Empat Fragmen Duka Lara
/1/
pada suatu hari yang membosankan
di surga. Adam & Hawa melihat
seekor ular. tubuh reptilnya itu melingkari
buah yang bercahaya. dengan mulut bergetar,
sepasang makhluk berkaki dua itu bertanya:
buah apakah itu, wahai ular?
/2/
ini buah pengetahuan, jawabnya.
apakah rasanya enak? celetuk Hawa.
tentu, rasanya manis seperti bau tanah
gersang yang merindukan hujan;
bahkan dengan buah ini—kalian berdua
dapat mengetahui sebab dalam setiap tindakan,
timpalnya lagi. bolehkah kami berdua
memakannya? tanya Adam tanpa sangsi.
harga yang harus kalian bayar untuk buah ini
adalah penderitaan… silakan, pungkas ular itu.
/3/
& kedua makhluk naif itu memakannya.
kotak pandora pun meledak dalam
satu supernova. duka lara berhamburan
di wajah bumi. sejuta phoenix lahir & mati
dalam setiap detik. di ceruk waktu, yang
tragikomedi, ular itu—kini—sedang sibuk
melingkari ekornya sendiri.
/4/
& pada suatu malam yang glumi,
di ruang yang ultracanggih seorang ilmuwan
meneteskan air mata pada kecepatan cahaya—
menangisi seluruh pengetahuan yang ia punya;
sebab tak sedikit pun itu mampu mengisi
ruang hampa di hati seorang manusia.
(2022)
Seperti Apakah Kejahatan di Masa Depan?
seperti ketika
semuanya masihlah
tampak gelap-buta
& kemudian
orang-orang pergi
berbondong-bondong
mencari perpustakaan
untuk mencuri buku;
pada akhirnya mereka tahu
ternyata satu-satunya
yang harus manusia curi:
hanyalah api pengetahuan.
(2022)
The Persistence of Memory
: untuk Salvador Dalí
para petapa yang moksa
di jantung yang dilalui waktu
mendengar burung-burung
mengejar angin lalu—tanpa malu;
seperti matahari yang
melahap gelap-malam
pada suatu hari
yang tak pernah ada
& tak menyenangkan
serupa cara kerja ingatan pada
lukisan surreal yang menolak pudar:
“tapi tak ada yang lebih buruk
dari mati sebelum merasakan
hidup yang benar-benar hidup
—menangisi mayat kehidupan.”
& waktu masih meleleh
secara kontinu… & konstan.
(2022)
Postulat Manusia Dewasa
I
mungkin begitulah manusia dewasa
gemar mengutuk manusia lainnya
& dirinya sendiri. sedang jantungnya
terus berdetak. sebuah jarum jam,
diam-diam niscaya berdetik;
& kepalanya menjadi bandara
paling sibuk. yang tak mengenal
apa itu titik. setelah koma. setelah
kata kerja kabur dari tawaran untuk
cuti. & pikirannya memilih kerja lembur.
setelah ingatan-ingatan subtil
lepas landas menuju langit lamunan.
menghantui langit-langit kamar mandi.
tanpa jawaban akan hujan. meski
pada gilirannya akan tercecer di trotoar,
di selokan, di kantor, di kampus, di tempat makan,
di dalam hatinya ia merasa makan hati—tapi
matahari pada pembuluh darahnya belum
memberi lampu hijau untuk segera mampus
& ia memilih untuk menyeduh kopi dengan
tambahan omong kosong hidup, lagi.
II
mungkin begitulah manusia dewasa
punya tendensi untuk melukis nostalgia.
dengan warna paling nyentrik. dengan
sentuhan majas-majas hiperbola.
sebab tak ada lagi yang menarik
dalam hidupnya. selain naik gaji,
naik jabatan & turun gunung mencari
tanggal paling seksi untuk liburan.
sedang ceruk-ceruk masa lalu pada
korpus memori masih menolak pergi.
seperti eksil masa kini;
hasrat paling purba untuk mengisi
kesadaran sebuah malam dengan
botol-botol alkohol pun mencuat
ke permukaan. bersembunyi di
batas-batas antara realitas & hiperealitas.
berusaha untuk tetap mabuk. semalam
suntuk. bunuh diri pikiran. lari, berlari
mencari pelarian. lari dari dunia yang berlari
lebih kencang. dari ruang waktu yang tak
memberi ruang bagi anak kecil dalam dirinya.
untuk barang sejenak bertanya-tanya:
apakah menunda kekalahan hidup
pada mati seperti ini sepadan dengan
kebahagiaan yang mungkin akan didapatkan?
III
mungkin begitulah manusia dewasa
setiap malam, ia mengheningkan cipta
pada cita-citanya. yang sudah membias
bersama bendera putih: ya sudahlah
mau bagaimana lagi, ucap hatinya lirih.
tapi resign pun bukan pilihan, kata otaknya
ikut menimpali. seperti sebuah konvensi
antara pikiran & perasaan. yang tak pernah
memiliki jalan tengah untuk menampung
kata kesepakatan yang hampir selalu resah.
: konon, di dalam kamus maupun tesaurus
bahasa mana pun di muka bumi yang jelek
ini manusia dewasa pantang hukumnya
mengeja kata lelah dengan suara lantang.
tiba-tiba manusia dewasa teringat
buku absurd yang pernah ia baca
& hati kecilnya pun berdoa agar suatu
pagi ia terbangun dalam tubuh seekor kecoak.
ingatan itu seperti bekerja untuk memperluas
konteks sebuah teks kanon abad yang tak
pernah ia alami seumur hidupnya:
konon, ia masih berlari. demi mengaburkan
kesadaran tentang betapa menyedihkan
hidupnya sekarang. agar hatinya bisa
melupakan kenyataan bahwa saat ini
ia ingin menjungkirbalikkan waktu
yang bahkan sebelum purbakala
telah berubah jadi lautan lepas
yang tak dapat diselami manusia.
(2022)
Senjakala Suryakencana
sebelum ledakan besar
tuhan meniupkan kegusaran
bunga edelweiss pada tubuh waktu
yang membuatnya jadi dingin & kekal;
ia terus bersemi, jadi mitos-mitos baru
& berhamburan di wajah sebuah puisi
: tapi apakah waktu adalah gunung
yang takkan pernah bisa manusia daki?
& ia masih bersemi.
( 2021)
Ibuku Seorang Übermensch
: untuk Ibuku
meski ia tak pernah tahu
ada sejuta The Will to Power
dalam doanya yang tiada-henti
menusuk lorong waktu sampai
memecahkan lamunan tuhan.
meski kutahu Ibu
sembunyi-sembunyi
ketika mengatakan ‘ya’ pada
bentangan hidup. tapi dengan
bahasa agama ia menaruh
ruh Nietzsche di kerongkongan:
Fatum Brutum Amorfati—jalani,
nikmati & syukuri—meski kepedihan
masuk melalui cerobong mimpi.
meski kutahu ia tak tahu
di mataku, ia citra paling
nyata dari apa itu adimanusia,
atau siapa gerangan Zarathustra &
mengapa nama itu bukan sekadar
nama di lidah-lidah orang Persia.
: cinta seorang Ibu seperti
wajah rembulan, terlihat lebih
indah kala jauh dari genggaman.
aku kembali menghadapi
hidup & di rahim Ibu
tuhan pun hidup kembali.
(2022)
Enam puisi eksistensialis yang begitu mengesankan
Salam sastra