Teguh Tri Fauzi Pria kelahiran Bogor yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan, pembacaan, dan penulisan.

Bogor Bagiku Bukan Hanya Ruang Pengembaraan, Jauh Sebelum itu Melebihi Batas Waktu Persembunyian: Kelahiran dan Kematian

5 min read

Bogor Bagiku Bukan Hanya Ruang Pengembaraan, Jauh Sebelum itu Melebihi Batas Waktu Persembunyian: Kelahiran dan Kematian-Kolonian

: serpihan kecil perjalanan puisi

1
Di jalan Parung aku melihat Tuhan masih menghendaki hidup pengemis, pengamen
dan pencopet
sebagaimana para ulama, tabib, pastor
dan seperangkat elemen baik lainnya yang hidup

Menuju Ciampea-lah perjalananku
mendokumentasikan roda kehidupan:
Kebahagiaan adalah beban penderitaan, yang berputar saling menghempaskan

2
Kahuripan adalah danau sepi para perindu
ketika rumput telah menjelma kenangan, sedangkan capung dan kumbang menempuh jalan kebimbangan, mencari rumah yang lama berubah:
Sisa-sisa Bogor,
sia-sia aku saksikan putaran masanya.

3
Tak ada yang sama dalam menghadapi nasib di dunia ini, Saudaraku!
sebagaimana Cibinong hadir sebagai saksi antara pembangunan dan perkembangan
yang kian subur-berbunga bagai raflesia
di kolam kecil Kebun Raya:
Kijang-kijang kencana
Kujang kesepian di wajah tugunya.

4
Setelah itu, ke mana jalan mesti ditempuh?
Jembatan-merah sesak oleh gelombang
manusia
sedangkan bendungan Katulampa roboh
tak kuat menahan air mata anak-anak kecil
Rancabungur yang tak lagi punya tempat bermain:
Banjir kesedihan di jalan raya
menimbulkan sampah di kelopak matanya.

5
Jauh di tepian barat
dendam Parung Panjang semakin
kuat dihantam badai debu pasir:
Mengapa cinta mengorbankan alam yang begini kondisinya?

Jauh di tepian timur
langit cisarua mendung kelabu
kabut Halimun beramai-ramai
menyelimuti perasaan penghuninya:
+ Mengapa orang-orang Arab menghuni vila-vila itu?
– Sebab di Arab tak ada hujan-kabut yang menyelimuti hasrat-nafsunya
+ mengapa pula memilih puncak-cisarua itu?
– Puncak-cisarua adalah perbatasan gejolak hidup antara cinta dan luka, sebagaimana peristiwa macan tutul Gede-Pangrango melangsungkan akad dengan macan kumbang Halimun Salaka, tanpa penghulu di meja berbunga

6
Itulah sebabnya, Bogor berbeda dengan New Zealand, ataupun New-York dan Sydney:
Pamijahan dan Sukajaya adalah tumbal geografis di mana cinta telah menyatu
dengan alam seiring waktu diterpa malapetaka, dan makhluk-makhluknya itu sedang menantang raksasa tak bernama, menimbulkan lubang kesedihan para pejalannya.

7
Saudaraku! Kenanglah, kenangkanlah Kota kita!
Bogor mana yang tak mengkhawatirkan
dari hidup ini?
Bagian Barat, Timur, Selatan, Utara, dan sekalipun bagian Tengah?
Hanya di Istana Bogor yang diberkahi tempat tidak perlu khawatir, sebagaimana dahulu Kompeni Walanda betah menghuni lokasinya:
namun sekarang… Glow, Glow, Glow!
Cahaya kerlap-kerlip lampu malam
mendobrak mantra-gaib surya kencana, menghibur beringin tua dan rasamala namun mengusir habitat elang jawa.

8
Cukup! Kita tak usah menangisi hidup ini
Memangnya Kota mana yang hari ini tak pernah menangis?
Kota-kan sawah-pun hari ini sedang menangis!
Tak ada tempat untuk Putri-malu memeluk
pangeran kodok, atau sunyinya Batu-tulis yang menunggu para penghuninya untuk mendobrak silib, sindir, siloka yang berada dalam tubuhnya:
Aksara-aksara lampau itu
menjadi hitam-keruh bagaikan air comberan
di pasar Leuwiliang, semua orang enggan melihatnya, semua orang enggan menyetubuhinya.

9
O, Salaka kala Salaka!
Langit mendung kelabu dalam tubuhmu
di sela-sela hutan pinus itu, kawah-ratu bergemuruh, bagai gumam doa para sepuh
melagu rindu jauh di lorong kalbu:
Satu nisan di puncakmu, menjadi sunyi di serat mataku-

10
Dengan beribu-ribu konflik di raga kota kita, Saudaraku! Sedang apa para leluhur di Arca-Domas   itu? Atau sedang apa para moyang kita di Gunung Kapur yang sekarang diambil-alih tentara-batalion itu?
Batu- susun, karang- dan goa-goa, tapak-kaki silam:
Apakah Bogor pada mulanya adalah samudra lautan?

11
Sedangkan jiwa Kota kita, Saudaraku!
Apakah kau sesekali pernah melihat jauh ke dalam wilayah kalbu?
Ada fenomena cinta bersemayam di situ: nyanyian-nyanyian alam dalam kontra-bas celempung, gema elektromagnetik karinding, dan alunan-ritmis tarawangsa, kecapi, angklung: Berkumpullah mereka dalam jiwa Kota kita, sedangkan raga Kota kita tengah porak-poranda!

12
Maka, setiap malam di kasepuhan Cisalada
Bergema beragam doa menembus cakrawala
Bintang-bintang yang beratus-juta nama panggilannya memantulkan gemerlap cahaya: perasaan luka atas makna, pemikiran cinta dalam kata.

13
Aku bersaksi, Saudaraku!
Bogor bagiku bukan hanya ruang pengembaraan, jauh sebelum itu melebihi batas waktu persembunyian: kelahiran dan kematian.

14
Kita juga akan bersaksi bersama, Saudaraku!
Di antara bukit-bukit Halimun yang mengelilingi desa-kecamatan kita, bersaksilah pada Kota kita. Semua yang datang dan pergi atas nama lahir dan mati, bersemayamlah jiwa Kota kita!

15
Kota yang tegar menghadapi kejadian dalam muatan iman: Kota kita, Saudaraku! Pura Parahiyangan adalah tempat sunyi para kembara yang pernah merangkul pelbagai agama, ketika Hindu dan Islam membuka ruang pada Kristen dan Budha, timbul-kembalilah kepercayaan lampau dari Kejawen hingga Wiwitan, mereka duduk bersama, melantunkan doa dan puja bersama-sama, walaupun dengan cara dan kata-kata yang berbeda: bersatu-padulah ke Yang Esa, Maha Segalanya, Zat Maha Cahaya.

16
Aku memasuki belantara Halimun
yang murni tanpa kata-kata
di serat- akarnya ada alunan nada
mengusik angin, menjadi nyanyian burung menumbuhkan tunas-tunas baru: pohon kehidupan, makna yang lama tenggelam.
: bukankah sampai sejauh ini, kita tak mengindahkan, muatan makna apa yang dibawa sungai Cianten dan Ciliwung yang bermuara di Cisadane?

17
Semestinya kita mengenal segala napas angin yang bersemilir mengelilingi alam Kota kita, Saudaraku!
Ketika Megamendung menjadi kelabu, ketika Tamansari yang dahulu asri, ketika Gunung Sindur yang kehilangan pegunungannya, napas angin menghembuskan alam Kota kita sejak sejarah enggan mencatatnya:
Aku melihat Dramaga kehilangan perahu-sampan-nelayan, sebab kita hanya senang mengandalkan arsip ingatan yang seiring waktu tenggelam bersama kematian.

18
“Kehidupan Kota-mu bermula dari akar, menumbuhkan batang, berkembanglah daun dan bunga” -Ujar Filsuf-filsuf Barat dalam catatan usangnya yang sangat perhatian pada Kota kita, Saudaraku: Mereka yang tak punya batas-waktu lahir-mati di sini, tak punya ikatan batin alam-luar dan semesta-kedalaman kehidupan kita, mengapa mampu dan mau menyusuri rumitnya fenomena makna Kota kita?
: Bermulanya cinta dan dendam Nenek Moyang, bias dalam campur-aduk bahasa yang tak akan mampu kita maknai bersama.

19
Jangan menyalahkan kenapa para leluhur kita enggan mengarsipkan peristiwa dan kenangannya. Sebab pada waktu itu, laut masih misteri di-pikiran, gunung masih sunyi di-perasaan: Kota kita saudaraku! Masih menjadi perhelatan panjang Dunia, bahkan kekuasan antar ideologi bangsa kita sendiri.
Eiiiii! Ketika peristiwa Supersemar, misalnya, apakah kita  pernah berpikir, bagaimana kondisi-situasi Kota kita saat Bapak Republik menyerahkan kekuasannya? Lebih jauh dari itu, ketika peristiwa pembangunan jalan Deandles, sedang apa masyarakat kecil di Kota kita?

20
Campur-aduk fenomena hidup mesti dirayakan dengan senjata pertanyaan. Telusurilah luka atas jawabannya.
Mungkin, kita akan menemukan banyak sekali perjuangan dari cinta, pengorbanan nasib dan dendam, jauh di kedalaman peristiwa Kota kita, Saudaraku:
Kota kita bersama, Oyeeeah Bogor,
telah merekam banyak sekali perang-kematian, damai-kelahiran-kehidupan -di sela pengembaraan panjangnya.

21
Kabupaten kita, Saudaraku, memiliki 40 Kecamatan yang dihantam peristiwa berbeda-beda: ada pengangguran, ada penggusuran, ada penindasan, dan ada penderitaan. Selain itu, kebahagiaan hanya angan-angan pikiran menggerogoti rongga perasaan. Kota kita, Saudaraku, hanya merangkul 6 kecamatan dihantam peristiwa yang sama: raganya senang membangun, tapi jiwanya masih tertidur.

22
Oiii! Tak ada tempat untuk kita bersenang-senang. Sebab kesenangan telah menjamur kesedihan, dan kesedihan membuahkan penderitaan, maka penderitaan selalu menang melawan kebahagiaan. Itulah Kota kita bersama, saudaraku:
Di Bubulak kita tak bisa mengelak dari luka
Di Baranangsiang kita tak bisa lepas dari derita
Dan di Tanahsareal kita juga tak bisa pergi dari dendam yang membara

23
Lupakan sejenak tentang talas yang berjejeran di pusat oleh-oleh itu, saudaraku. Sebab kita terlalu senang mengenyam pariwisata dibanding mempelajari bagaimana muasal proses alam-pertanian dan semesta-pangan: apalagi hubungan padi dan sedekah bumi yang sering dirayakan kasepuhan-kasepuhan di pelosok desa. Mengenal lebih jauh kah kita kepada proses itu?

: O, Mantra-mantra bernyanyi, mendobrak kata-kata hari ini, mengunci irama lampau, membuahkan makna yang tak kita kenal sebelumnya.

24
Mari kita lihat bersama: kenapa sungai di hulu semula bersih dan di hilir mulai keruh, ulah siapakah itu, saudaraku?
Mari kita kenang bersama: kapan terakhir kali kita masih berenang di sungai-sungai itu?
Atau mari kita gali-diskusikan bersama: apakah kita bisa menggunakan air bersih yang berlimpah di sungai itu? Ketika kecoa sungai mulai mati keracunan, bagaimana dengan nasib ikan-ikan
sampah-sampah di desa mulai tak terbendung berserakan, bagaimana dengan nasib di Kota-kota

25
Baiklah, kita tak bisa menyalahkan nasib Kota ini. Kita juga tak bisa memprotes Tuhan mengapa cerita sebegini rumitnya. Bahkan kita tak diperkenankan merubah alur kehidupan yang sudah tertata rapi dalam buku pementasan dunia, saudaraku.
Sebab kita hanya manusia: manut saja pada yang Maha Kuasa. Eheuheu~

26
Alangkah baiknya mari kita bakar buku-buku yang menulis rentetan peristiwa kiat-kiat revolusi dunia, jika kita sendiri masih tak mengenal siapa Ibu dan Bapak dalam silsilah Kota kita:
Kita bunuh saja dalam ingatan lalu rumitkan bersama fenomena-peristiwanya: ya, tak ada Sri Baduga Maharaja, atau Sangkuriang, apalagi Kabayan, atau nama-nama gaib dalam kelamnya budaya-sejarah yang tak kita kenal makna keberadaannya.

27
Cukup, saudaraku! Kota kita telah melampaui rumitnya Ibu Kota yang diceraikan suaminya.
Ibu Kota telah menjanda sekian lama, dan menelantarkan anak-anaknya:
Ya, salah-satunya Kota kita ini saudaraku. Kota kita dipaksa mengemis di jalan peperangan dunia yang dipenuhi marabahaya:
Sebab gunung dan bukit-bukit kita telah diambil alih mereka: Negara-negara yang menganggap umurnya tua, dengan bahasa metaforanya- ingin mengasuh dan membimbing anak kecil yatim-piatu.

28
Sekecil itu kah umur Kota kita, saudaraku. Bukankah kita dinaungi Negara tua yang bernama Nusantara? Yang di andai-andai sebagai pewaris tahta Atlantis dan Negeri Saba?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah terjawab, saudaraku, selalu dihembuskan angin darat dan angin laut, berlalu tak berlabuh, menunggu pertemuan dua hutan.

29
Pada kitab-kitab lampau itu: masa kini adalah masa penyelesaian, di mana peristiwa akan sampai pada kesimpulan makna dari kata-kata yang pada mulanya tak terungkap: terbongkarlah semua, termasuk makna Kota kita, saudaraku:
Semula berhamburan bias perumpamaan, berakhir dalam satu kunci jawaban.

30
Bogor hari ini adalah: aaaaaanyiiing!
Ia telah mendobrak rahasia dari kematian dan kehidupan para pejalannya: merobek-robek batas jiwa dari desanya, melukai raga dalam kotanya. Itulah sebabnya, di rumah para pemangku agama, kemah pengembara telah usai: semua mampu menjelma Tuhan.

…(#berantai dan #bersambung)

Teguh Tri Fauzi Pria kelahiran Bogor yang menyenangi pembelajaran di dunia perkebunan, pembacaan, dan penulisan.

One Reply to “Bogor Bagiku Bukan Hanya Ruang Pengembaraan, Jauh Sebelum itu…”

  1. Hibah Rasa..Tanah lahir adalah bumi yg menjelma menjadi ibu atau umi, ibarat rusuk yg bengkok, dibiarkan akan tetap bengkok, dipaksa lurus akan terpatahkan, lalu merdekakan ia dengan segala pilihan arah serta pujilah ia dengan rangkaian bunga harum.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.