Semilir angin meneduhkan suasana di dalam Kebun Raya Bogor menjelang sore hari. Meski luas, kebun ini tetap ramai dipenuhi pengunjung dari segala kalangan, namun belakangan yang sering ditemui adalah anak-anak muda yang bertamasya di atas sebuah kain.
Kegiatan di atas direkam menjadi sebuah lagu berjudul Sore di Kebun Raya oleh band Punk asal Bogor, The Jansen. Sebagai masyarakat Bogor para personil The Jansen mungkin tahu betul kegiatan yang sering dilakukan anak muda akhir-akhir ini di Kebun Raya Bogor.
Di sini saya bukan ingin membahas kebun raya secara historis atau fakta-fakta dari kebun raya. Karena hal tersebut bisa dengan mudah kita temukan dalam internet. Saya juga bukan mau mengulas skala kualitas bermusik The Jansen, karena saya juga sebetulnya tidak begitu paham soal musik.
Kebun Raya akhir-akhir ini memang menjadi jalan baru bagi anak muda untuk merayakan akhir pekannya. Kegiatan dengan ala-ala piknik ini biasanya sangat memperhatikan nilai-nilai estetika, mulai dari pakaian yang digunakan hingga jajanan yang dibawa juga harus dipertimbangkan betul-betul dari segi warna, besar, dan kuantitasnya. Semua itu semata-mata hanya untuk memberi makan konten di akun sosial media mereka.
Fenomena di atas dikemas oleh The Jansen dalam lagunya yang berjudul Sore di Kebun Raya. Hal yang menarik adalah lirik yang ditulis oleh Adjie Pamungkas ini secara garis besar untuk saya adalah penggambaran betapa tak berdayanya anak muda dengan mimpi-mimpinya.
Bicara tentang masa depan
Hilang sudah raut wajahmu
mampus dihajar harapanmu
Hey kau naif sekali remaja Ibukota
Masa depan memanglah persoalan besar yang akan dihadapi anak muda. Tapi apa sebetulnya yang membuat kita merasa dihantam harapan kita sendiri dan menjadi naif sebagai remaja? Penggalan lirik di atas sepertinya memang sebuah cibiran yang bisa dirasakan oleh banyak anak muda zaman sekarang.
Fenomena tersebut sebetulnya diakibatkan tidak jauh dari hasil produksi media. Generasi anak muda yang disebut generasi Milenial atau Gen Z terepresentasi di media sebagai sosok inspiratif, kaya raya, berpendidikan serta bahagia sentosa. Produksi media soal Gen Z ini tanpa disadari turut ikut membuat Gen Z merasa masa depan semakin rumit dan menakutkan atau dengan kata lain membuat generasi ini mendapat tekanan berlebihan dalam membuat keputusan hidupnya.
Dalam salah satu tulisan di Projectmultatuli.org sedikitnya menjelaskan persoalan bias kelas yang dihadapi Gen Z yang diproduksi media bahkan pemerintah. Nama-nama seperti Putri Tanjung, Jerome Polin dan Livy Renata adalah sosok Gen Z yang dicitrakan ideal untuk ditiru. Padahal realitas berkata lain. Hegemoni generasi yang menciptakan bias kelas ini, yang pada akhirnya membuat anak muda menjadi ketakutan dan hancur bersama dengan mimpi-mimpinya karena berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.
Tamasya di Kebun Raya juga merupakan salah satu hasil dari produksi media sosial, yang membuat anak muda menjadi gelisah ketika belum piknik di Kebun Raya bahkan hingga merasa tidak populer jika belum berkunjung ke Kebun Raya.
Lalu di tengah generasi muda yang sedang mengalami ketidakberdayaan dalam menghadapi masa depan, The Jansen menjawab persoalan itu semua melalui distorsi gitarnya.
*referensi: https://projectmultatuli.org/bias-kelas-gen-z-dirayakan-media-suram-realitasnya/