Ade Mulyono Esais dan prosais

Surat Terbuka Untuk Raeni

3 min read

Surat Terbuka Untuk Raeni-Kolonian

Kepada Raeni yang Sedang Menempuh Pendidikan Jenjang Doktoral di University of Birmingham, Inggris.

Perkenalkan saya pemuda dari desa yang cemas dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Apa kabarmu di negeri Shakespeare sana? Semoga hal baik besertamu. O ya, tentu Kak Raeni masih mengingat bagaimana keberhasilan sebagai anak tukang becak asal Kendal, Jawa Tengah, yang menjadi salah satu lulusan terbaik di Universitas Semarang (Unnes). Keberhasilan Kak Raeni telah menginspirasi pemuda-pemudi Indonesia. Termasuk saya.

Perjuangan Kak Raeni menempuh pendidikan mengingatkanku dengan perjuangan banyak tokoh perempuan. Salah satunya ialah Dewi Sartika (1884-1947), seorang pejuang wanita dari Cicalengka, Bandung. Pemikiran Dewi Sartika dikenal luas sebagai tokoh yang menjadi perintis pendidikan kaum perempuan. Kegigihannya memperjuangkan harkat perempuan tercermin dari usahanya mendirikan Sekolah Istri di Pendopo Kabupaten Bandung.

Pemikiran Dewi Sartika yang begitu menonjol adalah saat mengkritik keras kedudukan perempuan yang hanya dijadikan lambang untuk mengangkat kelas sosial patriarkat. Itu terjadi saat feodalisme masih begitu kental di masyarakat kita. Perempuan dipahami sebagai kelas ke dua yang lemah dalam pandangan umum. Menjadi wajar jika Dewi Sartika dijadikan simbol perempuan yang berani menyuarakan ketidakadilan yang dialami kaum perempuan di zamannya. Sebab, bagi Dewi Sartika hanya dengan mengenyam pendidikan yang layaklah perempuan dapat memproduksi kesadaran kritis: Gender, ras, pertentangan kelas, dsb.

Kini di abad 21 telah berubah banyak hal dengan sedemikian rupa. Pemikiran juga berubah mengikuti perkembangan zaman. Perempuan boleh mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Meski berbagai diskriminasi, stigma, dan ketidakadilan masih melekat pada tubuh perempuan. Tapi ide kesetaraan tidak boleh mati. Di hadapan negara republik semua warga negara mempunyai kedudukan setara. Dalam surat ini saya ingin menyampaikan dua hal kepada Kak Raeni. Pertama, ceritakanlah pengalaman proses pembelajaran Kak Raeni di masa pandemi Covid-19 dan bagaimana sistem pendidikan di negeri Elizabeth sana secara umum menghadapi pandemi Covid-19?

Apakah Kak Raeni tahu di masa pandemi Covid-19, pendidikan di Indonesia jungkir balik jika tidak mau dikatakan babak belur. Proses belajar mengajar tatap muka terpaksa dihentikan untuk memutus rantai penyebaran virus Corona yang tak kenal batas usia. Sebagai gantinya pembelajaran tatap muka diganti dengan pembelajaran dari rumah via daring. Dari situ, antara peserta didik dan pengajar dipertemukan di dunia ke dua.

Pendidikan dengan mekanisme daring berlangsung dilematik. Di Indonesia pendidikan dengan model daring bukan sistem pendidikan arus utama yang selama ini kita akrabi. Tetapi, adanya pandemi memaksa model pendidikan kita untuk berakselerasi menerima perubahan itu meski harus babak belur. Mengingat sedari awal infrastruktur digital tidak dipersiapkan. Tentu saja digitalisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari perubahan zaman. ‘Syahadat’ modernisme yang harus ‘diimani’. Kemajuan mutakhir yang tidak mungkin bisa kita punggungi. Akan tetapi, dari situ berbagai persoalan muncul ke permukaan. Adanya pandemi, disparitas semakin menganga antara masyarakat dari kelas sosial bawah dengan kelas sosial atas. Pendidikan dengan model daring atau layanan digital berbayar hanya dipahami oleh mereka yang tinggal di kota (terutama kelas sosial menengah atas). Bukan peserta didik yang tinggal di pedalaman desa (terlebih daerah tertinggal dan terluar).

Peserta didik dari keluarga kelas sosial bawah merupakan kelompok pertama yang rentan menjadi korban saat pandemi. Sebab mereka tanpa perlindungan sosial dan dibiarkan telanjang. Dengan bahasa sederhana saya ingin mengatakan bahwa adanya pandemi ini telah menyebabkan pendalaman kemiskinan yang dengan sendirinya akan diikuti kesenjangan kelas sosial yang semakin lebar. Sebagai fakta perlu saya sampaikan peserta didik di Indonesia tidak seragam status bawaannya: bahasa, ekonomi, sosial, budaya, dan infrastrukturnya.

Angka putus sekolah relatif tinggi di masa pandemi. Lebih mencengangkan lagi Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat lebih dari 100 siswa menikah akibat pandemi. Mengutip dari Tirto.id, Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti mengatakan 119 siswa menikah, baik laki-laki maupun perempuan yang usianya antara 15 tahun hingga 18 tahun. Bagi perempuan putus sekolah menikah menjadi pilihan. Sementara laki-laki memilih bekerja untuk membantu meringankan beban hidup orangtua. Pada titik ini peserta didik yang tertinggal atau tidak mendapatkan akses pendidikan layak dan bermutu—terlebih di masa pandemi—berpotensi tersisih dalam lintasan pacu sistem pendidikan. Berbeda dengan peserta didik dari keluarga mapan yang dipacu oleh privilese dari keluarganya.

Ke dua, yang ingin saya sampaikan adalah sistem pendidikan di Indonesia yang mengikuti logika pasar: Liberalisasi pendidikan. Ini isu lama tetapi selalu hangat untuk terus menerus dibicarakan. Berkelindan berbagai persoalan di dalamnya dari teknis hingga filosofis.

Keberhasilan Kak Raeni telah menginspirasi kelas sosial bawah untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Selama ini kita sering mendengar pendapat umum bahwa pendidikan tinggi dan berkualitas hanya untuk kelas sosial menengah atas. Pendapat itu tidak sepenuhnya salah. Memang begitu keadaannya dalam dunia pendidikan kita. Terutama pasca-dikeluarkannya Undang-undang Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH).

Dalam pengetahuanku yang terbatas ini, ada berapa banyak orang seperti Kak Raeni yang berhasil melanjutkan pendidikan ke luar negeri? Memang negara menyediakan beasiswa, tetapi jika dari awal—meminjam istilah Freire “pendidikan kaum tertindas,”—peserta didik dari keluarga miskin sekolah di tempat ala kadarnya dan tidak mendapat privilese dari orangtuanya, adilkah jika harus bersaing dengan anak dari keluarga kaya yang mendapatkan pendidikan memadai dan privilese dari orangtuanya baik dalam persaingan akademik maupun sosial-ekonomi di kemudian hari?

Jika negara—dalam hal ini pemerintah—membiarkan sistem status quo berlangsung, saya ragu rantai kemiskinan dapat dihapuskan. Jika ada yang mengatakan keluarga miskin akan melahirkan generasi yang tak kalah miskinnya dan sebaliknya. Saya rasa pendapat itu benar. Tentu saja pendidikan bukan satu-satunya faktor. Tetapi hanya pendidikanlah jawaban rasional yang dapat kita rumuskan dalam permasalahan mendasar negeri ini. Kenapa itu bisa terjadi? Model pendidikan kita dikelola dengan mengikuti logika bisnis: Privatisasi. Akan panjang jika diurai. Masuknya Indonesia menjadi anggota World Trade Organization (WTO) adalah salah satu penyebabnya. Konsekuensi dari bergabungnya Indonesia itu berakibat pada sistem pendidikan yang tidak luput dari pemaknaan pelayanan jasa (sektor tersier). Bahaya dari liberalisasi pendidikan membuat secara perlahan pemerintah akan melepas biaya pendidikan dan membiarkannya ditanggung oleh masyarakat.

Pada titik ini pendidikan ibarat jalan tol. Meminjam istilah Ivan Illich, bahwa hanya mereka yang mampu membayar akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah dan menikmatinya. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, mereka tidak punya kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah. Oleh karena itu, reformasi lembaga pendidikan harus didengungkan, dikobarkan, dan dilaksanakan. Pendidikan hari ini tidak adil dan tidak beradab. Negara seharusnya melayani peserta didik apa pun latar belakangnya supaya bisa mengakses kualitas pendidikan yang setara atas nama keadilan sosial.

Sebagai penutup saya hanya ingin menyampaikan kepada Kak Raeni, sungguh begitu banyak pemuda-pemudi di Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi namun terhalang tingginya ongkos pendidikan. Bagi perempuan yang berpikir pragmatis, paling aman setelah lulus sekolah adalah bekerja kemudian menikah. Tentu saja pilihan itu tidak sepenuhnya salah. Tetapi tidak bagi Tuti, tokoh fiksi dalam roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana:

Masalah yang datang harus dihadapi, bukan dihindarkan dengan mencari pelarian. Seperti perkawinan yang digunakan untuk pelarian mencari perlindungan, belas kasih, dan pelarian dari kesepian atau demi status budaya sosial.

Jakarta, 15 Juni 2022

Ade Mulyono

Ade Mulyono Esais dan prosais

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.