Eki Saputra Penulis lepas yang menyukai sastra dan filsafat.

Lagu Cinta Untuk Sang Istri

7 min read

Lagu Cinta Untuk Sang Istri-Kolonian

“Aku tidak peduli besok mau hari apa, Mas.” Kata Sarwati jengkel kepada suaminya. Ditaruhnya secangkir kopi yang masih beruap di depan lakinya dengan agak ogah-ogahan. Sesungguhnya ia muak dengan sok pahamnya soal seni dari pria urakan itu. Saban pagi lelaki itu duduk di kursi teras rumah, memangku gitar, lalu bertingkah seperti seniman tulen. Padahal ia cuma guru ekstrakurikuler kelas musik di sekolah menengah pertama (SMP), itu pun hanya mengajari anak-anak memencet pianika.

“Yang aku tahu Mas Tomo enak-enak bersantai di sini. Lihat, istrimu ini sedang hamil tua.” Kata Sarwati sembari menunjukkan perutnya. Tomo diam saja. Ia menoleh sebentar ke perut istrinya itu, kemudian fokus lagi menulis di bukunya sehingga membuat Sarwati hampir mau sawan. Buru-buru ia mengusap-usap dadanya sendiri.

Namanya Sutomo, suami Sarwati yang juga seorang seniman rasa gelandangan. Pensil bercorak merah-hitam murahan selalu terselip di atas kuping cakahnya. Sejenak kemudian benda itu dicabutnya, diselipkannya lagi, lantas digigit-gigiti sesekali sebelum ia menulis coretan kacau balau mirip cakar ayam di buku kesayangannya. Buku tulis tipis bergambar artis cantik pemain sinetron. Sarwati mendongkol melihat buku catatan itu. Entah sudah kali ke berapa ia berniat melempar buku itu ke kotak sampah, atau hendak membakarnya sekalian, tetapi hatinya selalu luluh tiap-tiap berhadapan muka dengan suaminya itu.

“Dengarlah, Dik, istriku yang cantik bahenol berdaster merah bunga-bunga. Kamu tidak tahu betapa sakralnya hari musik itu, konon katanya ada seniman besar pernah lahir. Jadi, aku minta kau biarkan daku tenang sebentar. Pekerjaan seni menuntut konsentrasi yang tinggi. Ini demi calon buah hati kita. Aku ingin anak kita kelak mendengar lagu terbaik buatan ayahnya,” Sahut pria itu tak tahu diri. Ia segera melepaskan tangannya dari senar gitar dan menyeruput kopi hitam pekat di hadapannya. Sepekat kumis tebal yang menambal halaman lubang hidungnya. Jika sedang kesal, Sarwati ingin sekali mencabut paksa kumis suaminya itu sehingga lelaki itu mau segera insaf.

“Terserah kamulah, Mas! Aku malas berdebat. Setelah urusanmu itu kelar, tolong kau jemur pakaian yang sudah kucuci tadi. Pinggangku rasanya mau patah. Asal kamu tahu ya, Mas! Kalau anak ke dua kita sudah lahir, pokoknya aku mau pasang susuk KB!” Sarwati mengomel lagi. Kerut-merut dan jerawat belarian di jidatnya yang lebar. Bagaimanapun, ia lelah makan hati bersuami dengan seniman rasa gelandangan.

“Jangan lupa! Jemput juga Marni jam sepuluh di sekolah.”

“Baik, istriku tersayang. Nah, kini biarkan mas gantengmu cari ide-ide dahulu,” Tomo bicara dengan tenang. Dan ketenangannya itu sungguh menjengkelkan hati Sarwati. Sering kali setan berbisik-bisik padanya: Kenapa ia dahulu mau menikah dengan makhluk yang tak peka kepada perempuan itu? Kenapa dia bisa bertahan dengan pria macam Sutomo?

Cih, kau pikir dirimu itu seniman hebat, Sarwati terus mendumel dalam hati. Ditinggalkannya Tomo sendirian di teras yang asyik sendiri dengan dunianya.

Di kamar, Sarwati termangu menatap pantulan raganya di cermin lemari. Ia merana mengenang masa mudanya. Dia belum lupa, dahulu sekali, setiap malam minggu Tomo tak pernah terlambat datang mengapel ke rumahnya. Dengan membawa gitar buruk, kemudian dengan lihai dan terampil jari jemarinya menekan dan memetik senar, memainkan tembang ciptaannya yang jadi kesukaan Sarwati. Yang oleh sebab itulah mengapa Sarwati, seorang perawan lugu nan polos berumur dua puluh tujuh tahun dan seorang pegawai negeri sipil di kantor kecamatan itu bisa tunduk dan jatuh hati pada Tomo yang melarat. Namun Sarwati tetap kagum pada musikalitas lelaki urakan itu. Dikiranya Sutomo memang seniman seperti yang ia katakan. Dikiranya bakal ada bakat seni yang akan diwariskan pada anak-anaknya kelak bila mereka menikah nanti. Sebagaimana impian masa remajanya, sebagaimana obsesinya pada film romantis yang pernah ia tonton; Ia ingin memiliki keluarga kecil, sederhana, dan hari-hari berat jadi ringan apabila ditemani musik dan nyanyian macam film India.

Tetapi, Sarwati kala itu belum paham namanya rumah tangga. Dipikirnya hidup bisa ha ha-hi hi dengan lagu-lagu nostalgia yang hanya mampu menghibur diri untuk sementara. Ketika ia mulai kenal dengan beli beras, sayur-mayur, taplak meja, cawat bayi, bedak bayi, belum lagi perabotan serta urusan tagihan listrik, tagihan air, tagihan SPP, dan sekian banyak tagihan yang menggunung, membikin ia kewalahan karena harus mencukupi kebutuhan itu sendiri. Mengandalkan Tomo adalah kesia-siaan. Urat malu sang suami sudah lama putus. Pagi di teras main gitar, siang (sekali seminggu), pergi mengajar anak sekolah sebentar, selepas itu ia memeluk guling dan tidur tanpa berusaha cari kerja tambahan. Peduli apa ia tentang kontrakan yang bakal jatuh tempo atau SPP anak sulungnya yang menunggu dilunasi. Gaji lebih sedikit seperempat juta yang tiga bulan sekali disetornya itu, barangkali baginya sudah cukup jadi asuransi keluarganya. Dan sebagai istri yang dikutuk menikahi seniman miskin, Sarwati mencoba tabah dan selalu berusaha menjaga kewarasannya. Alangkah kasihan anak-anakku nanti kalau harus ditinggal mati emaknya lalu hidup melarat dengan bapak yang pemalas, pikirnya.

“Dik Wati! Dik! Sini kamu!” Panggil Tomo dari teras depan keesokan paginya. Sarwati yang sedang berhias di kamar pun terkejut. Gincu yang diusapnya di bibir tercoreng panjang membelah pipi.

“Dik! Ayo, cepatlah kau ke sini!” Teriak Tomo sekali lagi.

Sarwati tanpa sempat menatap mukanya di cermin langsung pontang-panting dari kursi menyusul ke arah sumber suara.

“Ada apa lagi, Mas? Aku mau siap-siap berangkat ke kantor. Ini sudah jam setengah delapan!”

Tomo mendadak tertawa terbahak-bahak melihat riasan muka istrinya. Tubuhnya nyaris jatuh terjerembap kalau tak segera sadar mata Sarwati yang memicing dan menatap tajam mukanya.

“Apanya yang lucu, hah?!” sergah Sarwati, naik pitam. Ia kesal. Bicaranya tak digubris malah ditertawakan. Darah perempuan itu meruap-ruap memanas tatkala melihat moncong Tomo seperti babi. Untung ia ingat bila lelaki berbadan gempal hitam itu suaminya, kalau bukan siapa-siapa sudah ia libas dengan sekali tinju ke ubun-ubun.

“Tertawalah terus ya! Besok jangan harap akan kubuatkan lagi kopi.”

“Ah, kau gampang sekali marah, Dik. Tidak tegakah kau dengan suami malangmu ini?” Goda Tomo memasang muka memelas minta dikasihani. Ia lantas membelai tangan istrinya hati-hati. Kemudian bertekuk lutut. Tangannya merogoh sesuatu dari saku celananya seperti akan menyerahkan sebuah cincin kawin.

“Dengarkan, lagu istimewa ini khusus aku ciptakan buatmu,” Kata Tomo seraya mengeluarkan kertas naskah. Diraihnya gitar di atas kursi dan mulai bernyanyi di hadapan Sarwati.

I can’t live, if living is without you

Can’t give, i can’t give anymore

Mulanya Sarwati tidak tergoda dengan suara sumbang Sutomo. Ia membuang muka dan menyembunyikan sifat sentimennya. Enak saja, setelah meledekku, dia pikir aku bakal tersentuh dengan lagunya itu, batin Sarwati.

Sutomo merogoh lagi kantong celananya. Dikeluarkannya selembar foto sebesar telapak tangannya. Di dalam foto itu, ada Sarwati yang tengah memeluk Sutomo di depan kandang monyet.

“Kamu ingat? Tepat di hari ini juga kita pertama kali menjalin hubungan. Kamu waktu itu ketakutan saat kuajak berfoto di kebun binatang.”

Sarwati meraih kertas itu dengan setengah hati. Tepat ketika ia melihatnya, ia mendadak terkesima. Ia melihat wajahnya beberapa tahun silam. Gadis itu tampak masih begitu pemalu dan lugu dalam potret buram itu, kemudian sosok yang ia peluk tampak gagah dengan kemeja lusuhnya. Terkenanglah ia betapa romantisnya Sutomo sejak dulu. Lelaki itu kerap mengajaknya berjalan-jalan meskipun ia harus rela membonceng dirinya yang gembrot dengan sepeda berkilo-kilometer jauhnya.

“Kamu masih sama, Dik, sama cantik seperti dulu,” Kata Sutomo, merayu.

“Ah, Mas Tomo raja gombal,” Balas Sarwati malu-malu. Ia tak bisa menahan lagi perasaan harunya. Tidak ada lelaki seperhatian ini kepadanya sejak dulu. Tidak ada, kecuali Sutomo seorang.

“Aku mau mendengar lagu ciptaanmu lagi,” Pinta wanita itu. Kali ini suaranya berubah melunak.

“Dengan senang hati, duhai, biniku yang montok,” Sahut Sutomo gembira. Dinyanyikanlah sekali lagi lagu itu dengan iringan jentikan gitarnya yang lincah.

Senyum pun merekah berseri-seri di wajah Sarwati seperti menyambut matahari di pagi hari seusai mendengar lirik terakhir lagu romantis yang katanya dikarang sendiri oleh suaminya itu. Baru hari ini dia sadar kalau sang suami benar-benar memiliki bakat murni seorang musisi sejati sekaligus lirikus handal. Tak sia-sia ia bersusah payah menafkahi perut sang suami selama enam tahun ini. Untuk pertama kalinya, ia merasa bangga dengan suaminya. Betapa gagah saat jemari lincah itu menari memainkan senar-senar hingga menghasilkan nada-nada yang indah didengar. Lirik demi lirik aduhai menyentuh hingga ke lubuk sanubari Sarwati, membasuh pelupuk matanya yang kering dengan tangis haru, meskipun suara suaminya itu agak sumbang. Dia yakin, pastilah karya itu digali dari lembah hatinya yang paling dalam, batin Sarwati.

Sepanjang perjalanan menuju kantor camat, ia tak berhenti membayangkan wajah Tomo yang baginya kini bercahaya bak malaikat. Seolah ia benar-benar pantas dikultuskan. Muncul perasaan menyesal sewaktu ingat ia sering menyuruh suaminya untuk mencuci pakaian sendiri, mengganti popok anak pertama mereka. Teringat juga saat ia dengan sengaja menyiram air cucian piring yang keruh ke muka sang suami karena tidur mengorok sampai siang. Bahkan juga ia pernah mengidam es degan dan memaksa suaminya yang malang itu mencarinya pukul tiga dini hari.

Lirik lagu itu terus terngiang-ngiang halus di kepala Sarwati. Lelaki mana yang bisa tahan dengan segala emosi dan ocehan pedas yang kerap ia lontarkan. Tetapi Tomo sanggup dan buktinya ia masih mau bertahan sampai sekarang, ucap Sarwati tersentuh di dalam hati. Ia tak sudah-sudah memuji suaminya.

“Hush! Jangan melamun terus! Nanti kamu kesambet lho,” Ujar seorang wanita paruh baya yang entah sejak kapan memperhatikan Sarwati yang senyum-senyum sendiri.

“Sumpah, Nur. Kautahu, tidak? Suamiku pagi tadi romantis, seromantis-romantisnya.”

“Tumben, biasanya kamu ngomel-ngomel tentang suamimu. Habis kena pelet ya?” Nurmala cekikikan meledek Sarwati. Tapi Sarwati tidak peduli, yang ia pikirkan sekarang hanya wajah bulat bertambal kumis legam itu.

“Kamu tahu ini hari apa, Nur?” Tanya Sarwati bersemangat. Kali ini ia bertanya seperti sedang menirukan suaminya kemarin. Niat hati ingin membuat temannya itu cemburu.

Kemarin, saat ditanya Tomo, ia juga lupa hari ini tanggal berapa, dan ia bahkan tak tahu apa istimewanya di tanggal ini. Diperiksanya almanak pemberian calon dewan, tapi tidak ada angka bercetak merah yang menandakan bahwa di hari ini akan ada peringatan tertentu. Di surat nikah juga ia lihat tanggal lahir Tomo dan tanggal pernikahannya sudah lewat. Geram, akhirnya kemarin ia menyogok suaminya itu dengan secangkir kopi supaya tahu tanggal apa yang dimaksud.

“Hari Senin,” Jawab Nur tanpa menimbang-nimbang.

“Bukan, maksudku hari peringatan apa?”

“Hmm, sebentar.”

Nur Meraih ponselnya dan mengetik ‘9 Maret’ di ponselnya. Dengan cepat si mesin pencari menampilkan apa saja yang berkaitan dengan tanggal tersebut.

“Oh, Hari Musik Nasional. Bertepatan dengan hari lahir pahlawan nasional Wage Rudolf Soepratman,” Ucap Nur mengangguk-angguk karena baru saja mendapatkan pengetahuan baru.

“Dasar! Begitu saja kau tidak tahu. Omong-omong aku bukan mau bahas Hari Musik itu. Ini tentang suamiku yang membikinkanku lagu romantis tepat di hari ini,” Cerita Sarwati gembira.

“Astaga, Sarwati! Aku kira apa yang kausebut romantis. Kamu macam anak sekolah baru naik puber. Zaman sekarang cinta saja mana cukup buat kredit mobil,” Timpal Nur dengan nada menghina.

“Alah, Nur! Paling-paling kamu iri, kan, mendengar kemesraan kami? Suruh saja Mas Bargo-mu itu bikin lagu juga, tapi jangan koplo nanti malah joget,” Ejek Sarwati tak mau kalah.

“Dah, ah, aku mau balik kerja.” Nur malas berdebat, ia kembali ke kursinya di depan meja Sarwati. “Wat, aku izin putar lagu ya, mumpung Pak Urip cuti, kapan lagi kita bisa kerja sambil nyanyi.”

“Boleh, asal jangan koplo,” Sahut Sarwati masih menggoda kawannya itu.

Nur tak menggubris. Ia membuka playlist-nya di komputer kantor. Gara-gara Sarwati becerita, kupingnya jadi gatal ingin dengar lagu romantis pula. Dikliknya lagu “My Heart Will Go On”. Tapi lagu itu sama sekali baginya tidak romantis, malahan terlalu melankolis dan mendayu-dayu. Ia berpikir sejenak. Kemudian paras wanita itu seketika semringah setelah memencet judul sebuah lagu.

No i can’t forget this evening

Or your face, as you were leaving

Mendengar lirik lagu itu, Sarwati seolah tersetrum karena teringat sesuatu. Bukan soal kompor yang lupa dimatikan atau colokan setrika lupa dicabut. Ia benar-benar tidak asing dengan lagu itu. Rasanya seperti… Buru-buru Sarwati membuang pikiran anehnya itu. Suara ini sejujurnya jauh lebih baik daripada suara Mas Tomo yang sangat pales tadi pagi. Ia mencoba berpikir masuk akal, mana mungkin lagu yang baru saja dibuat tadi sudah diputar di mana-mana. Ini pasti efek terlalu terbawa suasana, pikirnya.

Semakin lama didengarkan alunan lagu itu, Sarwati semakin curiga dan setibanya di bagian refrain, ia mendadak rengsa sekaligus geram kepada Tomo.

“I can’t live, if living is without you,” bunyi lirik lagu yang Nur putar terdengar. Tidak salah lagi, itu lirik yang dinyanyikan Mas Tomo pagi tadi. Kurang ajar dia! Bisa-bisanya ia merayu pakai lagu milik orang lain, mana pakai acara mengaku lagu buatan sendiri, batin Sarwati. Ia jadi ingin cepat-cepat pulang ke rumah dan membuatkan kopi pahit beracun buat suami pembohongnya itu. Cih, kau pikir bisa membodoh-bodohiku, Sutomo Purwantok, rutuk Sarwati.

“Wat, kamu tahu, tidak? Lagu ini dinyanyikan Air Supply, lho. Dulu sering nian dinyanyikan sama mantanku. Gara-gara kamu cerita tadi, aku pun teringat pernah ditembak mantanku sambil bawa gitar nyanyi-nyanyi lagu ini.”

“Siapa nama mantanmu itu, Nur?” Tanya Sarwati. Dia makin naik pitam. Kemarahannya mengganas dan memanas. Ia berharap bukan suaminya yang dimaksud Nur.

“Toto,” Sahut Nur dengan cergas.

“Oh…” Sarwati bernapas lega. Mistar plastik yang ia genggam sejak tadi urung dipatahkannya.

“Nama panjangnya Sutomo Purwantok.”

Eki Saputra Penulis lepas yang menyukai sastra dan filsafat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.