Objektivikasi Alam dan Seni yang Pudar

2 min read

Objektivikasi Alam dan Seni yang Pudar-Kolonian

Alam adalah Ibu yang paling lemah lembut, selalu bersabar pada anak-anaknya.

-Emily Dickinson-

Tulisan ini ditujukan sebagai tanggapan atas tulisan yang berjudul “Ekspresi Seni dan Alam Raya” yang ditulis oleh Farhan Lazwardi.

Dalam tulisan Farhan aku dapatkan dua inti penghayatan dia dalam pengalamannya di acara Kemah Seni Fest 2022. Pertama adalah mempertanyakan bagaimana prosesi seni pertunjukan yang disuguhkan dalam acara Kemah Seni Fest. Ke dua adalah bagaimana relasi antara seni dengan alam. Pertanyaan pertama mengakibatkan lahirnya pertanyaan yang ke dua yaitu mempertanyakan kembali soal esensi kesenian.

Atas penghayatan pengalaman Farhan tersebut, intensiku langsung mengarah pada kedua tanda tanya besar itu. Sebab misteri terbesar manusia yaitu mempertanyakan hubungannya dengan alam. Bahkan ilmu filsafat—yang dibilang ibu dari segala ilmu—menguras seluruh paradigma serta teorinya hanya untuk memecahkan persoalan tersebut. Yakni mempertanyakan posisi manusia dalam kaitannya dengan alam.

Dalam memahami alam, pertama-tama manusia menciptakan ulang pengalamannya dengan alam. Cara ini kemudian disebut mimesis oleh Plato. Pandangan seperti itu terbentuk sejak kita kecil. Misalnya ketika diminta menggambar untuk pertama kali di sekolah dasar, pasti yang kita gambar adalah dua gunung dengan matahari di tengahnya, jalan menurun dengan kiri kanannya pematang sawah yang lengkap dengan satu atau dua burung camar melintas dan melayang di langitnya.

Dalam periode antroposentris seperti di masa kita sekarang, banyak orang yang memiliki pandangan bahwa manusia berada di atas alam dikarenakan kemampuan akal budinya. Alam dipandang sebatas keindahan semata dan bahkan lingkungan hidup dipandang sebatas benda mati yang bisa dipergunakan serta dimanfaatkan semena-mena oleh manusia. Dampak dari pandangan ini adalah seperti yang dikatakan Farhan dalam tulisannya. Alam hanyalah sebuah objektivikasi dalam wilayah kesenian. Alam menyuguhkan keindahan dan seni (seolah-olah), merepresentasikan keindahan itu sendiri.

Merujuk pada pengalamanku di Kemah Seni Fest 2022, pertunjukan kesenian yang ditampilkan pada acara tersebut tidak menjadikan alam sebagai objektivikasi kesenian mereka, dan bahkan bisa dibilang sama sekali tidak berorientasi pada alam. Semua seni pertunjukan yang ada di sana mulai dari musik, tari kontemporer, teater, pantomim, standup comedy, dan puisi-puisi yang ditulis tidak berdasarkan pada alam, bahkan terkesan memisahkan diri dari krisis lingkungan yang terjadi dan seni yang dipertunjukkan tersebut seolah-olah lepas dari problematika alam yang ada. Hal tersebut menguatkan apa yang menjadi kewaspadaan Farhan atas keterpisahan alam dengan seni. Alam pada acara tersebut semata-mata hanya menjadi latar tempat yang dijadikan komoditas seni pertunjukan diselenggarakan. Barisan pohon pinus hanya menjadi alat gantung untuk lampu-lampu dan media tempel untuk kain yang kemudian dihiasi oleh puisi.

Anggaplah keberagaman seni pertunjukan yang disuguhkan pada acara tersebut untuk mengajak orang-orang agar semakin menyukai produk kesenian. Akan tetapi setiap pertunjukan di sana tidak memberikan sensibilitas motorik karena seni pertunjukan yang disuguhkan tidak merangsang daya intelektual pengunjung atas seni lingkungan atau istilahnya environmental art. Di sana seni seperti dikomoditaskan dalam industri budaya (seni pertunjukan), dan menjadi produk yang dibentuk nilainya hanya untuk menjadi hiburan dan santapan ringan di kala berkemah, bukankah ini fetisisme?

Alam dengan muatan ambiguitasnya, secara suka atau tidak suka menghantarkan kita untuk menyadari bahwa alam tidak bisa hanya menjadi latar atau objektivitas semata dan alam sesungguhnya membungkus kegiatan manusia. Mungkin di sini letak dari maksud bahwa alam dan seni memiliki kedekatan emosional dalam berkembang, bahwa alam dan seni adalah dua hal yang tidak bisa dilepaskan, dan masing-masing dari mereka itu berkaitan1. Namun ketika alam dan seni yang memiliki kedekatan emosional dalam berkembang tidak diimplementasikan dengan tepat maka hasilnya semakin jelas, adalah keterpisahan antara seni dan alam.

Dan pada acara kemah seni kemarin itu semakin nyata keterpisahan tersebut di mana ketika hujan turun saat acara berlangsung, mengakibatkan acara sempat terhenti dan panitia sibuk mengupayakan serta mengotak-atik susunan suguhan pertunjukan guna menyiasati keadaan di kala hujan. Sebab di acara Kemah Seni Fest yang pertama pun hujan menjadi kendala dan ketika hujan (baca: hasil alam), disebut sebagai kendala, tentu manusia, terkhusus seniman sudah menjadi terasing dengan alam dan kemudian menyebabkan adanya reduksi kesenian pada batas kegunaannya yang hanya sebagai pertunjukan semata.

1kata-kata yang dimaksud oleh ketua pelaksana dari tulisan pengantar berjudul “Wisata (pertunjukan) Kesenian”. lengkapnya bisa dibaca di https://kolonian.is/2022/06/07/wisata-pertunjukkan-kesenian/

One Reply to “Objektivikasi Alam dan Seni yang Pudar”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.