Bapak senang cerita, cerita Bapak juga banyak bumbunya kadang pedas, kadang asin, kadang manis. Tiap kali Bapak cerita kisahnya asyik. Hewan muncul bicara dengan hewan, hewan muncul bicara dengan manusia, hewan kayak manusia, sampai manusia kayak hewan.
Bapak suka seni dan olahraga, Japin Carita, Mamanda, juga sepakbola—meski Bapak lebih suka teriak-teriaknya saja. Tapi kemarin Bapak kelihatan beda. Bapak keasyikan marah-marah. Mukanya merah padam, dari mulutnya meletus-letus nama hewan, yang saya tidak tahu itu benar-benar hewan, atau hewan yang kayak manusia atau sebaliknya?
Saya kenal Bapak dan saya tahu Bapak tidak senang berkelahi, tapi kok Bapak senang kata-katai orang. Saya bingung, ada banyak nama hari ini—yang bukan hewan—seperti Supriyadi, Soekarno, Soeharto. Saya tidak paham Bapak bicara apa, katanya nama-nama itu ada di buku sejarah. Sehari-hari saya cuma belajar PPKI dan BPUPKI di buku. Saya kenal Soekarno, beliau insinyur, bapak proklamator bangsa Indonesia, presiden pertama kita. Tapi Bapak juga bilang kalau Mochtar Lubis tidak menyukai dia, saya bingung Soekarno salah apa. Lalu Soeharto, saya suka beliau karena murah senyum dan berwibawa. Tapi lagi-lagi Bapak bilang Soeharto jahat. Jahat kata siapa? saya tambah bingung, kata Bapak, atau kata Mochtar Lubis?
Bapak masih marah-marah, kemudian singgung-singgung Munir. Munir siapa lagi!?
Bapak bilang, Munir meninggal dunia saat di perjalanan pergi sekolah. Innalillahi. Saya malah jadi takut untuk sekolah, tapi Bapak marahi saya. Saya tidak ingin adu argumen dengan orangtua, takut dosa.
Bapak lanjut banyak bicara, mulut Bapak tidak lagi hanya di muka, di tangan ada, di kaki ada, di perut juga ada.
“Katanya ia diracun waktu mau terbang ke Belanda.”
“Kata siapa, Pak?”
“Bapak, lah!”
“Kok Bapak tahu? Bapak pernah ke Belanda?”
“Kamu kok banyak tanya?”
Bapak nyerocos lagi. Mulut Bapak terus-terusan tumbuh.
Saya ingat-ingat pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam. Ibu guru bilang begini, “Bintang yang kita lihat di langit itu sebenarnya sudah mati beribu tahun yang lalu.” Kalau dicocokkan dengan apa yang dikatakan Bapak, Munir itu meninggal di angkasa, sebab Bapak bilang terbang dan bukan jalan kaki. Apakah Munir ini bintang-bintang? Saya izin ke Bapak mau ke halaman.
“Ke mana?”
“Lihat Munir!”
“Enggak usah, Munir sudah enggak ada!”
Saya digiring Bapak ke kamar. Tapi tak ada dongeng lagi. Saya mulai pikir-pikir, jangan-jangan dari tadi Bapak bercanda. Mulut Bapak sudah tak banyak lagi, tinggal satu dan dikulum senyum. Bapak kasih saya ke Ibu. Saya tidak tahu, saya diracun atau tidak, saya tiba-tiba tertidur.
***
Esok harinya saya tanya-tanya ke Ibu Guru. Ibu Guru bilang, “Enggak ada nama bintang itu Munir, ibu juga enggak tahu sih siapa yang beri bintang nama. Mending kamu saja yang kasih nama itu bintang-bintang.” Saya bingung, Ibu Guru kok suka bercanda. Bintang kan, ada di angkasa, sulit untuk saya menempelinya dengan kertas nama. Saya jadi ketat belajar sejarah, saya pergi ke perpustakaan tapi di sana isinya buku berat semua—saya tidak suka buku tebal. Ibu Guru senang saya belajar, lalu beliau kasih komik dan bilang, “Ada Munirnya!”
***
Saya tilik-tilik isinya, ini buku sama sekali tidak ada bintangnya. Saya tambah tak yakin, Ibu Guru bisa saja membohongi saya. Sampulnya saja bergambar orang orasi, orang yang senang teriak-teriak. Tak mungkin bintang senang teriak-teriak. Kan, di langit tidak ada udara. Bicara itu merambat lewat udara, jadi di langit enggak bisa banyak omong. Makanya kalau ingin pintar, kata Bapak banyak-banyaklah doa dalam hati, jadi enggak perlu takut kalau doanya enggak sampai pada Tuhan di langit.
Saya baru mau baca, mau tilik-tilik lagi isinya, Bapak malah panggil saya. Di rumah memang enggak pernah bisa tenang. Buku itu akhirnya saya letakan di dalam rak. Saya masih tidak tahu, yang bintang itu siapa, yang Munir itu mana. Biar nanti saya tanya ke Bapak saja.
Baru menjejak berapa langkah, saya pikir kalau buku Munir ini ditinggal bisa jadi nanti ada yang pindah. Yasudah saya bawa saja, biar orang yang orasi megap-megap dikepit ketiak saya. Bapak agaknya bingung menatap saya mengapit buku ke sana ke mari. Sekejap langsung Bapak tarik buku itu, lalu tanpa aba-aba teriak sambil senyum-senyum ke saya, “Lha, ini Munir!”
***
Selesai saya membaca buku itu, Munir ada di samping saya. Mungkin karena sudah pengap jadi sampul buku dan berhadapan dengan ketiak saya, Munir jadi sering jalan-jalan keluar dari rumahnya. Munir bilang ia juga senang menulis buku dan berjalan-jalan, “Nanti kamu baca ya buku-bukuku.”
“Enggak, saya tak suka baca kalau tak ada gambarnya!” Munir diam, mungkin bingung mau bicara apa. Sudah biasa saya lihat lidah Munir kelu. Ia kan, seharian banyak bicara dengan saya.
“Saya mau ke toilet, Munir jangan ikut! Nanti punya saya kelihatan.”
Saya tahu Munir orang yang penurut, sebab kata Bapak ia rela mengorbankan diri demi mengobarkan semangat bangsa. Munir tahu kalau ia bakal diracun, tapi kalau ia tak jadi naik pesawat orang-orang bakal bingung mengapa tak jadi, nanti dikira penakutlah, pengecutlah, apa-apalah—bangsa kita kan banyak julidnya. Karena Bapak sangat suka Munir, Bapak senang puji-puji tokoh yang satu itu, “Dilihat-lihat makin lama, Munir ini heroik kayak Demang Lehman, ya?” Saya ingat-ingat, sejarah bilang kalau Demang Lehman meninggal karena dihukum gantung, kepalanya dipenggal lalu dibawa ke Belanda. Saya enggak percaya dengan perumpamaan yang dibuat Bapak, meski sama-sama ke Belanda, Munir yang di samping saya ini masih ada kepalanya.
“Sudah kencingnya?” Munir tanya ke saya.
“Ya. Sudah habis hingga ke khayal-khayalnya. Mari pulang!” Munir ikut jalan kaki dengan saya.
“Ayo lari, biar cepat sampai!” Ucap Munir sembari menepuk pundak saya.
“Lari bisa bikin luka, nanti Ibu mengira saya enggak bisa jaga diri sendiri.”
“Ingat-ingat Aku-nya Chairil Anwar!” ucap Munir lantang sambil berlari-lari menuju ke arah rumah saya. Saya teringat waktu Bapak dengan lantang membacakan puisi itu, kemudian saya meniru gaya Bapak dan teriak-teriak, “Luka dan bisa kubawa berlari, berlari, hingga hilang pedih peri. Dan, aku akan lebih tidak peduli. Aku akan hidup seribu tahun lagi!” Munir tertawa-tawa, saya juga. Saya jatuh, lutut saya jadi luka-luka.
Orang-orang di sepanjang jalan pulang tercengang-cengang ke arah saya. Saya enggak tahu mengapa, dan mereka bilang apa. Saya cuma dengar sedikit, ada anak kecil lari-lari sendirian di jalan kayak orang gila. Kasihan sekali! Seandainya ia punya teman seperti saya dengan Munir, mungkin enggak bakal begitu amat nasibnya.
Beberapa depa lagi sampai rumah, Ibu melambai ke arah saya, “Lama benar pulangnya?”
“Iya, tadi lagi asyik baca-baca.”
Ibu memeluk saya, menggamit tangan sembari mencubit pipi saya. Saya tepis tangan Ibu pelan, “Bu! Saya bukan anak-anak lagi!”
Ibu hanya senyum-senyum saja, tapi Bapak—yang entah muncul dari mana—tiba-tiba saja memukul tangan saya.
“Enggak boleh begitu dengan orang tua!”
Saya hampir menangis, tapi Munir kelihatan senang melihat saya menderita. Saya acuh saja, saya teriak kencang-kencang, “Kalau begini saya enggak ingin hidup seribu tahun lagi, biar Chairil Anwar saja!”
Bapak ikut ketawa, Ibu juga. Saya baru sadar saya ditertawakan satu keluarga, saya malu, saya akhirnya ketawa juga.
Sebelum masuk ke dalam Bapak tanya ke saya, bagaimana pelajaran sejarahnya.
Saya bilang saja, membosankan!
“Mengapa?”
“Enggak ada Munirnya!”
Ibu, Bapak, Munir dan saya ketawa lagi. Ketawa yang tiada habisnya.
***
Akhir-akhir ini saya takut. Kabar angin bilang ada satu keluarga di ujung kampung yang kayak orang gila. Alhamdulillah, kabarnya keluarga itu cuma hidup bertiga, saya jadi tambah yakin itu bukan keluarga saya.
Kami bercengkerama—Bapak, Munir, Ibu, dan saya. Ibu dengan jeli memeriksa kutu di rambut saya. Bapak asyik membunuh kutu yang diberikan oleh ibu. Bapak sembari mukanya senyum-senyum pada saya, ia bicara.
“Bapak pinjam Munir dulu, ya!”