Saya punya kucing, Centini namanya. Warna kucing itu abu-abu dengan mata yang menyala. Setiap pagi selalu saya beri ia makan nasi uduk yang saya beli di warung dekat rumah. Begitulah setiap pagi saya memperlakukan Centini, kami terbiasa makan berdua; sebungkus dibagi dua.
Sebagai kucing wajar saja bila Centini tidak suka memakan nasi uduk, apalagi nasi uduk tersebut tanpa lauk. Akan tetapi syukurlah, karena Centini tidak seperti kucing-kucing lainnya. Toh ia tetap suka memakan makanan apa saja, asalkan makanan itu pemberian dari saya.
Seseorang mungkin bertanya, mengapa pula saya memberinya nama Centini. Saya pun sebenarnya hanya mengada-ada karena saya menemukan Centini pun tidak disengaja. Lagi pula, apalah artinya sebuah nama? Memang setiap nama memiliki arti, tetapi yang terpenting dari sebuah nama adalah bagaimana kita berupaya agar nama tersebut menjadi berarti.
Centini merupakan satu dari sekian banyaknya kucing liar yang paling sering berkeliaran di depan rumah saya. Awalnya saya mengira bahwa Centini merupakan kucing yang paling liar di antara kucing-kucing lainnya yang sering berkeliaran. Akan tetapi dugaan saya itu ternyata tidak benar karena ternyata masih banyak kucing-kucing lainnya yang paling liar, yang tentu saja jarang berkeliaran.
Centini memang liar, tetapi keliarannya hanya sebatas mengganggu hubungan antara kucing-kucing jantan dengan kucing-kucing betina, baik yang liar maupun yang milik tetangga. Tak pernah sekalipun ia meracaui rumah-rumah tetangga saya, apalagi meracaui hubungan rumah tangga tetangga-tetangga saya. Karenanya, saya ambil Centini agar tidak dirusak oleh kucing-kucing liar maupun kucing-kucing milik tetangga yang pemiliknya pun tak kalah liarnya.
Saya mengagumi Centini bukan hanya karena ia menggemaskan, melainkan dan terutama karena ia sama sekali tidak sama dengan kucing-kucing milik tetangga saya. Pernah suatu ketika, rumah saya kedatangan seorang tamu yang cantik jelita. Saya dan Centini tidak tahu siapa wanita itu dan apa maksud kedatangannya. Centini yang sempat melihat wanita itu langsung belari ke kamar mandi dan meninggalkan kami berdua. Awalnya saya ingin mengusir wanita itu dengan halus—dengan alasan bahwa ia tak punya kepentingan—akan tetapi saya ini orangnya tidak tegaan, hingga akhirnya seperti pertama kali menjamu Centinilah saya menjamu wanita itu.
Wanita itu saya persilakan duduk di ruang tamu. Saya perintahkan agar ia menunggu sampai saya kembali dari belakang. Setelah beberapa saat, saya kembali dari belakang dengan membawa segelas air tawar untuk disuguhkan kepada wanita itu. Maklum hanya ada air tawar, saya tidak punya minuman atau makanan apa pun untuk disuguhkan.
“Silakan diminum airnya,” ucap saya mendahului.
Wanita itu menatap saya dengan tajam, kemudian tersenyum menyeringai dan tanpa mengucapkan terima kasih. Dari tatapan matanya itu, saya mengira bahwa saya akan diinterogasi. Saya ketakutan bukan main.
“Dari tadi saya perhatikan, Mbak terus-terusan memperhatikan saya.” Setelah beberapa saat, akhirnya saya berani memulai kembali percakapan.
Namun, saya gemetar setelah mengucapkan kalimat itu. Dan hal apa pula yang mendorong saya untuk mengucapkan kalimat sebodoh itu. Kini wanita yang terus-terusan menatap saya dengan tajam itu, semakin menajamkan tatapannya agar bisa terus-terusan memperhatikan saya lebih tajam dari tatapannya yang sebelumnya, sembari menyilangkan kaki kirinya. Aduh, saya takut. Betapa gobloknya saya!
Wanita itu meminum air tawar yang saya suguhkan dalam sekali tegukan. Ketika suasana sudah terasa tenang, saya bertanya mengenai maksud kedatangannya.
“Lalu apa maksud kedatangan Mbak? Maaf, saya tidak bisa menjamu lama-lama.”
Lagi-lagi saya melakukan kegoblokan. Setelah perkataan itu, ketakutan saya semakin menjadi-jadi. Wanita itu dengan tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke wajah saya. Saya takut, karena selama ini hanya Centinilah yang biasanya melakukan hal seperti itu—tidak pernah seorang wanita, apalagi cantik jelita. Untuk yang pertama kalinya dalam hidup saya, jantung saya seperti mau lepas!
Centini datang dengan santainya. Dan ketika melihat kami berdua, ia ternganga. Lama sekali ia ternganga di tempat. Hingga saat wanita itu menyadari kedatangan Centini, wanita itu menarik wajahnya dari wajah saya dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Centini. Wanita itu tersenyum, pandangan matanya masih tajam. Kini pandangan matanya telah berubah arah, dari saya menuju ke arah Centini.
Centini diam saja ketika ditatap oleh wanita itu, sesekali ia memandangi wajah saya yang sedang menatapnya dengan polos. Barangkali Centini sudah tahu bahwa saya sudah mengetahui maksud dari kedatangan wanita itu, adalah hendak mengambil dirinya. Saya hanya bisa tersenyum karena saya bukan pemilik aslinya dan kemutlakan pilihan adalah pilihan Centini—terserah ia ingin memilih siapa—meskipun saya tak bisa memastikan bahwa wanita itu merupakan si pemilik Centini yang sebenarnya. Toh bisa saja wanita itu hanya mengada-ada.
Centini berlari ke arah wanita itu dengan cepat dan saya kecewa melihatnya. Rupanya seekor kucing pun bisa menentukan mana pilihan yang terbaik untuk hidupnya, tidak seperti saya. Akan tetapi saya masih bisa tersenyum ketika melihat itu—seandainya nanti saya berpisah dengan Centini.
Centini telah berada di pangkuan wanita itu yang masih duduk di kursi ruang tamu. Kucing itu menatap saya dengan penuh keharuan, dan saya pun membalas tatapannya dengan perlakuan yang sama. Wanita itu tersenyum bahagia sembari mengelus-elus punggung Centini. Namun ketika wanita itu hendak berdiri sembari membawa Centini, kucing itu mengertak. Dilemparkannya Centini hingga mengenai ujung kursi. Centini pun terkapar, saya kasihan melihat Centini sekaligus marah kepada wanita itu. Ketika wanita itu telah sepenuhnya berdiri dan hendak beranjak pergi, tampak celana wanita itu basah. Centini yang masih terkapar, menatap saya sambil tersenyum-senyum. Rupa-rupanya Centini telah mengencingi wanita itu. Centini pun berlari ke belakang, dan tanpa menunggu wanita itu pergi saya segera mengusirnya dari rumah.
Wanita itu telah lama pergi dan Centini masih tetap bersama saya. Semenjak kejadian beberapa minggu yang lalu itu, saya semakin sayang kepada Centini. Saya menyayangi Centini meskipun kucing itu gobloknya bukan main, terlebih saya pun tak kurang gobloknya dari Centini. Saya menyadari bahwa rasa sayang saya kepada Centini begitu pun sebaliknya, tidak terikat oleh goblok atau tidaknya tindakan kami. Tetapi oleh persamaan nasib yang telah mengikat hubungan kami.
Hal itulah yang membuat saya memutuskan untuk mengambil Centini. Saya tidak tega seekor kucing yang menggemaskan dan baik hati seperti Centini sering dicap maling oleh tetangga-tetangga saya hanya karena ia tidak ada pemiliknya. Saya ingin membuktikan bahwa makhluk seperti kami yang kesehariannya hidup tanpa ‘pemilik’ dan dekat dengan kemiskinan, masih bisa hidup dengan saling memiliki dan masih mempunyai harga diri. Tidak pernah mencuri, tidak pernah meminta-minta, tidak pantas diomong-omongkan, dan tidak seharusnya diasingkan.
Syukurlah hal itu dapat dibuktikan ketika beberapa minggu lalu datang seorang wanita cantik jelita yang ingin mencari tahu tentang seberapa melaratnya hidup saya. Padahal ia sebenarnya juga sudah tahu, seberapa melaratnya hidup saya ini; toh setiap pagi ia selalu melihat kami berdua, memakan sebungkus nasi uduk dibagi dua.
Good