Ekspresi Seni dan Alam Raya

2 min read

Ekspresi seni dan alam raya-Kolonian

“Di dalam segala hal yang ada di alam semesta ini, sesungguhnya kita bisa melihat banyak keajaiban” kata salah satu filsuf Yunani, Aristoteles.

Keajaiban yang terjadi pada alam menjadi sebuah pengalaman menarik bagi kehidupan manusia. Relasi manusia dengan alam selain sebagai tempat bernaung, sekaligus juga bagian dari alam itu sendiri. Sehingga ada keterkaitan yang tak bisa dihindari. Lalu apa yang terjadi dari relasi tersebut?

Beberapa waktu lalu, saya baru saja menghadiri sebuah acara kemah dibarengi dengan sebuah pertunjukan seni. Kegiatan ini bertajuk Kemah Seni Festival 2022 yang diinisiasi oleh Cilebut Art Project, komunitas kesenian yang bemarkas di daerah Cilebut, Kabupaten Bogor. Komunitas ini membawa pertunjukan kesenian ke wilayah dataran tinggi. Bertempat di tengah-tengah barisan pohon pinus dengan sayup kabut, dan seceruk kecil jauh di sana terlihat pemandangan lampu kota. Tempat tersebut bernama Perkemahan Bumi Paseban. Dan acara ini bukan yang pertama kalinya, sebelumnya acara ini telah diselenggarakan pada tahun 2021 lalu.

Di sana saya disuguhkan beberapa pertunjukan kesenian, mulai dari musik, tari kontemporer, pertunjukan teater, pantomim, hingga stand up comedy. Keberagaman ini merupakan corak tegas dari acara ini, dan mungkin ini juga salah satu upaya mewujudkan interpretasi mereka terhadap kata ‘seni’ dalam acara mereka.  

Sedikitnya yang membuat saya takjub adalah para penampil yang tentunya memiliki persiapan lain daripada biasanya. Mereka harus mensiasati cuaca yang tak menentu, suhu yang dingin, dan hal-hal lain yang tidak bisa kita prediksi dari alam. Pengkaryaan mereka seperti ada percobaan peleburan dengan sifat alam. Keberlangsungan inilah yang pada akhirnya coba saya maknai sebagai relasi kita (manusia) dengan alam.

Menikmati pertunjukan seni dengan suasana alam yang asri adalah sebuah pengalaman tersendiri bagi saya. Sebuah keindahan yang diciptakan alam bertalian dengan kesenian hasil produksi manusia. Keterkaitan ini memunculkan banyak kemewahan dalam menghayati kegiatan ini. Namun hal-hal yang saya rasakan di tempat itu membuat saya mempertanyakan ulang juga apa sebetulnya relasi manusia dan alam dalam proses berkesenian?

Alam sendiri memang sering dikaitkan sebagai dorongan atau sumber inspirasi bagi seniman dalam bekarya. Sederhananya, jika seniman buntu maka larilah ke alam. Mungkin adanya kenyamanan yang dihadirkan alam membantu meningkatkan daya berpikir para seniman atau bisa juga keindahan alam yang beragam menjadi alasannya. Alam sebagai tempat bernaung, kini sekaligus juga menjadi tempat meditasi untuk pencarian akan sesuatu (inspirasi).

Seni sendiri bila dikutip dalam jurnal (Sugiharto, 2016), adalah sebuah upaya untuk menggali kedalaman yang rumit mengenai pengalaman dan mengkomunikasikannya melalui pengolahan bentuk yang bersentuhan dengan indera dengan tujuan membuka kesadaran baru atas realitas.

Kedalaman yang rumit tentang pengalaman inilah yang bisa kita maknai sebagai penggalian nilai-nilai pada kehidupan, salah satunya alam. Proses penggalian tadi diwujudkan sebagai bentuk ekspresi seniman atas pola berpikirnya dalam bentuk sebuah karya. Kehadiran karya ini pastinya memuat nilai wacana seniman tentang alam misalnya. Wacana ini yang justru selalu luput bagi kita sebagai penikmat barangkali juga seniman dalam memaknai karya seni.

Sayangnya sejauh pengetahuan saya terhadap karya yang berorientasi pada alam, penempatan seperti pohon, langit, lautan dan hal-hal yang terkadang dalam alam, seperti sebuah fragmen yang sengaja dihadirkan untuk mendongkrak nilai estetika dalam karyanya. Jika demikian dapat dikatakan bahwa alam hanyalah sebagai sebuah objektifikasi dalam wilayah kesenian.

Acara seperti Kemah Seni Festival ini saya anggap dan harap selanjutnya bisa menjadi salah satu upaya kita bersama dalam memaknai ulang relasi kita sebagai manusia dan alam. Kesadaran akan realitas baru tentang alam harus kita usahakan. Apa yang telah diberikan alam untuk kita setidaknya harus bisa juga berakibat pada proses pelestarian alam itu kembali. Jangan sampai ekspresi manusia yang didorong alam justru tidak menghasilkan simbiosis mutualisme dengan alam. Lantas bila terjadi demikian, kita harus mempertanyakan kembali arti kesenian yang selama ini telah dibuat.  

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.