Setelah meninggalkan Mini (istrinya) dan banyak membaca buku tentang revolusi, bagaimana cara Suminta menghadapi lebaran?
Bagi seorang miskin seperti Suminta—tokoh kita dalam naskah drama Sayang Ada Orang Lain karya Utuy Tatang Sontani—tidak ada yang bisa diharapkan dari hari Lebaran. Pada awal-awal bulan Ramadan mungkin ia akan sedikit getol ke masjid di ujung gang itu untuk tarawih. Namun, beberapa hari kemudian ia mulai bosan pergi ke masjid. Ia mulai meninggalkan puasa dan lebih giat bekerja sebagai buruh pabrik garmen. Pada waktu istirahat, ia pergi ke warung kopi dan menceramahi anggota serikat buruh. Ia berbicara mengenai tunjangan hari raya (THR) yang harus sesuai dengan kontrak kerja.
Buruh-buruh lainnya antusias dengan THR karena dengan uang itu mereka bisa pulang kampung. Di pasar, mereka bisa membeli beberapa kemeja dan baju koko—yang sebenarnya kedua barang itu adalah buatan mereka sendiri di pabrik itu. Mungkin mereka bisa membeli ponsel baru; menyicil motor baru; atau menukar uang dua ratus ribu dengan pecahan dua ribuan.
Bagi Suminta, tidak ada yang bisa diharapkan dari hari Lebaran. Banyak alasan untuk tidak pulang ke Cianjur. Masyarakat menjadi alasan terbesar Suminta untuk tidak pulang ke kampung. Pada Lebaran enam tahun lalu, masyarakat bertanya ihwal kesanggupannya mencari jodoh. Waktu itu usianya sudah 27 tahun dan masih bekerja di Toko Beras milik orang Tionghoa di Pasar Ciranjang. Predikat kuli tentu membuat Suminta kesulitan mencari jodoh. Hanya perempuan selugu Mini yang mau dinikahi oleh seorang kuli seperti Suminta.
Pada lebaran tiga tahun lalu, saat Suminta sudah bekerja di bagian gudang pabrik, ia dan Mini pulang ke Cianjur. Masyarakat mulai bertanya ihwal kesanggupan mereka menghasilkan keturunan. Pertanyaan itu ia jawab dengan ‘tawa palsu’. Suminta tidak menyangka bahwa masyarakat hanya membutuhkan jawaban seperti itu untuk sebuah pertanyaan besar. Pada Lebaran tiga, dua, dan satu tahun lalu, Suminta dan Mini terlalu banyak tertawa yang dibuat-buat, “Ehehe.”
Pada Lebaran tahun ini, masyarakat akan menanyakan perihal Mini. Apakah mereka sudah bercerai? Ke mana Mini pergi? Apa benar ia telah jadi pelacur? Masyarakat akan bertanya mengapa itu bisa terjadi. Bagi Suminta, Masyarakat semacam itu telah menjadi salah satu masalah besar dalam hidupnya.
Satu minggu menjelang Lebaran, Suminta tidur di atas dipan kontrakannya. Cahaya yang menerobos celah-celah jendela membuatnya terbangun. Ia telah melewatkan waktu sahur dan salat subuh. Ketiadaan penyesalan menunjukkan bahwa peristiwa itu sering terjadi. Di telinganya terngiang suara Hamid, “Minta! Kau masih tidur di hari siang begini!” Ya, mengapa ia harus mengingat laki-laki itu; laki-laki yang telah menjual Mini kepada laki-laki lain.
Di atas dipan itu Suminta melihat ke luar jendela. Ia melihat dirinya pada usia 28 tahun. Saat itu, ia tengah menyiapkan barang-barang titipan keluarganya di Cianjur. Sebuah baju koko putih dan gamis hijau untuk Mini yang tergantung di dinding telah siap dipakai saat salat Id tahun itu. Ia perlu berutang untuk membeli barang-barang itu. Ya, ia belum mendapatkan THR yang penuh dari pabrik karena masa kerjanya belum memenuhi syarat. Masa-masa setelah lebaran adalah masa yang menyulitkan baginya. Ia harus melunasi utang-utangnya: ke Pak Haji, ke tukang sayur, dan ke tukang minyak.
Kini, Suminta melihat ke sekeliling kontrakannya: tidak ada baju koko dan gamis yang tergantung, tidak ada kardus-kardus berisi baju dan makanan untuk keluarga di Cianjur.
Pada sore hari Suminta pergi ke sebuah mal. Ia melihat kapitalisme semakin kuat dan bekerja seperti racun. Papan petunjuk diskon digantung di setiap etalase toko. Ia melihat masyarakat tengah menyempurnakan Lebarannya dengan cara yang duniawi; dengan membeli kemeja atau sepatu atau celana jeans atau ketiganya. Tubuh manusia telah menjadi mesin yang memproduksi hasrat. Suminta hanya bisa bertanya kepada dirinya sendiri, “Mengapa itu bisa terjadi?”
Diskursus—dalam term Foucault—mampu menggerakkan manusia. Seperti yang telah dilihat oleh Suminta, diskursus Lebaran ihwal baju baru, atau sepatu baru, atau celana jeans (baru), atau ketiganya telah memproduksi hasrat—bahkan lebih jauh—dan menggerakkan orang-orang untuk membeli itu semua; untuk mengatasi hasrat itu. Seperti tidak ada jalan keluar dari diskursus Lebaran ini, masyarakat hadir sebagai polisi yang memastikan diskursus ini bekerja dalam kepala mereka sendiri. Mungkin diskursus itu diciptakan oleh kapitalisme atau mungkin juga tidak, tapi yang pasti kapitalisme telah memanfaatkannya.
Bagaimana jika seseorang tidak melakukan apa yang didiskursuskan masyarakat saat Lebaran? Tentu saja itu tidak jadi soal, tetapi ada perasaan bersalah dalam diri orang itu meski tidak ada yang menyalahkannya.
Mengapa pada Lebaran tahun-tahun sebelumnya Suminta harus membeli baju-baju, kue-kue untuk keluarga, baju koko dan gamis untuk Mini? Mengapa Suminta mesti bereproduksi? Suminta dipaksa untuk melakukan itu melalui relasi (kekuasaan) yang rumit. Diskursus (dan kekuasaan) telah bekerja dalam kepala Suminta, bahkan sampai hal-hal yang paling privat: seksualitas.
Suminta hanyalah Suminta. Namun, sebagai Marxis pemula, ia tidak mampu berbuat apa-apa; apalagi membuat sebuah revolusi.
Pagi itu Suminta masih tidur di atas dipan kontrakannya. Cahaya yang menerobos ke celah-celah jendela membuatnya terbangun. Ia telah melewatkan salat Id tahun ini. Ketiadaan penyesalan menunjukkan bahwa peristiwa itu pernah terjadi dan akan terjadi di tahun-tahun yang akan datang.
***
Tentu saja, Meursault—tokoh kita dalam novel Orang Asing karya Albert Camus—tidak merayakan Lebaran. Namun, bagaimana cara Meursault menghadapi Lebaran jika ia adalah seorang muslim?
Untuk manusia tunaemosi seperti Meursault, Lebaran tidak akan berarti apa-apa. Hari Lebaran sama seperti hari-hari pada umumnya. Meursault tidak akan bersedih ketika Ramadan telah berakhir mungkin karena ia tahu bahwa tahun depan Ramadan akan terjadi lagi, demikian pula dengan tahun berikutnya lagi dan lagi. Jika pun Ramadan ini adalah yang terakhir baginya, ia akan menganggap itu sebagai hal yang wajar.
Apakah Meursault akan pergi berbelanja untuk Lebaran? Ada dua kemungkinan: (1) ia akan berbelanja kebutuhan sehari-hari—sebagaimana setiap minggu ia berbelanja roti dan telur di sebuah toko di bawah apartemennya; (2) ia akan berbelanja kebutuhan Lebaran. Untuk kemungkinan yang kedua ini, ia menganggap bahwa berbelanja pakaian atau semacamnya adalah semacam olok-olok (atau pemberontakan untuk istilah yang lebih radikal) kepada dunia yang absurd. Ia akan mengikuti gerak laju dunia. Ia akan masuk ke dalam permainan. Ia akan melakukan apa yang dikehendaki dunia. Dan kita harus berpikir bahwa Meursault bahagia.
Jika suatu hari Meursault diundang untuk hadir dalam pesta perayaan Lebaran, ia akan datang. Jika ia ditanya oleh masyarakat ihwal kemampuannya mencari jodoh, ia akan mengolok-olok pertanyaan itu. Ia akan mendapatkan Marie Cardona tanpa sebuah upacara dan pesta perkawinan yang rumit dan mahal—seperti yang dikehendaki masyarakat.
Jika ia telah datang bersama Marie ke sebuah pesta perayaan Lebaran, dan masyarakat bertanya ihwal kemampuannya bereproduksi, ia akan tertawa kecil. Demikianlah cara ia mengolok-olok pertanyaan itu. Ia menganggap bahwa reproduksi merupakan sebuah keisengan atau bahkan sebuah kejahatan: Bagaimana mungkin sepasang manusia tega menjebak seorang anak untuk masuk ke sebuah dunia yang absurd. Bisakah membayangkan bagaimana anak tersebut tumbuh dan menghadapi kesenangan-kesenangan dunia sekaligus menghadapi kesengsaraan-kesengsaraannya? Ia akan dihukum. Jika pun Meursault dan Marie memiliki anak, Meursault berharap anak itu memiliki pandangan sepertinya. Namun, sayang—atau mungkin juga tidak ada penyesalan untuk persoalan ini, Meursault harus menjalani hukuman mati karena menembak seorang Arab.
Lantas, bagaimana cara kita menghadapi Lebaran?[]