Kami Butuh Talenta Bukan Iba, Sedang Mereka Butuh Uang Bukan Perhatian

2 min read

Kami Butuh Talenta Bukan Iba, Sedang Mereka Butuh Uang Bukan Perhatian-Kolonian

Dikulum-kulum, dikunyah-kunyah. Assalamualaikum, Tuan dan Nyonyah!
Maaf mengganggu perjalanannya, kami di sini ingin menghibur. Dari pada mencuri lebih baik menyanyi. Sedikitnya berbagilah rezeki dengan kami, seribu dua ribu tidak akan mengurangi kekayaan anda.

Bagaimana dengan sapaan pembuka di atas, tidak asing kan di telinga kalian semua? Ya, sapaan itu tentu cukup populer, dan biasa kita dengar di angkutan kota, angkringan-angkringan dan paling rutin tentu di lampu merah. Mukadimah atau sapaan di atas ialah pelengkap yang khas dibawakan para musisi jalanan atau sering kita sebut dengan pengamen. Dari kalimat-kalimat pembuka itulah orang-orang yang menyanyi di jalanan akan mengasongkan tangan, topi, atau gitarnya yang sudah dilengkapi dengan botol bekas air mineral menjadi wadah uang, setelah mereka selesai menampilkan pertunjukkannya.

Mengutip di Historia.id mengenai asal-usul Pengamen. Asal mula kata ngamen terjadi di Jakarta. Awalnya karena para penyanyi di jalanan ini menyanyikan nyanyian yang ternyata bersumber dari ayat-ayat Al-Quran, karena dirasa seperti sedang berdoa maka banyak masyarakat yang lewat dan mendengar nyanyian tersebut sering mengucapkan dua kata, yakni “persaben” atau “amin”. Sebab “amin” sendiri memiliki arti “kabulkanlah”, dan dari kata “amin” kegiatan menyanyi di jalan mendapatkan kata kerja menjadi ngamen.

Di luar itu, Dalam Kamus Bausastra Jawa, kata amen-amen atau men-men mempunyai arti “pergi ke sana ke mari mencari sesuatu/penghasilan”. Maka tak heran ketika kita mencari kata mengamen di KBBI, penjelasan yang keluar adalah “berkeliling (menyanyi, main musik, dan sebagainya) untuk mencari uang”

Setelah kita mengetahui sejarah ngamen mari kita lihat realitas yang ada, mesti kita sadari kegiatan ngamen ini terus berkembang seiring kemajuan teknologi dan berpeluang memicu dekadensi kebudayaan. Saat ini ketika kita berada di lampu merah sudah bukan hanya pengamen yang bernyanyi, tapi sudah beragam rupa. Mulai dari badut-badut, manusia silver, kuda lumping, ondel-ondel dan orang-orang yang memakai kostum super hero bahkan kostum hantu.

Dari setiap tipe ngamen tentunya beda-beda cara mereka mengekspresikan kegiatan mengamennya. Mulai dari manusia silver yang mengecat penuh tubuhnya dengan warna silver dan berdiam mematung, kuda lumping dengan suara pecutnya, badut-badut yang menggoyang-goyangkan tubuhnya, dan ondel-ondel dengan musik khas Betawinya.

Tapi dari semua cara yang beda saat mengamen ada satu kesamaan dari mereka semua, ya, mereka semua sekarang cenderung menjual kesedihan dibanding menawarkan hiburan. Atau misal lebih jelasnya ada banyak atribut keagamaan yang digunakan saat mengamen. Mulai dari pengamen yang mempunyai banyak tato, berpakaian hitam-hitam dan jaketnya penuh aksesoris punk tapi menyanyikan lagu-lagu islami, seperti lagunya “Mohon Ampun” karya Gigi, “Tombo Ati” karya Opik, atau lagunya Ungu yang berjudul “Andai Kutahu”.

Itu baru pengamen yang bernyanyi, jika badut yang mengamen tentu awal pertunjukannya adalah dengan memberi salam di dada, menengadahkan dua telapak tangan ke atas seperti hendak berdoa, lalu mengusapkan dua telapak tangannya ke wajah dan diakhiri dengan sujud, setiap gerakan itu dilakukan dengan mimik memelas. Setelah prosesi itu dilakukan barulah badut itu menggerakkan badannya ke kiri dan ke kanan bergoyang-goyang, atau jika itu dirasa kurang menarik simpati orang-orang yang melihatnya tak sedikit badut yang menempelkan tulisan di tubuhnya dengan tulisan “Ini semua untuk menafkahi anak dan istri”.

Sedikit berbeda namun serupa mengejar iba, para pengamen ondel-ondel melakukan kegiatan mengamennya tidak mengejar iba dari gerakannya, tapi dari anak-anak kecil yang membawa kaleng cat bekas lalu anak kecil itu juga yang berkeliling menghampiri masyarakat yang melihat untuk mengumpulkan uang yang diberikan.

Karena seringnya peristiwa ini berseliweran di tiap lampu merah tentu kita sudah tidak heran lagi ketika melihatnya. Maka kita tidak menyadari bahwa ada pergeseran muatan yang dilakukan oleh pengamen-pengamen di jalanan, yang dulu menawarkan hiburan dari badut yang menawarkan keceriaan bagi anak kecil atau pengamen yang menawarkan kesenian kini banyak dari mereka cenderung menjual kesedihan agar masyarakat menangkap sinyal kesedihan itu dan berharap lahir kepedulian, kemudian setelah rasa simpati itu lahir, mereka berharap akan mendapatkan kebaikan agar masyarakat mau memberikan uang berapa pun jumlahnya.

Mungkin fenomena seperti ini banyak faktor yang melatarbelakanginya tapi di luar itu semua ada kegagalan negara yang tak hadir untuk kaum-kaum kelas bawah. Pemerintah gagal dalam menjamin rakyatnya untuk memperoleh kehidupan yang layak.

Referensi:
https://historia.id/kultur/articles/asal-usul-pengamen-PzWeM/page/1

4 Replies to “Kami Butuh Talenta Bukan Iba, Sedang Mereka Butuh Uang…”

  1. Gimana ya ama pengamen lampu merah kadang kesian tapi ternyata ada yang aslinya kaya cuma pora2 kismin 🙂

    1. Beberapa waktu lalu juga di sosial media, sempat ramai pengemis yang ternyata tercukupi kebutuhannya. Itu menarik kalau dibuat penelusuran terhadap fakta tersebut, nah, barangkali Kak Vivi berkenan melakukan itu dan dibagikan di sini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.