Sesuatu pergi dan datang. Ada yang lahir, ada yang sedang bertahan, ada juga yang sudah mati. Dan waktu terus berjalan.
Bogor Creative Center (BCC) sebuah gedung baru di pusat Kota Bogor, gedung yang di sekat menjadi beberapa ruangan khusus semacam ruko. Salah satu ruangan tersebut ditempati oleh sebuah penerbitan yang telah menerbitkan beberapa buku yang ditulis oleh penulis asli Bogor. Di BCC, Kami berdua—remaja lulusan sastra di salah satu kampus yang cukup populer bagi masyarakat Bogor—mengadakan pertemuan dengan salah satu pendiri penerbitan tersebut, membahas soal majalah serta proses penerbitan majalah.
Pertemuan selesai sekitar jam tujuh malam. Otak yang penuh dengan pembahasan soal produksi percetakan, dibarengi dengan perut yang lapar membawa kami berdua pergi ke Pasar Bogor dan makan malam terjadi di warung soto kuning. Karena pikiran sudah penuh dengan ide-ide, pembahasan soal majalah tetap berlangsung ketika makan malam. Alhasil, hal-hal fundamental yang ada di Majalah Kolonian tercipta di sebuah warung soto kuning. Kolonian, sebuah nama sederhana yang berasal dari kata ‘koloni’ yang kemudian kami maknai menjadi setiap individu yang dari berbagai latar belakang juga kemampuan, mampu membangun sinergitas dalam satu visi dan misi.
Kolonian awalnya hanya berfokus pada bentuk majalah, namun seiring berjalannya waktu tim Kolonian menyadari celah di arus deras digital. Oleh karena itu, Kolonian merentangkan sayapnya lebar-lebar dan memiliki fokus baru yakni sebuah media digital yang dibarengi dengan media cetak. Melihat dari semakin leluasanya pengguna internet dalam memposting atau membaca tulisan di platform-platform digital, Kolonian menyadari banyak karya tulis yang belum terbit karena terbentur berbagai idealis dari berbagai platform itu sendiri. Harapan dari Kolonian versi digital ini tentu ingin mewadahi karya tulis para pengguna internet yang tulisannya gagal bersaing dalam pasar penulisan populer. Hal itu Kolonian wujudkan dalam bentuk website yang nanti pengunjung dapat membuat akunnya sendiri dan memposting tulisannya secara leluasa di tiap rubrik yang Kolonian sediakan, tanpa mengurangi nilai yang terkandung di setiap tulisan, Kolonian tetap tidak menerbitkan tulisan yang berisi isu sensitif dan SARA.
Seumur jagung Kolonian berdiri dengan beragam fase yang sudah dilewati, Kolonian semakin mantap memposisikan dirinya sebagai majalah dan platform digital. Umur yang masih belia, dan kematangan sebagai tim kreatif semakin kompak sejalan dengan harapan-harapan yang selalu muncul dalam proses kreatif ini.
Sesuatu datang dan pergi, istilah tersebut tidak memiliki batas bentuk. Dalam konteks perkembangan jurnalistik, pasang surut media di Indonesia tetap berlangsung hingga sekarang. Banyak faktor yang menyebabkan itu terjadi, untuk dampak paling ekstrim bisa kita lihat berbagai media yang pada akhirnya gulung tikar. Tentu itu menjadi garis pembelajaran Kolonian sebagai media yang baru lahir, dengan segala kemungkinan yang terus terbuka itu, tak ada upaya yang lebih berarti selain memperkuat hal-hal fundamental yang ada di diri Kolonian serta menyediakan ruang kritik dan saran, dengan harapan Kolonian mampu berumur panjang sebagai sebuah media yang ada di Indonesia.
Sedikit mengutip lirik lagu Kantata Takwa, sebagai penutup cerita dan keinginan tulisan ini:
“Tumbuh-tumbuhlah pohon kehidupan
Mekar-mekarlah bunga harapan”