Tali pengikat sapi itu terulur memanjang. Sali mengikatkannya pada tunggul pohon banten yang lebih tinggi dan membiarkan binatang piaraannya merumput di antara sisa-sisa penebangan: ranting-ranting yang berserakan, ceceran serbuk gergaji, bekas tapak sepatu atau tapak kaki berlumpur yang mulai mengering di rerumputan. Dahi Sali mengedut, tampak sedang mengingat-ingat sesuatu—kemarin sore, pohon-pohon banten yang telah menggugurkan daun-daunnya itu masih berdiri kokoh di tempatnya.
“Kenapa kamu berputar-putar di situ saja, Li?” Tegur sebuah suara. “Kamu kira sapimu bisa kenyang makan rumput kotor bekas diinjak-injak orang. Cobalah bawa ke tempat lain!”
Sali membenahi letak topi pandan lebar yang melindungi kepalanya dari terik matahari. Ia menoleh sebentar ke sumber suara. Jayadi—seorang paman dari pihak ibunya—berdiri mengawasinya dengan tatapan sinis.
“Paman tahu sendiri, sapi-sapi harus diikat,” Tanggap Sali. “Mereka sudah memberi peringatan sejak minggu kemarin. Sapi, kambing, kerbau, kalau perlu anjing harus diikat semua.”
“Semua orang juga tahu, Li. Maksud saya, kamu bisa ikat sapimu di tempat yang masih ada rumputnya. Bukan cuma di sini-sini saja. Paham?” Ujar Jayadi dengan wajah masam.
Bukannya menggubris ujaran Jayadi, Sali justru memeriksa tunggul-tunggul sisa penebangan. Getah kuning kecokelatan telah merembes dari bagian batang pohon yang dilukai. Getah itu belum juga mengeras. Sali memetal-metalkan jemarinya dan merasakan gom yang lengket dan lembap. Sesekali ia meringis, merasakan luka sayat memanjang di lengan kirinya. Selepas subuh tadi, ia berniat menerobos pagar bagian timur sirkuit. Hanya butuh celah sempit untuk tubuhnya yang ceking—sebelumnya ia pernah melakukannya secara terang-terangan bersama sejumlah pengunjuk rasa dari wilayah lingkar sirkuit. Namun, sebelum kedua tangannya benar-benar bisa merenggangkan jalinan kawat berduri itu, segerombolan petugas keamanan terlebih dahulu melintas dan nyaris memergokinya. Ia memang selamat dari pantauan petugas, tapi lengan kirinya terluka dan itu membuatnya harus kembali mengambil jalan memutar—jalan yang dibangun seadanya oleh perusahaan untuk seluruh warga kampung yang masih terisolasi di tengah-tengah lokasi pembangunan sirkuit.
“Aneh-aneh saja!” Ujar Sali seraya melolos parang dari sarungnya yang terselip di pinggang. Dengan parang itu, ia menguliti kulit tunggul pohon banten—kira-kira sepanjang jengkal—sebelum kemudian mengerik kambiumnya untuk diborehkan ke lengannya yang terluka. “Setelah disuruh muter-muter di kampung sendiri, seenaknya saja mereka menebangi pohon…”
“Kamu bicara apa, Li?” Sela Jayadi. “Memangnya kamu yang menanam pohon-pohon ini?”
“Apa Paman tahu, kenapa pohon-pohon ini ditebang?” Tanggap Sali.
“Kamu benar-benar tak tahu atau cuma pura-pura? Orang-orang itu memanjat pohon untuk nonton balapan. Mestinya mereka tahu, itu bisa berbahaya buat mereka. Lagi pula, malu dilihat orang luar. Makanya petugas minta pohon-pohon itu ditebang saja. Kamu paham sekarang?”
Sali menggeleng dengan cepat, raut mukanya terlihat bosan. Sejak pagi hingga siang, ia mengantar ayahnya ke Puskesmas. Sali benar-benar tidak tahu bahwa sesuatu telah terjadi sepanjang ia menemani orangtuanya yang sedang terserang batuk-demam. “Benar-benar aneh!” Ujarnya kemudian. “Kalau alasannya malu dilihat orang luar, mereka yang seharusnya malu. Paman tahu sendiri, kan? Persoalan ganti rugi belum beres. Itulah kenapa saya dan bapak masih bertahan sampai sekarang.”
“Tanah bapakmu sudah dibayar, kan?”
“Siapa yang bilang? Mereka yang sering mampir ke rumah Paman itu? Omong kosong!”
“Sudah dibayar separuh, kan?”
“Mestinya mereka bayar penuh dulu, baru bikin sikuit! Mereka pikir kami bodoh?”
Jayadi menatap Sali dengan wajah tidak percaya. “Mereka janji akan bayar penuh setelah acara ini selesai.” Jelasnya. “Semua sudah tahu soal ini. Sekarang, cari jalan aman sajalah! Turuti saja apa kata mereka. Tiga hari lagi balapan ini juga akan selesai. Apa susahnya?”
Sali mendengus, sebelum kemudian melanjutkan mengorek-ngorek tunggul pohon banten dengan ujung parang untuk mengumpulkan lendir kambium dan memborehkannya kembali ke bagian tangannya yang terluka. Ia sedikit mengurut luka itu dan memejamkan matanya barang sebentar; terasa dingin dan sedikit perih. Namun ia percaya—dan ia sudah membuktikannya sejak masih kanak-kanak—bahwa apa yang dilakukannya itu cukup ampuh untuk mengeringkan luka. Agak aneh rasanya mengingat orang yang pertama kali mengajarkan hal itu kepadanya bukan ayahnya, tapi justru Jayadi, pamannya yang kini menanggapi soal penebangan pohon-pohon banten itu dengan sinis. Jayadi jugalah orang pertama yang mendampratnya ketika suatu hari ia bergabung dengan massa pengunjuk rasa. Jayadi bahkan menganggapnya sebagai orang yang tidak tahu apa-apa. Sepertinya di mata Jayadi, Sali tak lebih seorang pemuda yang hanya tahu cara menyabit rumput untuk sapi-sapi miliknya yang gemuk. Barangkali laki-laki 60-an tahun berwajah congkak itu lupa, bahwa pergaulan Sali tidak sebatas di lingkar sirkuit. Setidaknya, Sali tahu ada banyak hal yang belum terselesaikan.
“Paman bisa bilang seperti itu karena sudah beres. Sudah aman! Maklumlah, Paman orang suruhan mereka, kan?”
Jayadi baru saja hendak beranjak ketika Sali berbicara dengan nada menuduh seperti itu. Sontak saja dia mengurungkan niatnya dan langsung mendamprat Sali.
“He, Monyet Bodoh! Dengar, ya! Saya berhak mendapatkan ganti rugi itu. Saya punya sertifikat yang jelas. Bukti-bukti, apalagi?! Sejak pembangunan sirkuit ini dimulai, saya sudah banyak membantu mereka. Coba kamu ingat, para wartawan itu paling-paling kalau tanya ini itu ke saya. Saya punya banyak informasi tentang wilayah ini. Wajar kalau urusan soal tanah ini jadi mudah. Makanya, jadi orang jangan kebanyakan protes!”
Sali tersenyum sinis dan berusaha menahan sesuatu yang hampir meledak dari dalam dadanya. Dia tidak lagi merasakan sakit akibat luka sayat di tangannya. Tangan kanannya menggenggam gagang parang erat-erat. Lalu dengan sebuah gerakan yang cepat—dan tanpa diduga oleh Jayadi—Sali menghantamkan parang itu ke tunggul pohon banten; hantaman yang benar-benar keras dan membuat Jayadi terhenyak.
“Silakan Paman bilang apa saja soal ini!” Ujar Sali dengan suara bergetar menahan amarah. “Tapi tolong, jangan sekali-kali menyebut saya sebagai Monyet Bodoh! Asal Paman tahu, saya sama sekali bukan orang bodoh. Bagi saya, merekalah yang bodoh dan tak tahu diri. Coba Paman lihat baik-baik, masih ada banyak masalah di sekitar sini. Coba lihat!”
Sikap yang ditunjukkan Sali mampu membungkam Jayadi barang sejenak. Wajah pamannya itu tiba-tiba terlihat pucat. Lantas, tanpa mengujarkan sepatah kata pun, Jayadi bergegas pergi dari tempat itu.
Sepengisapan rokok kemudian, ketika Sali mulai mencabut parang yang menghunjam permukaan tunggul, seorang pemuda melintas. Dia adalah Sapdi yang tampaknya tengah bergegas ke suatu tempat.
“Li, sedang apa di sini?” Tegur Sapdi. “Saya mau ke bukit. Lebih enak lihat balapan dari sana ketimbang panjat pohon di sini. Bisa-bisa ditebang lagi pohonnya. Memang sialan mereka!”
Sali tidak peduli dengan kawan sepantarannya itu. Ia menoleh sebentar, lalu mulai melangkah ke arah berlawanan, meninggalkan Sapdi yang terus berbicara, meninggalkan seekor sapi yang tengah mengendus-endus rerumputan kotor dengan sia-sia.
“Tak mau ikut, Li? Banyak orang yang ke sana. Oh, sial! Kamu harus mengurus sapi-sapi sialan itu, ya? Tapi kamu tahu, di bukit masih banyak rumput, kan? Kamu bisa bawa sapi itu ke sana, sekalian nonton balapan.”
Sali tetap tidak menggubris apa pun yang diujarkan Sapdi. Namun setelah langkah kaki Sapdi menjauh dari tempat itu, Sali tampaknya berubah pikiran. Dia bergegas menuju kandang sapi di belakang rumah sementara yang ditinggalinya bersama orangtua laki-lakinya. Rumah itu dibangun dari bahan-bahan bekas gusuran. Tanah di mana rumah lama orangtuanya pernah berdiri, kini digunakan sebagai lintasan sirkuit. Oleh karenanya dia dan ayahnya bertahan menempati sisa lahan yang berada tidak jauh di luar pagar lintasan.
“Bangsat! Persediaan rumput sudah habis. Saya harus ke sana,” Gerutu Sali seraya menyambar karung kosong yang tergeletak di bawah palungan.
Setelah melongok ke dalam rumah, sekadar memastikan keberadaan ayahnya yang tengah tertidur setelah menenggak obat penurun demam, Sali pun bergegas menuju bukit.
***
Apa yang pernah dikatakan Sapdi tidak sepenuhnya benar. Kenyataannya menyambangi bukit di sekitar sirkuit itu tidak semudah hari-hari biasa. Bahkan bukit terdekat sudah dijaga ketat oleh aparat. Mau tidak mau, Sali harus pergi ke bagian lain jajaran bukit itu. Dan ia tidaklah sendirian. Orang-orang berkerumun di sejumlah titik dengan tatapan mata menjangkau ke lintasan sirkuit yang berjarak ratusan meter dari tempat mereka duduk-duduk atau berdiri. Tidak peduli apakah benar-benar mengenal nama-nama pembalap yang akan bertanding atau tidak, orang-orang itu terdengar saling membicarakan mereka.
Seorang wartawan tampak sedang mewawancarai sejumlah orang. Sali berlalu dari kerumunan kecil itu. Tidak jauh dari sana, sebatang pohon banten tegak di antara sekelompok perdu dan rerumputan hijau. Sali meletakkan karung kosong yang sedari tadi disampirkan di pundaknya dan mulai berjongkok menyabit rumput. Namun belum juga genap segenggam rumput di tangannya, seseorang tiba-tiba menyapanya.
“Wah, ini menarik! Cari rumput bisa sambil nonton balapan. Bagaimana pemandangannya dari sini? Hampir semua lintasan bisa terpantau dari sini. Menarik, kan?”
Perlahan Sali menoleh ke sumber suara, tampak tidak percaya bahwa laki-laki muda yang tengah berdiri tidak jauh darinya itu adalah sosok wartawan tadi. Wartawan itu lebih mendekat lagi dan bertanya seraya mengulurkan moncong gawai tepat di hadapan wajah Sali.
“Bagaimana?”
Kedua alis Sali mengerut. Wartawan itu tersenyum-senyum menunggu tanggapan, tapi Sali belum juga mengujarkan satu kata pun.
“Kalau boleh tahu, tinggalnya di mana? Apa di sini-sini saja atau cukup jauh dari lokasi sirkuit ini? Ini tadi sengaja cari rumput di sini biar sekalian bisa nonton, ya?”
Sali menatap wartawan itu dengan wajah keheranan. Sebelum wartawan itu mengulang lagi pertanyaan yang sama, Sali menunjuk ke suatu tempat—telunjuk Sali berhenti pada sebuah titik. “Benar-benar ingin tahu tempat tinggal saya, Bung?” Tanyanya kemudian.
“Iya, tentu saja,” Jawab wartawan itu seraya mengangguk cepat.
“Di tikungan dekat ujung sana itu,” Lanjut Sali, tangannya masih menunjuk ke bawah bukit. “Ya, dulu di sanalah rumah kami. Dan sekarang, saya dan orangtua saya tinggal di gubuk tidak jauh di luar pagar pembatas dekat tikungan itu.”
Wartawan itu memandang ke bawah bukit sesuai arah telunjuk Sali. Dahinya berkerut-kerut saat berusaha menajamkan pandangannya. “Ya, ya, ya,” Ujarnya kemudian. “Saya paham, saya paham. Di sebelah sana itu, kan?”
Sali menatap wartawan itu, tampak ragu, tapi kemudian mengangguk pelan. Tanpa memedulikannya lagi—apakah wartawan itu benar-benar tahu tempat yang ia maksud atau tidak—Sali kembali berjongkok dan menyabit rumput kembali. Wartawan itu belum juga beranjak, tampaknya ia masih memiliki satu-dua pertanyaan untuk Sali.
“Satu pertanyaan lagi,” Ujar wartawan itu seraya berjongkok tidak jauh di samping Sali. “Bagaimana harapan-harapannya setelah adanya sirkuit ini? Bukan main! Ini acara besar, balapan internasional! Banyak turis yang datang ke tempat ini. Jadi, sebagai warga lokal, bagaimana kira-kira harapannya?”
“Apa ini akan dimuat di koran?”
Wartawan itu mengangguk, lalu mencoba meyakinkan Sali bahwa media cetak tempatnya bekerja akan memuat wawancara singkat itu. Namun Sali tidak segera menanggapi. Ia malah memeriksa sabit miliknya. Ujung sabit itu baru saja terantuk batu. Rupanya Sali telah mengayunkan sabit itu dengan serampangan. Barangkali ia lupa, kontur tanah perbukitan itu mengandung banyak bebatuan di beberapa bagian.
Sementara itu, balapan sudah dimulai dan para penonton yang ada di bukit mulai bertepuk tangan—meski hanya tepuk tangan yang sebentar dan tertahan. Tidak jauh dari bukit itu sejumlah penjaga keamanan telah disiagakan untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Seraya menunggu komentar dari Sali, wartawan itu mengatakan bahwa untuk hari pertama gelaran balap internasional itu warga masih boleh menonton gratis dari bukit. Namun, hari ke dua dan ke tiga, mereka tidak diperbolehkan lagi. Akan ada ‘pembersihan’ besar-besaran, demikian wartawan itu menyebutnya.
“Jadi?” Desak wartawan itu sekali lagi.
“Sederhana saja. Harapannya, tanah bapak saya segera dibayar lunas!”
Sali mengatakan itu dengan tegas, sebelum kembali menyabit rumput. Wartawan itu pun pergi meninggalkannya dan bergabung dengan kerumunan orang yang sedang menonton. Bagaimanapun, Sali tidak bisa menutup mata dari apa yang terpampang di sekitar kaki bukit. Sali seperti melihat sebuah jalan raya yang mulus sekaligus mewah; ruas jalan baru yang dibangun di tengah hamparan lembah yang semula kerap memperdengarkan suara embikan kambing, gonggongan anjing, lenguhan sapi, juga ayam-ayam kampung yang berciap-ciap.
Didorong oleh rasa penasaran yang tiba-tiba saja melintas di pikirannya. Sali melangkah mendekati pohon banten itu. Ia mencermati barang sejenak. Ranting-ranting kurus pohon itu yang telah menggugurkan daun-daunnya bergoyang-goyang diterpa angin kasar. Meskipun begitu, semua dahannya tetap terlihat kokoh dan itu mengingatkan Sali pada pohon-pohon banten yang telah ditebang—terutama pada alasan yang melatari penebangannya. “Kalau saya panjat pohon ini, apa kira-kira nasib pohon ini akan sama seperti pohon-pohon banten lainnya yang telah ditebang itu?” pikir Sali. Lantas, bersama pikiran seperti itulah, kini ia memanjat pohon banten yang berada di tengah-tengah bukit itu. Dan dari sana, sambil berdiri di salah satu cabang pohonnya, ia bisa melihat para pembalap menggeber tunggangannya masing-masing, saling mendahului dan mengancam, meliuk dari satu tikungan ke tikungan yang lainnya. Untuk sesaat ia sangat takjub hingga terlena, namun tak lama ia raih lagi kesadarannya—apakah pohon yang kunaiki ini akan ditebang juga? Ketika Sali hendak turun, ia sama sekali tidak menyadari bahwa seseorang tengah memperhatikannya dalam jarak yang aman untuk membidiknya dengan sebuah moncong kamera.
***
Menjelang siang, Sali memasuki perbatasan kota. Pagi itu ia meninggalkan rumah untuk keperluan meminjam uang kepada salah satu kerabat orangtuanya. Ketika sepeda motor bututnya terhenti oleh lampu merah, seorang penjual koran menawarkan dagangannya dengan gencar. Penjual koran itu menyebut-nyebut sebuah judul berita untuk menarik minat para calon pembeli. Tanpa berpikir panjang, Sali mengangsurkan beberapa lembar ribuan kepada pemuda penjual koran beberapa detik sebelum lampu hijau menyala.
Seratusan meter dari traffic light, Sali menepikan sepeda motornya di halaman parkir sebuah ruko tua yang tidak terpakai. Seraya mengisap rokok, ia mulai membuka halaman-halaman koran. Pandangan matanya segera terhenti pada sebuah halaman berwarna: sebuah berita foto. Ia menangkap sosok yang dikenalinya yang tidak lain adalah dirinya sendiri.
“Bajingan!” cetusnya tiba-tiba.
Mata Sali menekuni sebuah foto berbentuk potrait yang terpampang di tengah-tengah halaman koran. Seorang pemuda ceking terlihat berdiri di atas sebuah cabang pohon banten di atas bukit. Tampak dari belakang, pemuda itu tengah memandang ke arah sirkuit. Dengan suara pelan, Sali membaca caption yang tertera di bawah foto itu: “Saking antusiasnya, seorang warga rela mendaki bukit hanya untuk menonton gelaran balap internasional. Tidak tanggung-tanggung, warga dari lingkar sirkuit ini melakukanya dari atas sebuah pohon. Semangat!”
Sali menelusuri sekujur halaman koran. Ia berharap menemukan barang sebaris penggalan wawancaranya dengan seorang wartawan. Namun, ia tidak bisa menemukan apa-apa selain muluknya harapan—seluruh puja-puji dari sejumlah penonton—terhadap gelaran balapan internasional.
“Tak ada gunanya!” Ujar Sali kecewa. Seraya menggulung koran hingga menjadi sebuah gulungan kecil, ia berharap menemukan sebuah tong sampah di sekitar tempat itu. Namun yang dilihatnya justru seorang gila yang sedang bermalas-malasan di ujung emper ruko. Sali bergegas mendekatinya. Setelah mengulurkan sebatang rokok dan membakarnya untuk laki-laki itu, ia juga memberikan koran yang baru saja dibacanya.
“Ambil ini,” Ujar Sali seolah-olah orang itu paham dengan apa yang diujarkannya. “Jangan dibuang, ya! Lumayan untuk alas tidur atau mengelap barangmu sehabis kencing.”
Laki-laki paruh baya gila itu tertawa-tawa seraya memukul-mukulkan koran ke lantai emper ruko yang kering dan berdebu. Sali menghidupkan sepeda motornya dan bergegas meninggalkan tempat itu.
Ampenan, 15 Maret 2020