengkorak yang katanya “punya jalan lebih baik.”

Dan ia menyebut titik cahaya itu sebagai “lubang kunci pintu Tuhan.”

“Kau punya kuncinya?” Tanyaku di hari ke sebelas kami memutuskan berjalan bersama; hari ke sebelas sejak aku bertemu dengannya. “Bagaimana kau tahu itu pintu menuju Tuhan?”

“Oh, itu bukan pintu menuju Tuhan.” Ia berhenti sebelum sebuah lubang baru terbuka di lantai Neraka dan menganga di hadapannya.

“Itu pintu Tuhan.”

“Kenapa bukan pintu Surga?”

“Tidakkah malaikat di depan memberitahumu? Bagaimana bisa kau tidak tahu?” Ia menyeretku menjauhi lubang baru itu, memutar ke arah lain. “Pintu Surga ada di arah lain, tapi aku tidak ke sana. Kalau kau mau ke sana kau tidak perlu mengikutiku.”

“Lebih baik mana?” Tanyaku lagi sambil merasakan dingin dari tulang-tulang jemarinya. “Pintu Tuhan atau pintu Surga.”

Tengkorak tidak menjawabnya. Ia hanya menyeretku untuk kemudian berlari. Rupanya sebuah ombak api sedang mengejar kami.

***

“Sepertinya kita pernah satu pesawat,” Katanya suatu hari. Sepertinya saat hari ke-57, ketika beberapa rambutku rontok saat ruang-ruang panas Neraka berubah menjadi gua dengan langit-langit rendah. Kami mesti merangkak dan badan kecilku cukup muat untuk melewatinya. Aku seperti tikus tanah, sedangkan Tengkorak kesulitan hingga menitipkan beberapa tubuhnya. Aku tak percaya mesti membawa topeng-topeng aneh, sapu lidi (entah untuk apa), hingga rangka jari-jemarinya. “Kau pernah ke Bali, kan?”

“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?” Tanyaku balik, menertawakan ide itu dengan konyol. “Memangnya kau masih hidup hingga zamanku?”

“Aku baru mati, sayang!” Tengkorak berhenti dan menoleh. Ia ingin tahu aku marah, tapi gagal menunjukkan raut muka yang pas. “Kau kira aku mati di zaman Nabi?”

“Ya!” Jawabku tegas. “Kukira kau mati dalam Perang Karbala, hingga kau tak tahu kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri setelahnya, keturunan keluarga Nabi yang mendirikan dinasti, atau bahkan kehancuran negeri Islam terakhir.”

“Bagiku semua cerita itu berhenti setelah Nabimu.”

“Hah?”

“Ya,” Ia melanjutkan rangkaknya, menyingkir dari stalaktit-stalaktit api memastikan aku mengikuti, “Aku bahkan tidak benar-benar mengikuti sejarah Nabimu.”

Aku memiringkan kepala, tak yakin bahwa pencerita nabi-nabi ini tak tahu kisah Nabiku. “Tapi kau tahu semua Nabi, kan? Kau menyaksikan hidup mereka?”

“Ya,” Jawabnya pendek.

“Lalu kenapa kau tak tahu Nabiku?”

“Karena aku tak mengikutinya! Apalagi?”

“Sesederhana itu?”

“Ya,” Jawabnya lagi.

“Kenapa?”

“Karena tak perlu!” Ia berdiri setelah pintu gua itu terbuka, menunjukkan sisi lain bukit Neraka yang tak berakhir. “Orang-orang mengembangkan sistem tulis dan menceritakan keberadaan mereka. Untuk apa aku ikut menyaksikannya?”

“Ya karena dia adalah Nabi terbaik!” Pungkasku. “Dia adalah Nabi penutup, Nabi terakhir dari wahyu-wahyu dan mukjizat Tuhan. Muhammad mungkin manusia terakhir yang menyaksikan Jibril!”

“Tidak mungkin,” Jawabnya melanjutkan langkah. “Malaikat itu masih sempat mengunjungiku sebelum mati. Jauh sebelum mati, bahkan.”

“Jadi kau juga menerima wahyu darinya?” Aku mengembalikan barang-barang yang ia titipkan. “Jadi kau juga nabi?”

“Sudah kubilang bukan,” Ia menerima barang-barang itu, mulai memasukkannya di balik jubah. “Aku bukan nabi!”

“Lalu untuk apa Jibril datang padamu jika tidak memberi wahyu?” Aku membantunya memasang kembali jari-jemari ke tempatnya, menyusun tubuhnya sesuai semula. “Memangnya ia boleh berlibur? Berpelesir ke mana pun ia mau?”

“Tidak bolehkah?” Tengkorak bertanya balik. Aku terdiam, menopang dagu, memandang lautan api yang tanpa ujung. Ini sudah lebih dari lima puluh hari dan masih ada lima gunung lagi yang harus kulewati. Pertanyaan bolehkah Jibril berlibur? membuatku termenung. Kami sama-sama duduk di sebuah batu (api neraka belum menyentuhnya) untuk istirahat. Mungkin aku juga mesti berkenalan dengan para Malaikat.

Abdullah Mushabbir Lulusan antropologi UB. Menulis di Sediksi.com dan Kolonian.is. Cerpennya "Musa dan Nabi Lain yang Memberinya Topi" mendapat penghargaan Koloni Sastra Awards 2023 Kategori Cerpen. Terpilih pada berbagai workshop kepenulisan seperti Kelas Bunga Matahari untuk kritik film Sewon Screening 9, Pelatihan Menulis Esai tentang Kayutangan dan Lokakarya Menulis Cerpen Festival Sastra Kota Malang 2023. Saat ini tertarik membaca sastra Rusia dan mendalami kritik film.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.