Puspa Seruni Emerging UWRF 2022

Ruang Tanpa Jendela

4 min read

Ruang Tanpa Jendela-Kolonian

Saya berdiri mematung di depan gerbang dengan dada yang bergemuruh. Sesosok lelaki muda berusia belasan tahun berdiri puluhan meter di depan sana. Seharusnya saya melangkah, menyongsongmu yang sekarang tingginya sudah melebihi saya. Bukankah selama ini saya bertahan untuk dia? Bukankah hawa di luar gedung lebih nyaman dibandingkan bau apek dan pesing yang selama ini harus saya hirup? Jika ada banyak harapan yang bisa ditumbuhkan di luar sana, mengapa hati saya terasa menciut untuk melangkah dari gerbang ini? Mungkin terlalu lama menghirup aroma pekat amonia dari kencing sendiri telah membuat syaraf di kepala saya korslet. Saya gemetar, ketakutan menyusup kental dalam hati saya. Apakah mungkin perempuan curang macam saya masih layak hidup di antara manusia lain yang bersih tanpa noda? Saya memegangi kepala yang tiba-tiba pening. Suara berdenging dari cemoohan orang lima belas tahun silam kembali terdengar.

Saya masih ingat, waktu itu kamu masih berusia dua tahun. Bicaramu belum terlalu lancar. Lidahmu masih memanggil saya dengan sebutan bubu. Tetapi mereka sudah menyeret saya menjauh dari kamu. Tangan saya katanya penuh kotoran, bau dan menjijikkan. Mereka mau membersihkan tangan bahkan mungkin badan saya. Mereka memborgol kedua tangan saya dan memanggil juru berita untuk mewartakan pada dunia bahwa seorang perempuan curang telah ditangkap. Pembersihan diri dimulai saat mereka meminta saya untuk mengganti pakaian dengan kemeja berwarna layung. Warna yang memberi tanda bahwa hidup saya tenggelam seiring datangnya badai celaan yang menggulung nama saya.

Amarah saya naik hingga ke ubun-ubun. Saya memaki dan melontarkan suara-suara yang memekakkan telinga. Namun, orang-orang itu tak memedulikannya. Mereka menjebloskan saya dalam ruangan gelap tanpa jendela, tanpa cahaya. Saya memanggil siapa saja yang saya kira bisa menyelamatkan. Saya menyebut nama suami yang katanya mencintai saya, teman-teman yang dulu selalu datang meminta bantuan, rekan kerja yang kooperatif dan selalu baik, bahkan kenalan yang pernah datang mengiba meminta pertolongan saya. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang datang. Suara saya hanya memantul-mantul pada dinding yang dingin. Saya menggigil sendirian, merasakan suara itu yang semakin lama terdengar sangat mengerikan.

Kamu, bocah lelaki berusia tiga tahun yang sejak bayi mengisap sari pati makanan dari dada saya, yang akhirnya membuat saya berhenti bersuara. Kamu mendatangi saya di suatu siang dengan tatapan nanar. Saat tangan saya mencoba menyentuh, kamu menghindar dan mengerutkan kening. Baru satu tahun saya pergi, kamu telah menganggap saya asing. Tubuh saya seperti terlempar ke jurang yang tak memiliki dasar. Saya melayang pasrah, tak hendak meraih pegangan untuk menahan tubuh saya agar tak jatuh. Saya membiarkan tubuh saya berdebam membentur dasar jurang yang lembap. Ini lebih menyakitkan daripada diasingkan di dalam sebuah kamar sempit, gelap dan bau.

“Jangan pernah lagi bawa dia kemari. Jika kelak dia bertanya ke mana ibunya, katakan saja saya pergi bekerja di luar negeri.”

Saya mencoba untuk menahan tangis, tetapi air mata itu meluruh begitu saja tanpa permisi. Setelah itu, kamu tak pernah datang lagi. Biarlah saya menjadi asing bagimu. Seharusnya kamu memang tak perlu menanggung malu atas perbuatan saya. Kamu layak memiliki ibu yang lebih baik dari saya.

Bermalam-malam saya lalui dalam gelap. Setelah saya tahu tak ada lagi yang mengingat keberadaan saya, saya mencoba mengiris nadi. Barangkali jika pembuluh darah saya terputus, Tuhan akan sudi mengangkat beban berat yang saya panggul dan saya menjadi benar-benar dilupakan. Ternyata tidak, orang-orang itu bahkan memindahkan saya ke ruangan yang lebih sempit dan pengap. Dengan pengawasan 1×24 jam, saya seperti seekor ikan yang tak punya tempat sembunyi di dalam akuarium. Tidak ada batu-batu atau tanaman air, mereka bahkan bisa melihat saya membuang kotoran dalam kakus. Tentu saja saya ingin keluar, tetapi dinding ini terlalu tebal. Saya tak pernah menemukan cara. Sejak saat itu, suara-suara dalam kepala terdengar bising. Mereka teramat berisik mengganggu malam-malam saya. Membuat saya seperti pecinta yang merindukan kekasihnya pada pukul dua pagi.

Itu belasan tahun lalu, waktu saya mati-matian menahan rindu pada kamu. Dan kita sudah tak berjumpa sejak lima belas tahun lalu. Saya tak pernah tahu setinggi apa kamu sekarang, saya tak lagi mendengar kabarmu. Mungkin ayahmu menyekolahkanmu ke luar negeri agar tidak ada yang tahu bahwa kamu anak dari seorang perempuan pecundang.

Dan hari ini, tubuh saya membeku. Saya menghentikan langkah saat sesosok anak lelaki berdiri kaku sambil memandang ke arah saya. Wajahnya berhias senyum tanggung dengan sorot mata yang asing. Saya tidak perlu menggali ingatan terlalu dalam untuk menandai. Meski waktu telah mengaburkan potret wajahmu dalam benak saya, seorang ibu tak akan keliru mengenali putranya.

Ada kemarau panjang pada pangkal tenggorokan saya, menahan rangkaian kata untuk melewatinya. Kita masih mematung, berdiri di tempat masing-masing. Tidak ada yang melangkah maju untuk mendekat. Bentangan jarak yang hanya beberapa meter seperti terulur memanjang menjadi ribuan mil. Saya seharusnya berlari untuk menyongsong dan memelukmu. Namun, lutut-lutut saya gemetar, saya takut anak lelaki yang sudah lima belas tahun tidak saya peluk itu akan menghindar lagi seperti dulu.

Lalu suara-suara itu kembali membuat kepala saya berisik. Seharusnya kamu tak perlu menjemput saya di sini. Kamu tak perlu ingat ada saya dalam penjara ini. Seharusnya kamu tetap menganggap saya orang asing. Saya tidak mungkin membiarkan hidupmu digelayuti sebutan anak residivis. Alangkah bebalnya saya jika masih punya hati untuk mengecup keningmu setelah dengan sadar menyuapimu dengan makanan kotor.

Tidak… Tidak. Dia tidak boleh menanggung kesalahan saya.

Saya bergumam sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kaki saya kembali bergetar. Saya memutuskan untuk berputar. Suara-suara itu benar. Kamu seharusnya hidup damai bersama ingatan baikmu tentang saya dulu. Kenangan ketika saya cemas menggendongmu saat kamu sakit atau ketika saya membacakan banyak buku dongeng untuk menemanimu tidur. Saya membalikkan badan.

“Bu…”

Sebuah suara serak menahan langkah saya. Jantung saya berdegup kencang disertai bulir keringat yang mulai mengalir di wajah. Tetapi suara-suara di kepala saya kembali membuat bimbang. Seperti tahun-tahun sebelumnya, suara-suara itu ingin merenggut hak saya untuk merindukanmu.

“Ayo kita pulang ke rumah, Bu.”

Suaramu terdengar bergetar. Saya memejamkan mata, bulir hangat semakin deras mengalir melewati ceruk pipi. Sudah lama saya tidak mendengar kata rumah. Apakah maknanya masih sama seperti lima belas tahun lalu? Tempat untuk pulang dan berteduh? Di mana rumah saya?

Suara-suara berisik itu kali ini hanya tertawa, membuat saya pening. Saya menepuk-nepuk tempurung kepala untuk menghentikan tawa itu. Namun ia tak mau berhenti, bahkan semakin menjadi. Ia mengejek saya yang tak lagi memiliki tempat untuk pulang, tak ada rumah. Rumah saya adalah ruangan tanpa jendela. Saya orang buangan, saya pecundang yang harus dilenyapkan.

Saya hendak berlari tetapi tanganmu menahan lengan saya. Kamu telah berdiri di samping saya. Telapak tanganmu mengusap air mata saya.

“Ayo, Bu. Kita tebus masa lima belas tahun yang hilang itu.”

Dengan tubuh tinggimu yang telah melebihi saya, kamu membawa saya dalam pelukan. Tangis itu pecah. Setelah bertahun-tahun saya merasa sendirian dan diabaikan, kamu, anak lelaki yang saya tinggalkan saat masih berusia tiga tahun, kini datang menjemput saya di pintu penjara. Sebenarnya saya tidak mau mengganggu dan membebani jalan hidupmu yang masih panjang, tetapi siapa yang rela melepaskan pelukan setelah lima belas tahun saya menanggung rindu itu sendirian?

Ah…

Saya merintih, terkejut mendengar sebuah letusan. Sesuatu yang buruk terjadi, terlihat jelas dari raut wajahmu yang meringis. Dada saya tiba-tiba sakit.

Tolong, kembalikan saya ke dalam ruangan tanpa jendela itu. Hanya di ruangan itu saya aman.

Saya ingin berbisik kepadamu, tapi tenggorokan saya tiba-tiba kering melihat wajahmu yang memucat. Kamu meraba dada saya kemudian terkejut melihat darah segar yang ada pada telapak tanganmu.

Puspa Seruni Emerging UWRF 2022

2 Replies to “Ruang Tanpa Jendela”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.