Jika kita melihat kalender di bulan Mei sekarang, kita boleh heran dengan adanya tanda merah di tiga tanggal yang berderet yaitu tanggal 1, 2, dan 3. Ini bukan soal hari raya yang dirayakan lebih panjang, tapi adanya May Day di tanggal awal bulan Mei serta tanggal 2 dan 3 adalah hari raya Idul Fitri. Dua peristiwa dari kutub beseberangan namun sekarang bisa kita kaitkan dengan satu keinginan besar: kemenangan. Kaum muslimin yang di hari raya Idul Fitri akan segera merayakan kemenangan setelah sebulan penuh menahan godaan dalam berpuasa dan masyarakat yang lain merebut kemenangan di peringatan Hari Buruh Internasional.
Dilihat dari sejarahnya, May Day adalah hari memperingati sejarah perjuangan para pekerja dan gerakan buruh yang di banyak negara diperingati setiap tanggal 1 Mei. Semua itu bermula pada tahun 1989, saat Federasi Internasional Kelompok Sosialis dan serikat buruh menetapkan 1 Mei sebagai momentum mengenang sejarah perjuangan para kelas pekerja.
Di puncak revolusi industri pada akhir abad ke-19, ribuan pria, wanita, sampai anak-anak, meninggal setiap tahunnya dikarenakan jam kerja yang panjang dan kondisi kerja yang buruk. Menanggapi kejadian itu pada tahun 1884, Federasi Perdagangan Terorganisir atau Serikat Buruh Amerika mengadakan konvensi di Chicago dengan tujuan memperjuangkan hak-hak pekerja, antara lain menetapkan jam operasional kerja menjadi delapan jam dalam satu hari.
Dari hasil Konvensi di Chicago, pada tanggal 1 Mei 1886, terhitung lebih dari 300 ribu pekerja dari 13.000 perusahaan keluar dari pekerjaan mereka. Gerakan ini terus bertambah dan membentuk solidaritas yang lebih kuat sampai menyentuh 100 ribu orang untuk melakukan pemogokan. Karena jumlah massa yang terus bertambah banyak pada tanggal 3 Mei, mulai terjadi bentrokan antara para pekerja dengan pihak yang berwenang.
Keesokan harinya para pekerja melakukan unjuk rasa di Haymarket untuk memprotes pembunuhan dan tindakan represif yang dilakukan polisi kepada para pekerja. Saat seorang aktivis bernama August Spies beorasi, petugas datang membubarkan kerumunan. Tak lama berselang seseorang melemparkan bom molotov ke barisan polisi dan terjadilah kekacauan.
Akibat dari insiden itu 8 warga sipil dan 7 polisi meninggal. Lalu peristiwa kekacauan ini sering disebut dengan Haymarket Affair. Tahun 1889 pada Kongres Sosialis Internasional pertama di Paris, secara resmi tanggal 1 Mei dijadikan Hari Buruh Internasional atau May Day.
Sedangkan Sejarah hari raya Idul Fitri tidak bisa lepas dari dua peristiwa, yaitu peristiwa perang badar dan hari raya masyarakat Jahiliyiah. Awal mula dilaksanakannya hari raya Idul Fitri adalah pada 17 Ramadhan tahun ke-2 Hijriah dan ini bertepatan dengan kemenangan kaum Muslimin dalam perang badar melawan kaum Quraisy. Perang badar ini memakan banyak tenaga, sebab 319 kaum muslimin harus berhadapan dengan 1000 tentara dari kaum Quraisy.
Tapi semua itu adalah langkah politik dan yang menang serta berkuasalah yang menentukan ke mana peradaban melangkah. Sebab kita bisa lihat, meski awal sejarah bermulanya May Day itu karena peristiwa di Chicago, tetapi Amerika dengan sengaja tidak menetapkan 1 Mei sebagai hari buruh, tetapi memindahkan ke Senin pertama di bulan September yang menjadi penetapan tanggal hari buruh di Amerika dan diikuti oleh Kanada.
Langkah itu Amerika pilih barangkali untuk memutuskan hubungan dengan perayaan pekerja internasional di tanggal 1 Mei dan jauhnya untuk membendung solidaritas pekerja di seluruh dunia dan menyabotase dukungan kepada komunisme dan gerakan lainnya saat banyak pekerja di luar Amerika merayakan Hari Buruh Internasional di tanggal 1 Mei.
Sama halnya dengan Kaum Muslimin di akhir perang badar. Setelah mereka memenangi perang, Rasulullah menyambut kemenangan itu dalam kondisi letih. Beliau bahkan sampai bersandar pada Bilal bin Rabah. Namun Rasulullah tetap bergembira dalam menyambut Hari raya Idul Fitri yang pertama, sebab pada peristiwa ini yang menjadi penanda untuk jayanya Islam.
Hari Raya Idul Fitri juga sekaligus menggantikan hari raya umat Jahiliyiah yang lebih dulu ada sebelum Nabi Muhammad SAW tiba, yaitu hari Nairuz dan Marjaan. Saat itu umat Jahiliyiah dalam merayakan hari raya Nairuz dan Marjaan adalah dengan berpesta pora, mabuk-mabukan, dan menari. Karena sifat dari kedua hari raya yang hanya diisi dengan hal tanpa manfaat dan berlebihan, maka tak heran Nabi Muhammad SAW menggantikannya dengan dua hari raya yang menjadikan ciri khas umat Muslim, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Tujuannya agar umat Islam mempunyai tradisi yang lebih baik dan sejalan dengan apa yang disyariatkan oleh Allah SWT. Ini semua dilakukan bukan tanpa alasan, perayaan hari raya adalah satu gambaran kemenangan untuk memantapkan ajaran Islam kepada khalayak masyarakat dan membedakannya dengan agama lain.
Dan kini ketika hari itu bergulir dan diperingati setiap tahunnya, selalu ada nuansa kemenangan dan bangkitnya rasa perlawanan, baik dari para kaum pekerja yang selalu melawan dan memperjuangkan hak-haknya untuk bisa hidup lebih sejahtera, maupun dari para kaum muslimin yang melawan hawa nafsunya saat berpuasa di bulan Ramadan dan mendapatkan fitrah harkat dan meningkatnya iman saat lebaran.
Tentu para pekerja dalam merebut kemenangannya akan lebih sulit dibanding kaum muslimin dalam merebut kemenangannya dalam bulan Ramadan. Kaum pekerja jika ingin mendapatkan apa yang diinginkan, ekstremnya harus melakukan pemogokan yang lebih dulu bisa merugikan perusahaan tempat ia bekerja agar apa yang dituntut kaum pekerja bisa dipenuhi oleh para majikannya. Kaum muslimin dalam merebut kemenangannya cukup memerangi hawa nafsunya sendiri, berpuasa menahan dahaga dan amarahnya, serta kemenangan bisa ditentukan oleh dirinya sendiri. Di sini kita bisa melihat ada ikatan eksternal antara kaum muslimin dan kaum pekerja: Hubungan dalam perusahaan adalah bos dan pekerja, sedang satunya adalah Tuhan dan hamba.
Ini semua bukan perbandingan yang setimpal memang, tapi penulis ingin mengejar keterkaitannya. Untuk mengejar keterkaitan itu kiranya kita harus mengulas sedikit apa yang pernah dirumuskan oleh H.O.S Tjokroaminoto dalam memadukan Islam dan Sosialisme.
Sebab pemahaman sosialisme yang dimaknai oleh Tjokroaminoto adalah hubungan yang erat antar-sesama dan golongan. Sebab kelas pekerja mempunya prinsip satu untuk semua dan semua untuk satu, serta saling bertanggung jawab antar-sesama. Ini serupa dengan apa yang menjadi keutamaan dalam perayaan hari raya Idul Fitri yaitu berbagi dalam kebersamaan. Sebab Rasulullah sendiri dalam konteks kemenangan dalam Perang Badar dan kepemimpinannya adalah untuk bisa menyatukan umat Islam dengan tiga prinsip: kemerdekaan, persamaan, serta persaudaraan.
Untuk bisa mengaitkan dua hal di atas sedikitnya bisa kita lihat dengan adanya Tunjangan Hari Raya (THR). THR merupakan pendapatan nonupah berupa uang yang diterima oleh pekerja atau buruh menjelang hari raya Idul Fitri. Uniknya tunjangan hari raya ini hanya ada di negara kita tercinta Indonesia. THR bisa kita simbolkan dengan pemenuhan hak pekerja dan kewajiban para pemberi kerja untuk memberi tunjangan kepada pekerjanya.
Tetapi pemberian THR ini dulunya tak dibagikan kepada semua pekerja dan hanya diberikan kepada Pamong Praja atau sekarang istilahnya Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pekerja Negeri Sipil (PNS). THR ini dipelopori oleh Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi.
Karena pembagian THR ini hanya diberikan pada PNS, banyaklah yang menilai bahwa kebijakan ini dirasa tidak adil, terkhusus pada seluruh pekerja swasta, sebab mereka pun menganggap mempunyai andil yang besar juga pada perekonomian dan pembangunan nasional. Dan akhirnya pada tahun 1955, untuk mendapatkan perlakukan dan hak yang sama seluruh pekerja membentuk kelompok kolektif yang bernama Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI).
Tak disangka SOBSI ini pada tahun tersebut menjadi organisasi buruh terbesar yang terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan SOBSI ini merekrut anggotanya dengan tanpa membedakan kelas dan tidak melihat latar belakang agama maupun suku bangsa.
Atas perjuangan bertahun-tahun kaum pekerja untuk merebut hak-haknya, akhirnya di zaman Orde Baru para pekerja mendapatkan payung hukum untuk memperoleh THR karena pemerintah saat itu mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No. 04/1994 tentang THR Keagamaan bagi pekerja di Perusahaan. Ini menjadi kemenangan bagi kaum pekerja, sebab yang awalnya THR adalah sukarela perusahaan, dengan adanya peraturan itu menjadi hak buruh untuk menuntut THR pada perusahaan.
Akhirnya jika kita melihat dari beberapa sejarah tersebut kita bisa melihat satu kepastian yang nyata, tak peduli siapa yang memulai, entah dari barisan beragama atau murni ideologi semata, tetapi jika itu dilakukan untuk kebaikan keseluruhan tentu akan menemukan jalan kemenangan, dan mungkin tepat apa yang menjadi jargon pemuda sekarang, “Panjang umur hal-hal baik”.
Sebab dari peristiwa itu semua, kini kita bisa memperingatinya dan terus-menerus menyalakan api perjuangan setiap tahunnya. Ini adalah buah dari perjuangan yang tulus demi kesejahteraan dan kebaikan, maka dengan semestinya kita terus merawat hari kemenangan atau merebut hari kemenangan.
Rebutlah kemenangan di hari kemenangan.
Referensi
https://amp.tirto.id/sejarah-may-day-apa-yang-berhasil-diperjuangkan-para-buruh-geil
https://m.kumparan.com/amp/humas-kota-bandung/idul-fitri-kisah-dibalik perjuangan-hari-kemenangan-umat-muslim-1rAlB5WJXsn https://tirto.id/sejarah-gerakan-buruh-di-balik-kewajiban-thr-cquW