Kekerasan Tidak Memiliki Jenis Kelamin

1 min read

Kekerasan Tidak Memiliki Jenis Kelamin-Kolonian

Beberapa minggu terakhir, berita mengenai Amber Heard dan Jhonny Depp selalu jadi perbincangan di platform berita dan sosial media. Dengan beredarnya video persidangan Amber Heard dan Jhonny Depp membuat sidang perceraian dua pasangan ini selalu menjadi trending topic di media sosial. Ada yang memihak Amber Heard dan ada juga yang memihak Jhonny Depp. Dan tentu saja semua orang berhak berbeda pendapat tentang pemberitaan itu.

Amber Heard dinyatakan bersalah atas kekerasan yang ia lakukan dan ia mengakuinya. Hal tersebut diperkuat melalui bukti rekaman suara yang dibeberkan di persidangan. Dari sini kita sadar bahwa perempuan pandai dalam menggunakan jurus playing victim. Meski Amber Heard sudah dinyatakan bersalah, sebagian netizen masih percaya bahwa Johnny Depp adalah pelaku, sedang Amber Heard adalah korbannya. Dengan terpecahnya dua kubu ini, apa yang bisa kita sadari? Ya, kasus ini sebenarnya adalah contoh dari kompleksnya budaya patriarki.

Banyak orang menyebut Amber Heard sebagai psikopat narsis, seorang perempuan pendendam dengan masalah pengendalian amarah, dan masih banyak lagi. Ketika Amber Heard mengajukan tuduhan pelecehan verbal dan fisik terhadap Johnny Depp pada tahun 2016, tepat setelah mengajukan cerai, kebanyakan dari kita mempercayainya. Sama seperti kita mempercayai semua wanita yang menceritakan kisah serupa melalui tagar #MeToo.

Memiliki kepercayaan bahwa selalu wanita yang menjadi korban adalah bukti budaya patriarki yang telah mengakar di lingkungan kita dengan anggapan bahwa wanita adalah sosok lemah, mudah ditindas, terlebih menjadi seorang istri yang harus menuruti perintah suami. Meskipun masih tabu, sebenarnya laki-laki juga seringkali mendapat kekerasan dalam rumah tangga. Karena ketabuan itu membuat kasus seperti ini jarang dibahas secara umum.

Dikutip dari dw.com, setengah dari korban kekerasan dalam rumah tangga adalah laki-laki yang tidak memberi tahu siapa pun bahwa mereka adalah korban dan mereka juga dua setengah kali lebih kecil kemungkinannya untuk memberi tahu siapa pun daripada korban perempuan. Dan ini semakin menegaskan kalau pria lebih enggan membicarakannya sejak awal, atau mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk membicarakannya.

Seperti dilingkungan sekitar kita, masih banyak orang yang tidak percaya bila ada laki-laki yang berkata “Saya dipukuli oleh istri saya.” Bahkan hal itu sering menjadi ejekan oleh para laki-laki lainnya. Jenis kekerasan yang dialami para lelaki ini juga beragam. Yang paling umum adalah kekerasan ringan seperti ditampar, didorong, dimaki, dipukul, bahkan hingga dilempar barang-barang. Dengan banyaknya laki-laki yang ternyata juga menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, mengapa banyak laki-laki yang tetap enggan melaporkan kekerasan yang diterimanya?

Persoalan di atas terjadi karena kita masih hidup dalam masyarakat patriarki yang menjunjung tinggi mitos budaya pemerkosaan yang hanya berlaku untuk laki-laki karena laki-laki tidak bisa dilecehkan atau diperkosa dan perempuan tidak bisa menjadi pelaku. Karena laki-lakilah yang secara fisik lebih kuat. Karena laki-lakilah yang lebih agresif. Karena ‘pria sejati’ tidak bisa diperkosa. Karena ‘pria sejati’ tidak mengeluh tentang perasaan mereka, dan jika mereka mengalaminya, mereka tidak akan merasa ini adalah hal serius jika sampai mereka diintimidasi dan diejek, bahkan diserang secara fisik.

Sebenarnya laki-laki pada dasarnya bukanlah hewan yang kejam, kasar, dan tanpa emosi. Dan wanita pada dasarnya bukanlah korban. Kemunculan tagar #AbuseHasNoGender ini adalah pencerahan bahwa jika wanita melecehkan laki-laki sama saja seperti laki-laki melecehkan wanita. Dari kasus peceraian Amber Heard dan Jhonny Deep ini menunjukkan bukti bahwa kekerasan tidak memiliki jenis kelamin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.