Aborsi Dalam Otoritas Tubuh dan Reproduksi Tenaga Kerja

5 min read

Aborsi Dalam Otoritas Tubuh dan Reproduksi Tenaga Kerja-Kolonian

Belakangan ini jagat internasional dihebohkan oleh hasil putusan Mahkamah Agung (MA) di Amerika Serikat yang memutuskan bahwa aborsi tidak lagi dilindungi oleh konstitusional.

Putusan tersebut menuai pro dan kontra sehingga memicu berbagai demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat di kota-kota besar di Amerika Serikat. Hal yang paling menarik dari fenomena ini adalah sajian dari pertarungan filosofis atas pemaknaan tubuh manusia.

Aborsi adalah suatu tindakan di mana seorang perempuan atas kehendaknya menggugurkan janin yang dikandungnya. Tindakan aborsi menjadi hal yang menarik untuk dibahas setidaknya dengan beberapa alasan. Pertama-tama jelas kita harus menghindari logika ‘oposisi biner’ yang melihat persoalan hanya pada etika vs logika atau sederhananya hanya melihat persoalan pada “ini benar dan itu salah”. Pada tulisan ini kita mencoba melihatnya dengan hal yang lebih luas dan mencoba melihat maksud pelarangan dari tindakan aborsi. Sebagai landasan pembahasan ini, kita harus mempercayai bahwa sejatinya tubuh adalah kendali penuh dari diri kita sendiri dan kekuatan luar tidak bisa memaksa atau mengatur tubuh yang kita miliki.

Bagi pandangan umum, aborsi dilihat sebagai penghilangan nyawa anak oleh ibunya sendiri ketika janin tersebut masih berada dalam kandungan. Sebagian lagi melihat aborsi adalah hak seorang perempuan atas tubuhnya secara mutlak. Pada konteks yang ke dua, seharusnya pandangan umum memiliki kesadaran bahwa perempuan sepenuhnya dapat menentukan apakah ia mau melanjutkan kandungannya sampai di tahap melahirkan atau mengakhiri masa kehamilannya, sebab pandangan umum tersebut diperkuat oleh konsepsi feminisme terkini, yaitu “my body my authority“. Konsepsi tersebut didasari karena kodrat alamiah perempuan pada bagian reproduksi, yakni mengandung dan melahirkan. Kodrat alamiah (mengandung dan melahirkan) inilah yang seharusnya tidak sampai diatur oleh pemerintah karena merupakan otoritas tubuh perempuan.

Pendukung tindakan aborsi umumnya melihat aborsi sebagai hak bereproduksi wanita, menggugurkan atau tidak menggugurkan kandungan pada hakikatnya merupakan hak individu setiap perempuan. Sedangkan yang menolak tindakan aborsi berpandangan bahwa aborsi adalah bentuk perlawanan atas kehendak Tuhan yang telah memberikan karunia untuk memiliki keturunan. Akan tetapi di antara dua pandangan yang seolah-olah bertentangan itu, dalam konteks aborsi semuanya bertujuan untuk tetap mempertahankan nyawa manusia, baik yang sudah hidup (ibu) maupun yang akan hidup (bayi).

Kembali ke aturan baru hasil putusan MA, perempuan yang ingin melakukan aborsi memiliki batasan seperti persyaratan bahwa perempuan yang sedang hamil dan ingin melakukan aborsi harus melibatkan orang tua mereka serta memiliki persetujuan dari hakim dan dokter. Selain itu ada juga aturan lain yang memberlakukan masa tunggu antara saat seorang perempuan pertama kali mengunjungi klinik aborsi hingga saat menjalani tindakan.

Di Indonesia sendiri persoalan aborsi masuk dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pelarangan tersebut ada berdasarkan pasal 299, 346, 348 dan 349 dan semuanya menyebutkan bahwa tindakan aborsi adalah pelarangan yang mutlak (ilegal) dan jika hal ini dilakukan maka termasuk ke dalam menstrual regulation dengan sanksi yang lebih berat karena tergolong ke dalam kategori abortus provocatus criminalisabortus (pengakhiran kehamilan) yang dilakukan tanpa dasar indikasi medis. Bahkan hukumannya tidak hanya ditujukan kepada perempuan yang bersangkutan, melainkan semua orang yang terlibat kejahatan ini dapat dituntut. Seperti dokter, dukun beranak, tukang obat, termasuk juga yang mengobati, menyuruh, serta membantu tindakan aborsi.

Selain aturan yang ada di KUHP persoalan aborsi diatur juga dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, dan jelaslah UU tentang kesehatan ini masuk pada asas “lex specialis deroget legi generali,” yang berarti apabila dua hukum setingkat bertentangan maka hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum, dan dengan sendirinya pasal-pasal KUHP yang melarang aborsi tidak berlaku. Dalam UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan dan dalam pasal 75 menyatakan: (1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: (a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau (b) kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. (3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau penasihatan pra-tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca-tindakan yang dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang.

Dari semua aturan di atas meski membolehkan aborsi dengan berbagai syarat, dapat kita lihat bahwa tubuh perempuan jelas bukan lagi kepemilikan utuh yang dimiliki dan dapat diatur sesuka hati oleh perempuan tetapi sudah dikontrol menjadi wewenang publik dan negara memaksa untuk ikut serta mengaturnya. Sederhananya ada perampasan otonomi perempuan atas tubuhnya sendiri.

Melihat hal yang terjadi di Amerika, barangkali kita kembali bertanya, apakah semuanya terjadi karena adanya pertentangan antara hak individu dengan moral sosial atau persaingan konservatif dengan liberal? Tapi hal itu terjadi di Amerika Serikat, negara yang paling mengedepankan hak individu, di samping negara yang sangat kapitalis. Melihat hal tersebut, maka lahirlah kemungkinan bahwa pelarangan aborsi dapat bermuara ke dalam bentuk pelanggengan kapitalisme. Aturan baru yang dikeluarkan MA jelas meletakkan tubuh perempuan sebagai pelayan bagi peningkatan populasi dan produksi serta akumulasi tenaga kerja. Sederhananya melarang aborsi berarti melancarkan perempuan untuk terus bereproduksi (baca: melahirkan). Sebab pada masyarakat kapitalis, kekayaan terletak pada jumlah tenaga kerja. Ini menunjukkan bahwa upaya untuk mendisiplinkan tubuh perempuan merupakan aspek penting dari akumulasi primitif—tesis marx menyoal sejarah kapitalisme—dan juga pembentukan pekerja baru di masa mendatang.

Menurut Silvia Federici yang merupakan salah satu cendekiawan scholar cum activit feminis, menekankan bahwa ada keterkaitan antara patriarki dengan kapitalisme dan baginya kontrol atas tubuh perempuan baik oleh negara maupun kapital merupakan faktor penting dari keberlangsungan dan perkembangan kapitalisme. Bahkan hingga saat ini. Jadi ini sejalan dengan komentar Biden bahwa pembatasan hak aborsi sebagai kesalahan tragis yang berakar dari ideologi ekstrem, dan ekstrem yang dimaksud adalah kekonservatifan patriarki dan dalam lingkup yang samar adalah kapitalisme.

Jika membicarakan perampasan otonomi tubuh perempuan, Federici membaginya ke dalam tiga bentuk. Pertama, pembagian kerja secara seksual yang meletakkan kerja dan fungsi reproduksi perempuan ke dalam reproduksi tenaga kerja. Ke dua, pembentukan tatanan patriarkal baru berdasarkan pada eksklusi perempuan dari kerja upahan dan subordinasi dari laki-laki. Ke tiga, kontrol atas tubuh berupa mekanisasi tubuh perempuan bagi produksi tenaga kerja baru.

Dalam konteks pelarangan aborsi, tentu kita melihat perampasan otonomi tubuh perempuan pada bagian ke tiga yang dimaksud Federici memperjelas bahwa reproduksi perempuan hanya menjadi kapital untuk pemenuhan tenaga kerja yang baru. Sebab dalam kasus pelarangan aborsi, jelas perempuan muda dan miskin yang akan paling dirugikan. Anggaplah jika perempuan yang menjadi korban perkosaan lalu hamil dan ingin melakukan aborsi, perempuan tersebut akan mengalami berbagai kesulitan mulai dari ongkos yang dikeluarkan, prosedur hukum, hingga penilaian buruk dari masyarakat umum. Sebab dalam budaya yang masih mengekang hak dan harkat martabat perempuan, pada akhirnya para korban perkosaan banyak yang menempuh jalur kekeluargaan sebagai jalan keluar (yang dipenuhi keterpaksaan), yakni menikahkan si korban dengan si pelaku perkosaan, dan penyelesaian seperti itu masih dapat kita temui di berbagai daerah di Indonesia. Sekarang mari kita membayangkan trauma yang di alami si korban, lalu dalam ikatan pernikahan si perempuan dipaksa untuk hidup bersama si pelaku yang membuatnya trauma bahkan terus dipaksa bersetubuh karena sudah sah sebagai suami istri. Tragis bukan?

Pelegalan aborsi memang sudah menjadi pembahasan serius di dunia internasional, bahkan Juru bicara PBB Stephane Dujarric menerangkan, “mencegah orang untuk melakukan aborsi tidak membuat orang berhenti melakukan aborsi, malah hanya akan memaksa mereka mencari prosedur ilegal yang justru lebih mematikan”. Tepat sekali yang dikatakan Dujarric, di Indonesia katakanlah, banyak sekali kejadian-kejadian mengerikan ketika perempuan dengan sembunyi-sembunyi melakukan aborsi, anggaplah ke dokter malapraktik atau dukun beranak, meminum jamu dan obat-obatan yang tidak sesuai dosis, tindakan-tindakan tersebut jelas mengancam kesehatan si perempuan dan calon bayi di dalam perutnya.

Perempuan berusia muda dan perempuan miskin, yang hamil karena diperkosa, inses atau karena pergaulan bebas barangkali akan berpikir berkali-kali ketika ingin melakukan aborsi. Beberapa persoalannya adalah mengenai biaya yang dikeluarkan semakin mahal karena aborsi dilakukan secara ilegal, dampak kesehatan dan keselamatan sesaat atau sesudah melakukan aborsi. Ketika perempuan itu memutuskan untuk tetap mengandung, maka sang anak bisa saja lahir secara prematur atau cacat yang pada akhirnya akan menjadi bibit-bibit calon tenaga kerja baru yang dibutuhkan oleh kapitalisme. Fenomena ini akan terus berulang karena kemiskinan yang terus mengekang untuk terus bisa bekerja agar dapat memenuhi hidupnya.

Jauhnya setelah aborsi dilarang, bisa jadi akan ada pembatasan hak-hak lain seperti pernikahan sesama jenis dan akses terhadap kontrasepsi. sebab sama seperti aborsi, pernikahan sejenis dan pemakaian kontrasepsi saat berhubungan badan mampu menahan perempuan untuk hamil. Fenomena seperti ini jelas-jelas mengingatkan kita pada kejadian pertengahan abad ke-16 di Eropa yang menghukum dengan kejam bagi mereka yang menerapkan kontrasepsi, aborsi, dan yang mandul atau istilahnya Witch-hunt.  Jika melihat dalam konteks historis, pelarangan-pelarangan ini semata-mata untuk produktivitas reproduksi agar tak ada lagi yang mampu mengerem perempuan untuk terus melahirkan. Karena hal yang diyakini oleh masyarakat kapitalis adalah populasi yang besar merupakan sumber kekayaan sosial dan kekayaan terletak pada tenaga kerja.

Secara fundamental, pengetatan aborsi merupakan serangan pada kehidupan secara keseluruhan meski yang dijadikan target ialah perempuan. Pengetatan aturan aborsi memperdalam pemisahan serta segregasi sosial di antara perempuan dan laki-laki, terlebih pada status sosial antara perempuan dengan perempuan lainnya, yang mampu—dalam hal ini adalah biaya dan relasi sosial—melakukan aborsi dan yang tidak, serta merusak praktik-praktik, kepercayaan-kepercayaan, atau subjek-subjek sosial yang keberadaannya tidak cocok dengan disiplin kerja kapitalis.

Dalam hal pembatasan aborsi ini adalah lampu kuning bagi hak warga negara yang bebas dan setara, terkhusus pada kepemilikan tubuh. Sebab seperti yang diungkapkan oleh Dujarric, bahwa hak-hak reproduksi merupakan bagian integral dari hak-hak perempuan, dari hak asasi manusia, dan secara lebih umum lagi, suatu prinsip yang dijunjung tinggi oleh perjanjian internasional dan tercermin dalam hukum pada tingkat yang berbeda-beda di banyak bagian dunia.

Sumber Referensi:

Federici, Silvia. 2014. “Caliban and The Witch: Women, the Body and Primitive. Jakarta: Autonomedia

https://kumparan.com/kumparannews/joe-biden-soal-ma-amerika-serikat-cabut-hak-aborsi-hari-yang-menyedihkan-1yKoRv2Wjqf

https://news.detik.com/bbc-world/d-6146138/geger-hak-aborsi-di-as-dibatalkan-kenapa-terus-picu-pro-kontra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.