Beberapa tahun lalu, saya kerap merasa geli ketika mendengar istilah writer’s block—kondisi di mana seseorang (penulis) mengalami kebuntuan dalam menulis. Alasannya sangat sederhana. Pertama, saya merasa ia—writer’s block ini—tidak pantas disematkan kepada orang semacam saya. ‘Derajat’ saya masih rendah untuk mengidap penyakit yang paling dimusuhi oleh penulis ini. Ke dua, istilah ini terdengar begitu keren, tapi membunuh. Dan saya benci dengan sesuatu yang terdengar keren, tapi membunuh.
Seorang penyair yang tinggal satu kota dengan saya, pernah berkelakar bahwa writer’s block hanya akan menghinggapi penulis yang kerap menulis di tempat-tempat tertentu. Waktu itu saya membayangkan sebuah tempat yang tidak terjangkau oleh saya yang berdompet ceking. “Kalau kita yang menulis di pojokan-pojokan sempit kos-kosan seperti ini, istilahnya bukan terserang writer’s block, tapi terserang kemiskinan!” ujar si penyair ketika itu. Tentu saja, ia mengujarkannya seraya tertawa, dan saya yakin tawa itu bukan untuk siapa-siapa, tapi untuk kami yang sedang terserang penyakit ‘malas’ dan miskin serta sedang tidak berdaya untuk sekadar menggali ide.
Belakangan—terutama beberapa minggu ini—saya mesti menelan kegelian saya sendiri. Bahkan, saya sudah sampai pada titik “merasa tidak bisa melakukan apa-apa,” terhadap sebuah aktivitas menulis. Setiap pagi, saya membuka halaman baru Microsoft Words, menyeduh kopi, duduk kembali menghadapi layar berwarna putih, lalu jemari saya berhenti di atas keyboard. Jangkrik betul! Sejangkrik-jangkriknya kebuntuan, saya tidak pernah mengalami kemandekan seperti ini. Apakah saya terserang writer’s block? Jangkrik betul! Betul-betul jangkrik!
Itu belum seberapa tentunya. Bahkan, saya pernah memecahkan rekor dalam satu hari hanya bisa menghasilkan satu paragraf pendek untuk memulai sebuah cerita pendek. Itu belum berlanjut ke perihal gagasan. Rasanya seperti ada yang tersumbat dalam kepala saya dan saya butuh apa pun agar bisa membobol sumbatan itu. Beberapa hal standard saya lakukan. Ketika petang, saya mulai (kembali) sering nongkrong di pantai pelabuhan tua Ampenan. Menemani anak saya melihat kapal pengangkut minyak yang sedang mengantre mengirimkan muatannya ke terminal BBM Ampenan; sekali waktu duduk di sebuah kafe ‘harga ekonomis’ dan memesan kopi; bersepeda menyusuri bantaran sungai Jangkok; atau pergi ke sebuah toko buku tua sekadar untuk membelikan anak saya buku-buku gambar. Semuanya tidak berhasil. Dan saya benar-benar belum menemukan pembobol sumbatan itu!
Lalu, kenapa tidak melakukan kebiasaan lama? Menonton film, misalnya. Saya sudah melakukannya. Tapi barangkali belum menemukan film yang tepat sampai saya kembali melirik ke salah satu film besutan Yasujiro Ozu, seorang sutradara Jepang berpengaruh selain Akira Kurosawa, Kenji Mizoguchi dan sejumlah nama lainnya. Seturut pengetahuan saya, Ozu adalah seorang sutradara yang tetap istikamah di jalur realisme. Ia unggul dengan tema-tema klasik yang dihadirkan dalam potret keseharian masyarakat (Jepang) seperti: kesepian, pebenturan modernitas, masa tua, atau konflik antargenerasi dalam sebuah keluarga.
Film yang saya pilih kali ini adalah Good Moorning (1959), film yang sepertinya tidak banyak dibicarakan ketimbang film karya Yasujiro Ozu lainnya, semisal Tokyo Story (1953), atau Early Summer (1951). Keduanya kebetulan sudah pernah saya tonton. Sebagai sebuah gambaran sederhana, Good Moorning memunculkan suatu masa ketika televisi masih menjadi barang cukup mewah di Jepang. Anak-anak yang lahir dari keluarga pas-pasan terpaksa harus menonton televisi di rumah tetangga, dan ini memengaruhi pola interaksi antara anak-orangtua, orangtua-tetangga dan seterusnya.
Selepas menonton Good Moorning, saya mencoba mengingat-ingat sejumlah adegan singkat, menyalin beberapa percakapan pendek dan menuliskannya. Saya menyunting beberapa detail dalam peristiwa pendek tersebut—termasuk dialognya. Saya sengaja melakukannya untuk melatih diri saya sendiri dalam menciptakan atau menggambarkan ‘peristiwa’ sederhana dalam sebuah cerita. Sejauh ini lumayan berhasil. Upaya ini bisa membuat kran yang tersumbat dalam kepala saya mulai terbuka.
Membaca ulang hasil keisengan tersebut, membuat saya tersenyum sendiri dan mulai menggurutu: Sialan benar, ini cuma adegan berdurasi pendek, hanya sekitar 69 detik dan bisa menghasilkan 452 kata! Saya terus mengingat adegan berdurasi pendek tersebut. Tentu saja, ia akan tersimpan dalam ingatan saya yang berdurasi panjang. Atau setidaknya—biar kita sama-sama bisa mengingatnya—saya juga akan membagikannya untuk Anda dalam paragraf selanjutnya.
***
Menunggu Kereta Menuju Ginza
Ketika sedang menunggu kereta yang menuju Ginza, Setsuko Arita bertemu dengan guru Bahasa Inggris itu. Ia adalah seorang tetangga yang baik dan tak pernah menolak ketika Setsuko menyerahkan berkas-berkas dari tempatnya bekerja untuk diterjemahkan. Pria lajang itu pernah bekerja di sebuah perusahaan yang cukup mapan. Setelah perusahaan itu gulung tikar, pria itu harus bekerja serabutan. Ia merasa beruntung karena masih bisa mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak tetangga sembari menerima berbagai dokumen—berkas-berkas tertentu—dari Setsuko untuk diterjemahkan ke dalam Bahasa Jepang atau sebaliknya, ke dalam Bahasa Inggris.
“Selamat pagi,” sapa guru Bahasa Inggris itu, ia sedikit membungkukan badan dan tersenyum ramah kepada Setsuko.
Setsuko sedikit membungkukkan badan dan memamerkan gigi putihnya yang gingsul. Ia selalu terlihat lebih manis dengan senyuman yang khas seperti itu. “Selamat pagi,” balasnya kemudian. “Terima kasih untuk semalam. Oh, tumben ketemu di sini. Anda mau ke mana?”
“Ginza.” Guru Bahasa Inggris itu kembali tersenyum.
Kening Setsuko berkerut. Sesaat kemudian wajahnya kembali berbinar. “Oh. Berarti kita bisa berangkat bersama-sama,” ujarnya.
Guru Bahasa Inggris itu mengangguk dengan sopan, sebelum kemudian mendongakkan pandangannya ke arah kelompok-kelompok awan di langit stasiun. “Ini hari yang baik, kan?” ujarnya.
“Ya. Benar-benar hari yang baik.” Setsuko tersenyum manis seraya mengarahkan pandangannya ke langit yang sama.
“Tampaknya cuaca akan bagus untuk sementara waktu,” ujar guru Bahasa Inggris itu setelah jeda beberapa saat.
“Benar,” tanggap Setsuko. “Sepertinya cuaca akan bagus untuk sementara waktu.”
Guru Bahasa Inggris itu masih belum mengalihkan pandangannya dari kelompok-kelompok awan tipis itu. Ia seperti sedang sibuk mencari-cari sesuatu, semacam kalimat yang tepat untuk diucapkan di hari yang baik itu. Semalam ia telah berhasil membawa pulang kembali keponakan Setsuko, Minoru dan Isamu Hayashi yang kabur dari rumah. Kedua bocah laki-laki itu melakukan aksi mogok berbicara selama beberapa hari. Mereka menginginkan sebuah televisi agar bisa menonton pertandingan sumo atau baseball selepas pulang sekolah. Namun, keinginan itu tak kunjung dipenuhi oleh ayah mereka, Keitaro Hayashi. Keitaro pernah sekilas menyinggung hal itu ketika sedang menenggak sake bersama sejumlah kenalannya di sebuah kafe. Menurutnya—sambil mengutip apa yang pernah dikatakan seseorang—televisi hanya bisa menciptakan seratus juta orang idiot baru. Namun, tentu saja Keitaro tidak tega; pada akhirnya ia juga membeli sebuah televisi untuk memenuhi keinginan kedua anaknya meski harus dengan cara mencicil.
“Awan-awan itu terlihat cantik,” ujar guru Bahasa Inggris itu. “Bentuknya seperti… Ya, mengingatkan saya pada sesuatu.”
“Ya, itu seperti… Seperti… mengingatkan saya pada sesuatu,” tanggap Setsuko. Kali ini suaranya terdengar malu-malu.
Jeda kembali. Keduanya masih mengamati langit yang sedikit cerah. Kereta jurusan Ginza belum juga datang.
“Ini hari yang menyenangkan,” ujar guru Bahasa Inggris itu kemudian.
Setsuko menoleh sekilas ke arah guru Bahasa Inggris itu. “Ya, ini hari yang sangat cerah,” tanggapnya. Kali ini suaranya terdengar lebih tenang dan senyumnya terlihat lebih manis dari biasanya.
Ampenan, 11 Mei 2022