Redaksi Kolonian Segala yang ada di sini, mari kita rawat dan kembangkan.

927 Tahun Menuju Keabadian

2 min read

927 Tahun Menuju Keabadian-Kolonian

Aku mau hidup seribu tahun lagi…

            Setiap orang yang mendadak menjadi pengamat sastra menjelang tanggal 28 Maret, barangkali menimbang-nimbang apa kiranya yang dipikirkan Chairil Anwar saat menemukan sebuah larik yang menggugah gairah, seperti menuntut terbatasnya waktu, melawan dasar kefanaan, bahwa ia ingin hidup seribu tahun lagi. Jika puisi di lain waktu disebut permainan bahasa, yang di dalam budaya populer kita dicitrakan sebagai gombalan tak bermutu, mengapa kita saat membaca larik itu merasakan gelora hidup yang abadi? Jika kita mengenal Chairil Anwar melalui platform-platform digital, artikel-artikel yang berseliweran menjelang haul kematian Chairil Anwar, ia dikatakan sebagai pemuda yang hidupnya berantakan dan berumur singkat di dunia. Barangkali citra seniman yang masih menjadi stereotip di masyarakat kita dari dulu sampai sekarang dimiliki semua oleh Chairil Anwar. Hidup semaunya, suka keluyuran, tidak punya pekerjaan tetap, dan beperilaku menyebalkan.

Sebagai peringatan pada suatu per-

mulaan jang tidak akan punja achir

            Petikan di atas berasal dari awal halaman sebuah buku kumpulan puisi yang menjadi cita-cita Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani. Seperti sebuah penegasan, seperti sebuah semboyan hidup yang mereka tuangkan pada pertanggungjawaban takdir. Kita tahu, di masa sekarang menciptakan perkumpulan, membangun sebuah kelompok itu tergolong mudah dan cepat membesar tetapi memiliki dinding yang rapuh dan segera menjadi sampah yang beserakan di tengah-tengah masyarakat kita.

            “Ada tanganku, sekali akan djemu terkulai,” menjadi larik pertama yang mengawali permulaan yang tidak punya akhir ini. “Lahir seorang besar dan tenggelam beratus ribu,” larik ke-4, bait ke-2 pada puisi Tjatatan Th. 1946, yang menjadi puisi pertama dalam buku Tiga Menguak Takdir, seperti meramalkan bahwa sang penulis Chairil Anwar kelak akan menjadi seorang besar dan menenggelamkan beratus ribu lainnya. Tetapi, sebelum ia berhasil menenggelamkan beratus ribu yang lain itu ternyata ia lebih dulu menenggelamkan dirinya sendiri sebagai seorang besar pertama yang ia tenggelamkan dalam kematiannya. Ia mati muda. Barangkali itu adalah caranya menjadi abadi, menukar hidupnya yang muda dan menuju proses abadi dalam ketiadaannya hingga kini.

            Cita-cita Chairil dalam menciptakan Gelanggang adalah wujud dari kesepian setiap individu, yang nyatanya membutuhkan koloni. Tidak hanya sekadar koloni yang menggantungkan pada kecerdasan dan tekad satu orang saja. Tetapi koloni yang hidup dari setiap kesadaran individu untuk berkoloni. Pada masa itu, mungkin Chairil memiliki tekad berkoloni karena para penjajah yang datang ke tanah airnya malah mengurung dan membatasi hingga membunuh jiwa-jiwa berkoloni dari tiap individu. Dan buku Tiga Menguak Takdir menjadi pondasi pertama Gelanggang dalam menaruh pandangan hidup, lantas bertujuan pada takdir masing-masing. Orang-orang asing yang datang ke tanah airnya pun hadir secara berkoloni. Perkara berkoloni ini memang paradoks. Tidak cocok dengan koloni ini, tidak sefrekuensi dengan koloni itu, dan kita akhirnya menciptakan koloni baru yang semakin menjauhkan pada cita-cita yang melebur, yang didamba-dambakan oleh masyarakat kita. Sedang saja sejak dari dulu tanah airnya Chairil yang juga adalah tanah air kita sudah menciptakan koloni-koloni sejak istilah ini belum digagas oleh satu pikiran pun. Barangkali kita memang mesti mengambil jalan tengahnya, yakni menghapus cita-cita peleburan itu dan menciptakan koloni baru yang lebih kokoh tanpa menutup cita-cita lama yang masih relate untuk kita pakai di zaman yang ini.

            Membicarakan dan mengingat Chairil sampai saat ini, seperti bersumpah serapah untuk hidup dalam bahasa yang indah. Di setiap warung kopi, kafe-kafe mewah, gelanggang seni ecek-ecek, kelompok seni hedon masih membicarakan, mengingat, dan menunggu 927 tahun perjalanan keabadian Chairil dalam ramalan puisinya. Kita yang berada dalam sudut masyarakat tak bernama, barangkali beharap kecipratan sumpah serapah indah itu dengan mengawali permulaan tidak punya akhir melalui koloni baru Kolonian, yang walaupun setiap pendirinya nanti akan mati, koloninya masih tetap terus berdiri hingga 927 tahun perjalanan menuju abadi.  

Redaksi Kolonian Segala yang ada di sini, mari kita rawat dan kembangkan.

2 Replies to “927 Tahun Menuju Keabadian”

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.