Menanti Ayah Pulang

4 min read

Menanti Ayah Pulang-Kolonian

Mengapa orang-orang seragam mengenakan baju hitam ketika melayat seseorang?

Itu adalah pertanyaan yang tak pernah kutahu apa jawabannya, Ayah, karena dulu sekali aku ingin bertanya padamu tapi tak pernah sempat. Kini, ketika orang-orang datang untuk mengantarmu dimakamkan, pertanyaan itu jadi basi dan sia-sia. Aku tak mengerti kenapa orang-orang mengasosiasikan warna hitam dengan duka. Kupikir, kau akan lebih senang kalau mereka datang dengan warna biru karena itu warna kesukaanmu. Tapi tentu saja memasukkan kode warna baju pada berita kematian bukan hal yang lazim dilakukan. Bukan begitu, Ayah?

Ketika Paman datang ke rumah untuk menyampaikan kabar duka itu, aku menatapnya dengan bingung. Aku mendengar bermacam-macam kabar tentangmu, Ayah, tapi yang ini berbeda. Aku tak pernah menyiapkan diri untuk mendengar kabar yang ini.

Aku bersiap menghadapi Ibu yang histeris. Tapi Ibuku, wanita yang pingsan ketika mendengar kabar kau menikah lagi dengan wanita lain, ternyata hanya mengangguk, masuk kamar, lalu beberapa saat kemudian keluar lagi dengan gamis dan jilbab hitam. Aku menatap Ibu dengan kagum. Ibu selalu tahu apa yang harus ia lakukan.

Mata Ibu menemukanku, dan tanpa perlu perintah terucap, aku bergegas masuk kamar dan mengganti baju. Beberapa saat kemudian, aku sudah memegang kemudi mobil. Ibu duduk di sampingku dengan wajah datar. Bibirnya terkatup rapat. Matanya memandang lurus ke depan. Tak ada ekspresi apa pun di wajahnya yang dapat kubaca.

Lalu, kami menjemput Kakak di indekosnya. Kakak memeluk Ibu erat-erat ketika kami tiba. Mata Kakak sudah merah dan bengkak. Pipinya banjir air mata. Suara isaknya adalah satu-satunya suara yang mengiringi dengung halus mesin ketika mobil membawa kami ke rumahmu.

Rumahmu. Rumah Ayah.

Aku ingin tertawa waktu teringat kita berbagi darah yang sama, tapi tidak berbagi atap. Rumahmu bukan rumahku. Aku ingat ketika aku bermain di teras sepanjang sore, menantimu pulang. Awalnya kulakukan itu karena harapan. Lama-lama bukan hanya main di teras yang jadi kebiasaan, melainkan juga kekecewaan yang selalu tiba bersama malam. Aku tak bisa bertanya kapan kau pulang pada Ibu karena pertanyaan itu akan membuatnya gusar dan sedih, dan aku tak ingin melihatnya menangis. Jadi aku menyimpannya sendirian bersama doa konyol anak kecil; semoga hari ini ayah pulang.

Kau selalu pulang, Ayah. Hanya saja rumah kita berbeda dan aku menunggu di rumah yang salah. Saat ini aku sedang dalam perjalanan ke rumah itu. Ini bukan kali pertama aku ke sana. Ibu pernah menyeret aku dan Kakak ke sana malam-malam ketika sudah tiga hari berturut-turut kau tidak pulang. Ibu lalu menggedor pintu rumah itu dengan kemarahan yang tak bisa dibendungnya. Ketika wanita itu muncul di ambang pintu, keributan tak bisa dicegah. Aku ingat kau menghalau Ibu dengan wajah merah karena marah dan malu. Kau sadar betul para tetangga sudah mulai mengintip dari jendela masing-masing. Di tengah kemarahanmu kau membawa kami pulang. Perjalanan itu adalah perjalanan yang paling tidak menyenangkan dalam hidupku. Kau duduk di samping Ibu sambil membisu, sementara Ibu masih tersedu-sedu. Aku dan Kakak duduk dengan tegang di belakang dua sosok yang paling kami cintai menanti siapa yang akan memulai pertengkaran yang belum selesai.

Nyatanya, itu adalah kali terakhir kita bersama sebagai keluarga. Kau memutuskan untuk pergi. Kau memilih rumah yang waktu itu kami datangi. Kau memilih wanita yang waktu itu Ibu teriaki. Tak ada yang bisa menahanmu, Ayah. Tidak cintamu pada Ibu yang kukira sudah lama kedaluwarsa. Tidak juga cintamu pada aku dan Kakak yang ternyata tak cukup untuk membuatmu tinggal.

Aku adalah saksi, yang meski hidup tetap sama bisunya dengan furnitur di rumah. Aku tak bisa ke mana-mana, Ayah. Aku belum cukup dewasa seperti Kakak yang melakukan langkah jenius dengan tidak pulang ke rumah sebelum kau tertidur lelah di sofa dan Ibu mengurung diri di kamar.

Tak banyak yang kupunya untuk mengenangmu selain lempar-tangkap emosi yang kau lakukan dengan Ibu. Aku tak bermaksud menguping. Kalau bisa pun aku tak ingin. Tapi jemariku tak ampuh mencegah suara-suara itu bocor, Ayah. Teriakan marahmu pada Ibu lebih kukenal ketimbang tawamu.

Sekarang, aku memarkir mobil di depan rumahmu. Bendera kuning ditancapkan di pagar. Para pelayat keluar-masuk halaman. Tenda sudah dipasang dan tempat duduk disediakan.

Ibu turun dari mobil dan melangkah ke sana dengan anggun. Sementara aku dan Kakak mengekor di belakang. Kali ke dua ini, Ibu tidak datang dengan langkah mengentak. Wajahnya masih tak menunjukkan emosi apa pun. Ia bahkan tak memedulikan tatapan orang-orang yang mengikuti kedatangan kami. Begitu saja, Ibu berjalan lurus ke halaman, lalu ke teras dan berdiri di depan pintu masuk sambil melepas sandal. Matanya lalu menatap pusat perhatian semua orang di rumah ini.

Wanita itu ada di sampingmu. Jasadmu. Ia kelihatan begitu hancur. Ketika ia mendongak dan menatap Ibu, isaknya terhenti. Sejenak, kedua wanita itu saling tatap. Lalu Ibu melangkah masuk ke dalam, bersimpuh di depan wanita itu dan menariknya ke dalam pelukan. Kemudian tangis mereka pecah bersamaan. Tawaku ingin tersembur ketika melihat itu. Bukankah kali terakhir keduanya terlihat siap saling bunuh? Kini mereka menanggung duka berdua. Dan kau adalah alasan dari semua kejanggalan ini, Ayah.

Kakak menghambur ke sisi tubuhmu yang tergolek kaku sementara aku masih mematung di situ. Apa yang seharusnya kulakukan, Ayah? Apakah aku harusnya menangis juga? Tapi kenapa aku tidak merasakan apa-apa?

Lebih karena merasa harus daripada ingin, aku akhirnya berlutut di sebelah Kakak. Kami kini mengapit tubuhmu yang tergolek tanpa daya. Ironi, ini reuni yang selama ini kumimpikan. Aku, Ayah, Ibu, dan Kakak—bersama-sama lagi di satu ruangan tanpa ada yang beteriak dan melontarkan kemarahan. Bangun, Ayah, bangun! Kita seharusnya merayakan ini! Harusnya ada sebotol sampanye dan musik jazz mengiringi momen besejarah ini. Tapi yang kudapat hanyalah harmoni isak tangis dan ayat suci.

Aku tak ikut memanggul keranda yang mengantarmu ke tempat terakhirmu beistirahat. Aku berjalan jauh-jauh dari kerumunan, membuat para Paman dan Bibi mendelik ke arahku dengan sinis. Kenapa aku harus mengantarmu, Ayah? Bukankah selama ini aku juga tak pernah kauantar ke mana-mana? Kau tak ada di deretan ayah teman-temanku yang menjemput anak-anaknya di sekolah. Kau tak ada di barisan penonton yang mendukungku bertanding bola. Kau tak ada ketika aku menerima penghargaan sebagai siswa lulusan terbaik di-SMA. Sebetulnya aku tak berutang masalah antar-mengantar ini padamu, Ayah. Ini sudah jadi hal yang biasa di antara kita—berjalan sendiri-sendiri saling asing satu sama lain.

Kini kau berbaring di lubang itu ditutupi papan yang mencegah jasadmu tertimbun tanah. Mereka mulai menutup lubang itu sekarang. Satu sekop, lalu satu sekop lagi, lalu sekop selanjutnya. Di setiap sekopan aku bertanya padamu dalam hati. Apa yang sedang kau lakukan, Ayah? Apakah kau menyaksikan kami berkumpul di sekeliling tempatmu tertidur abadi? Bagaimana rasanya berbaring di sana? Hangatkah?

Doa mulai dilantunkan, meningkahi suara kersik daun. Aku tetap membisu menatap lubang yang perlahan genap terisi tanah. Sebentar lagi yang tersisa darimu hanya nisan yang menandai setumpuk tanah merah tempatmu terbaring selamanya.

Semua orang kini sudah pulang. Hanya tersisa aku di sini, Ayah. Bisakah kau melihatku? Aku sedang berlutut di sebelah nisanmu. Sudikah kau mendengarkanku sedikit lagi?

Aku belajar sesuatu ketika aku menyadari bahwa kau tak akan lagi tiba di pagar rumah dan tinggal di sana bersamaku, Ayah.

Bahwa pulang dan pergi itu peristiwa yang sama dan perbedaan mereka hanyalah masalah tempat mana yang kau sebut rumah. Ibu bilang kau pergi ke rumah wanita itu. Tapi wanita itu bilang kau pulang ke rumahnya. Aku tak pernah punya kesempatan untuk bertanya kenapa kau tak memilih rumahku sebagai rumahmu juga, supaya ‘pulang’ menjadi konsep yang sama bagi kita. Aku tak pernah punya kesempatan untuk bertanya kenapa kau memilih wanita itu alih-alih Ibu, wanita yang melahirkanku untuk kau cintai. Pilihanmu masih menjadi teka-teki untukku.

Tapi yang kutahu kini, ini adalah kepergianmu yang penghabisan. Ini adalah pulangmu yang final. Sudah sepantasnya aku menyajikan satu-dua kalimat perpisahan sebagai anak lelakimu yang tak pernah kauberi cukup perhatian. Barangkali aku tak sedih karena aku sudah terbiasa, Ayah. Kepergianmu sudah jadi hal yang akrab.

Jangan salah sangka Ayah, aku tidak pernah membencimu. Aku bukan lagi anak kecil yang sama seperti saat dulu kautinggalkan. Meski jauh dalam hatiku, kusadari bahwa tiap kali aku menengok ke pagar rumah aku masih berharap sosokmu kutemukan. Kurasa anak kecil itu akan selalu hidup dalam diriku.

Kini sudah saatnya aku merelakanmu dengan alasan yang benar. Ada yang lebih berhak memintamu pulang. Ada tempat yang lebih berhak kau sebut rumah. Kuharap di sana kau disambut dengan layak. Dan jika suatu hari aku datang ke sana, aku berdoa semoga Dia menyatukan kita di atap yang sama.

Aku tak lagi menantimu pulang, Ayah. Kau boleh pergi.

Sampai jumpa lagi, suatu hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.