Intanera Penulis cerita misteri, thriller dan suspense. Novel perdana Drama Vendetta diterbitkan oleh Laksana, Diva Press Group. Follow Instagram: @intaneraauthor

Restoran Vlees (Bagian Satu)

5 min read

Restoran Vlees - Kolonian

Dengan mata nanar dan napas yang tercekat, kulihat Olla terbatuk-batuk. Air mineral yang baru saja dia teguk kembali termuntahkan hingga mengotori tas jinjing yang ada di pangkuannya.

“Pelan-pelan, Ola! Ambil napas pelan-pelan.” Orish yang duduk satu bangku dengan Olla memberi instruksi sembari mengelus-elus punggung sahabat kami yang berkacamata itu.

Di sisi lain, Fiora sama terdiamnya seperti aku. Hanya saja, aku terpaku karena syok seperti halnya Olla, sementara Fiora terheran-heran akan reaksi yang diterimanya dalam hitungan detik setelah mencetuskan ide liputan.

“Jangan gila, Fi!” Seru Olla ketika napasnya kembali ia kuasai, “Kau mau mengajak kami bertiga bunuh diri?”

Fiora memutar bola matanya dengan ekspresi jengah, “Kau selalu bereaksi secara berlebihan.”

Mata Olla yang masih memerah sontak terbelalak sehingga Orish menatapku dengan raut wajah cemas kalau-kalau suatu pertengkaran hebat akan segera pecah. Untungnya, tidak banyak mahasiswa yang terlihat berlalu-lalang di taman depan kampus pada sore hari yang berangin ini.

Fiora mengangkat bahu tanpa beban, “Selama dua pekan, tidak ada kasak-kusuk paling sensasional di kota ini selain tentang penjaga pintu air bernama Salim yang sedang bersepeda pulang saat melihat pemilik restoran memasukkan sebuah karung besar ke bagasi mobil. Dan itu terjadi pada pukul tiga dini hari!” Intonasinya menguat pada dua frasa terakhir, “Aktivitas itu wajar kalau tidak dilakukan seseorang yang memiliki reputasi sebagai …”

“Stop! Jangan diteruskan!”

Aku, Fiora dan Orish hanya saling lirik penuh pemahaman. Di antara kami berempat, Olla memang paling emosional.

Sejujurnya, aku sendiri pun keberatan atas ide Fiora. Meski selama ini dikenal sebagai yang paling setia kawan dengannya dan hadiah yang ditawarkan oleh pengasuh buletin kampus untuk artikel terbaik begitu menggiurkan, memasuki Restoran Vlees adalah tindakan yang bagiku terlalu berisiko.

Bukannya apa-apa, restoran yang dimiliki oleh suatu klan bernama Keluarga Dewantara tersebut memiliki citra yang cukup mengundang pro dan kontra di masyarakat. Restoran itu sudah berdiri sejak zaman pendudukan Belanda. Perintisnya ialah Almarhum Raden Dewantara yang pada abad ini sudah bercanggah, terkenal sebagai koki andal yang sering diminta memasak jamuan untuk pesta di loji-loji kompeni. Tapi bukan itu pro dan kontranya.

Menurut berita—yang tak bisa kutentukan sebagai kabar burung atau bukan, Keluarga Dewantara adalah para pengikut suatu sekte yang mempraktikkan kanibalisme. Entah siapa yang kali pertama mengatakan hal ini. Akan tetapi, lebih dari seratus orang di kota kami memiliki cerita sejenis walau berbeda tiap versinya.

Sebelum menjabat, Pak Walikota—yang mengaku sebagai salah satu saksi hidup dari kiprah Raden Dewantara—bercerita bahwa sewaktu kecil dia dan teman-temannya pernah melihat seorang noni Belanda memasuki Restoran Vlees untuk makan siang. Kemudian, noni itu tak pernah terlihat meninggalkan restoran hingga beberapa jam lamanya, bahkan hingga malam menjelang sampai seluruh lampu minyak di restoran padam. Dugaan semua orang yang diliputi ketakutan menyatakan, si noni telah diracun oleh Sang Raden lalu mayatnya dijadikan santapan dalam pemujaan keluarga mereka.

Tapi sebagian orang, terutama anak-anak muda seusiaku mempertanyakan kebenaran cerita ini. Pasalnya, klaim yang dibuat oleh orang nomor satu tersebut muncul beberapa minggu sebelum dia terpilih, tepatnya tiga hari setelah munculnya protes dari sejumlah warga kelas pekerja yang mengeluhkan macet di kawasan kota tua, lokasi di mana banyak orang dari luar kota berlibur lalu mampir ke Restoran Vlees untuk makan malam. Banyak yang mengira restoran tersebut akan segera digusur setelah pemilihan. Namun entah mengapa, hal ini tak pernah terealisasi hingga dua tahun masa jabatannya.

Lain lagi dengan pensiunan tukang pos bernama Pak Madi yang juga pernah mengikuti gerilya melawan Jepang. Menurut Pak Madi, pada tahun-tahun berakhirnya kekuasaan Gubernur Jenderal van Limburg Stirum, restoran tersebut pernah didatangi oleh tiga orang kempeitai pada malam hari. Keesokan paginya, tiga pasang tangan dan kaki telanjang ditemukan di rawa-rawa dekat hutan. Walau tak dapat ditentukan apakah potongan-potongan tubuh tersebut milik para kempeitai semalam atau bukan, semua orang tetap menduga bahwa Raden Dewantara berhubungan dengan kejadian nahas tersebut. Lucunya, cerita Pak Madi tidak disebarluaskan sendiri oleh yang bersangkutan. Seorang pegawai pos muda bernama Hariarjo yang dikenal sering kumpul-kumpul di warung kopi mengaku secara langsung mendengar penuturan tersebut dari mulut seniornya di kantor pada minggu pertama dia bekerja, lima tahun yang lalu. Pak Madi sendiri selalu bungkam jika ada orang yang memintanya untuk menceritakan kronologis tersebut secara detail.

Bisa dibilang, kakekku adalah satu-satunya warga senior yang memiliki pemikiran berbeda. Jika semua orang sibuk bertukar praduga, Kakek justru menceritakan hal-hal yang lebih masuk akal tentang keluarga tersebut. Menurut beliau, terlepas dari ketegasannya dalam mendidik anak-anak, Raden Dewantara semasa hidup merupakan seseorang yang sangat jujur. Bahkan seingat Kakek yang waktu itu masih remaja, Sang Raden tak pernah mengucapkan satu kebohongan pun dari mulutnya. Sifat ini menurut Kakek diturunkan pula pada anak-cucunya. Anehnya, sikap Kakek juga agak kontradiktif. Terlepas dari prinsipnya yang tidak mau percaya rumor, Kakek selalu diam-diam bergidik jika secara kebetulan beliau mendengar aku bersama ketiga sahabatku bergosip atau bercanda mengenai menu-menu yang ada di Restoran Vlees. Ditambah lagi, Kakek mengaku belum pernah mencicipi satu pun masakan dari rumah makan tersebut walau ketika masih hidup, Raden Dewantara sering membagikan sisa sup daging pada warga kota yang membutuhkan.

Segala cerita tentang klan Dewantara pun selalu berakhir sebagai misteri. Namun demikian, kanibalisme tetaplah isu yang peka bagi kebanyakan orang. Dan kukira cukup manusiawi jika sebagian besar warga kotaku merasa segan untuk menyantap makanan di restoran yang dikelola oleh orang yang diduga memiliki pola makan tak lazim tersebut. Termasuk aku. Kupikir akan sangat mengerikan jika bahan baku steik yang kumakan berasal dari paha manusia. Dan berita baru dari si penjaga pintu air membangkitkan kembali hantu-hantu ketakutan itu ke permukaan.

Akan tetapi, Fiora yang ambisinya lebih panas daripada lava gunung berapi memiliki seribu alibi (yang dengan penuh paksaan) agar kami tetap melakukan peliputan ini.

“Pokoknya harus! Kita harus bisa menjawab teka-teki tentang karung yang diangkut si pemilik restoran sekaligus misteri turun-temurun keluarga Dewantara yang sampai saat ini belum terungkap. Kalau berhasil, selain mendapatkan jabatan untuk jadi pengurus buletin tahun depan dan tiket berlibur ke Thailand, kita dapat membalas dendam pada tim Moira yang tahun lalu mengalahkan kita dalam lomba vlog tentang kawasan kota tua,” Katanya dengan nada antara rengekan dan intimidasi.

“Entahlah, Fi, aku merasa itu bukan ide yang bagus.”

Protesku membuat mulut Fiora ternganga. Sebaliknya, Olla dan Orish terlihat antusias menyambut penolakanku yang berarti sejalan dengan keberatan mereka.

Tapi bukan Fiora namanya kalau bersedia menyerah begitu saja, “Kita akan datang ke sana saat tempat itu sedang ramai-ramainya. Kita tak harus makan apa-apa. Kita pura-pura pesan saja tapi tak perlu menyentuh makanannya sambil kita cari tahu apakah ada sesuatu yang mencurigakan.”

“Tidak, terima kasih!” Ujar Olla tanpa pikir panjang.

“Kelompok Moira akan meliput tentang agenda pemerintah kota untuk menaikkan angka kunjungan wisatawan dari luar negeri. Mengapa kita tidak membahas hal-hal ‘sehat’ seperti itu juga?” Orish menyebut kembali rencana kompetitor kami yang tak sengaja didengarnya saat sedang berada di dalam salah satu bilik toilet kampus.

“Tidak seru!” Suara Fiora meninggi beberapa desibel, “Kalau kita berhasil mengungkap misteri yang selama ini menyelubungi Restoran Vlees, jumlah pembaca buletin juga akan meningkat dan hal itu akan membuktikan kredibilitas kita,”

Beberapa menit dalam perdebatan berikutnya, seperti biasa kami kalah oleh Fiora.

Maka di sinilah kami berada beberapa jam kemudian, di trotoar seberang jalan Restoran Vlees tepat pada saat malam sedang dingin-dinginnya.

Seperti kebanyakan bangunan di kota kami yang berusia lebih dari seabad, bangunan rumah makan tersebut bergaya Belanda, kental dengan jendela-jendela lebar berjeruji dan tembok tebal. Lampu-lampu listrik bercahaya kuning menambah kesan klasik pada gedung yang berumur ratusan tahun namun tetap kokoh. Menurut Kakek, lantai atas bangunan yang kini tampak tak lagi difungsikan itu dulunya merupakan tempat tinggal Keluarga Dewantara.

“Sejujurnya, aku agak deg-degan,” Ucap Olla memecah kesunyian yang kami ciptakan karena masing-masing sibuk berpikir, “Baiklah, bukannya agak, tapi aku benar-benar deg-degan.”

“Sama,” Timpal Orish. Lalu sambil menoleh pada Fiora dia berkata, “apa sudah terlambat untuk berubah pikiran?”

Fiora melotot, “Tidak bisa! Kita sudah datang kemari, dan akan sia-sia sekali kalau kita kembali ke rumah.”

“Iya, iya. Aku, kan hanya bertanya.”

“Diamlah, kalian!” protesku pada mereka semua, “Fi, kau yakin kita akan ke sana? Lihat, tak ada kendaraan yang terparkir di halaman kecuali mobil si pemilik. Restoran itu tidak didatangi pengunjung malam ini.”

Fiora mengejap. Tampaknya dia tengah mempertimbangkan argumenku. Namun beberapa detik berikutnya dia berkata, “tidakkah kalian perhatikan orang-orang dari luar kota yang datang dan berlibur kemari? Mereka semua selalu mampir ke restoran itu tapi tak pernah ada yang mati atau tertimpa hal buruk lainnya. Dan selama ini, kita tak pernah mendengar adanya tuntutan hukum yang ditujukan pada Keluarga Dewantara dari mereka, kan? Tuntutan yang mengindikasikan bahwa keluarga itu memang seperti yang dibicarakan orang? Apa ini berarti kakekmu benar, Ras? Bahwa desas-desus tentang keluarga itu cuma omong kosong?”

Aku tertegun. Hipotesis Fiora ada benarnya juga. Namun belum sempat aku membuka mulut, Fiora sudah melangkah menyeberangi jalan.

“Fi, tunggu!” Seru Orish.

“Iya, Fi. Jangan buru-buru bertindak bodoh!” Teriak Olla dengan lebih histeris.

Tanpa banyak berkata, kutarik tangan mereka berdua dan kami bertiga menyeberang mengikuti Fiora.

Setibanya di depan restoran, Fiora menggeser pintu kaca dorong—yang merupakan salah satu dari sedikit ornamen modern yang ditambahkan pada bangunan. Hawa hangat langsung menerpa kami begitu pintu terbuka. Lucunya, kakiku justru sedikit gemetar. Fiora melangkah lebih dahulu, menyusul kemudian Olla, lalu Orish, terakhir aku.

Kami layangkan pandangan ke seluruh ruangan. Terlepas dari kontroversinya, tempat ini ternyata begitu indah. Dindingnya bercat kuning dan dipenuhi lukisan serta berbagai ornamen dari keramik atau porselen. Lantainya terbuat dari ubin batu kotak-kotak berukuran besar. Pada sudut-sudut ruangan, terdapat patung-patung surealis dari kayu yang mengingatkanku akan kerajinan milik Suku Asmat. Lampu gantung khas zaman Belanda juga masih menghias langit-langit, namun di dalamnya telah berisi bola lampu listrik. Uniknya lagi, terdapat sebuah tempat bermain untuk anak-anak pada sudut ruangan di sisi kanan. Tempat itu tertutup oleh anyaman kawat dan dipenuhi bola berwarna-warni. Dindingnya dihiasi gambar mural berbagai binatang. Sungguh jauh dari kesan muram ala film-film noir yang sebelumnya ada dalam imajinasiku.

“Selamat datang,” Sebuah suara rendah menyentakkan kami berempat.

Bersambung

Intanera Penulis cerita misteri, thriller dan suspense. Novel perdana Drama Vendetta diterbitkan oleh Laksana, Diva Press Group. Follow Instagram: @intaneraauthor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.